Sunday, November 19, 2006

Hidup Tak Semudah Masak Indomie

Hidup itu susah. Yang gampang ya masak Indomie.

Kalimat kocak itu bertengger di status Yahoo Messenger (YM) seorang teman. Menandakan bahwa memang menjalani hidup itu susah. Tidak ada yang mudah. Salah satunya adalah masalah perjodohan.

Saya pribadi bukan orang yang menganut paham bahwa menikah adalah di atas segalanya. Pada perbincangan ringan dengan seorang teman lelaki di SMS tadi pagi, kami sepakat bahwa menikah bukan hal urgen dalam hidup. Argumennya segudang. Mulai dari masalah kepadatan penduduk Indonesia yang menjadi sumber krisis ekonomi sampai ke alangkah indahnya kalau orang mengkompensasikan energi hidupnya ke hal-hal kemanusiaan.

Pernah juga saya menulis bahwa menikah alias kawin mawin yang dianut orang Indonesia merupakan salah satu faktor pemicu egoistis. Masyarakat Indonesia memuja institusi pernikahan sampai menyalahgunakannya. Lihat saja bagaimana pejabat berlomba-lomba korupsi demi agar anak-anaknya yang segudang dari istri yang juga segudang bisa hidup makmur. Orang Indonesia terutama lelakinya, mengiolakan poligami. Kalau kaya raya, maka yang dipikir bukan bagaimana beramal demi kemanusiaan, tapi bagaimana agar bisa koleksi istri cantik, koleksi mobil mewah, mencetak anak sebanyaknya demi membangun dinasti keluarga yang berkuasa. Edan. Tapi fakta.

Nah, soal kawin mawin ini erat kaitannya dengan jodoh. Bagusnya, generasi sekarang makin sulit cari jodoh. Kenapa bagus? Ya, hitung-hitung mengurangi laju kepadatan penduduk. Problemnya, masyarakat kita masih menabukan hidup melajang. Lelaki atau perempuan yang sudah di atas 30 tahun akan menuai tanya sekitar : "Kapan merit neh?".
Dalam hati orang yang ditanya akan mengutuk setengah mati, "Lu kira merit sama kayak masak Indomie? Gampang?".

Hahaha. Saya pun tertawa dan makin sering menggodai teman-teman yang masih lajang.
"Kapan nyebar undangan neh?"
"So, mana calonnya?"

Nanti kalau sudah dapat istri atau suami, pertanyaannya di-upgrade menjadi:
"Kapan dapet momongan neh?"
"Juniornya belum ada?"

Dan akan dijawab dengen gerutu kesal dalam hati, "Emang gampang punya anak? Kayak masak Indomie? Lu ngga mikir biaya kuliahnya? Emangnya Indonesia itu Finlandia yang setiap bayi lahir akan dihadiahi duit beserta perlengkapan bayi sama pemerintah? Woi, Setiap bayi yang lahir di Indonesia justru langsung nanggung hutang negara, Mas!"

Hahaha! Ada yang lebih gampang dari masak Indomie. Seduh aja Popmie!

Wednesday, November 15, 2006

Cantik yang Tidak Luka






Suatu siang menjelang sore. Sogo, Plaza Senayan.
“Kok, sakit, sih?”
“Memang sakit, Mer.”
“Wah, ngga jadi ah. Semua sepatu lancip emang sakit ya? Sepatu lu itu juga sakit, Jeng?”
”Iya, pertama dulu sakit banget. Sampe lecet-lecet. Sekarang ngga.”

Percakapan tadi terjadi saat aku menjajal sepatu yang ujungnya runcing, sepatu yang lagi trend sekarang. Banyak dipakai perempuan. Kota sampai ke desa. Sepatu berujung runcing yang cantik, dengan berbagai warna. Ada yang berhak tinggi atau pendek saja.

Secara saya sedang bermetamorfosa menjadi perempuan yang ingin tampil cantik, saya terpikir untuk membeli sepasang sepatu runcing itu. Selama ini saya cukup nyaman memakai sepatu kets, sepatu fantovel ceper, atau sepatu gagah Kickers. Ternyata sepatu runcing itu menyakitkan waktu dicoba. Saya urungkan niat membelinya. Lebih baik saya beli sepatu gagah lain atau fantovel ceper kalau memang sedang ingin kelihatan ”cute”.

Tadi pagi, saya melihat beberapa perempuan dengan sepatu runcing, hak tinggi sekitar 10 cm. Roknya pendek. Ketat. Naik Metro Mini 62, Manggarai-Senen. Terlihat tersiksa sekali dengan sepatu dan roknya. Sebentar-sebentar membetulkan rok yang tersibak angin. Sepatunya tidak kalah menyiksa, menjepit dua telapaknya dengan erat, terseok-seok saat naik turun bis.

Asli, saya tak akan bisa tahan dengan kondisi seperti itu. Mampu bertahan sampai satu jam saja sudah hebat. Tapi para perempuan bersepatu runcing hak tinggi dan rok pendek ketat tadi jelas akan mengenakan benda-benda penyiksa jasmaninya itu seharian penuh.. Bisa jadi setiap hari benda-benda penyiksa itu dikenakannya setiap hari. Pagi sampai sore.

Arif Budiman pernah menulis kira-kira begini, ”Perempuan sering terperangkap dalam standar kecantikan yang diciptakan para lelaki. Mereka berusaha memenuhi standar itu tanpa peduli apakah dirinya nyaman atau tidak.”

Arif sangat benar dalam hal ini. Untungnya saya tidak tergolong perempuan penyiksa diri yang terperangkap dalam standar kecantikan ciptaan lelaki itu. Untung sekali. Dan inilah saya dengan kenyamanan diri saya. Celana jeans. Kemeja. Sepatu fantovel. Dan tetap merasa sangat cantik. Melebihi cantiknya perempuan bersepatu runcing hak tinggi dan rok pendek ketat yang menyiksa.

Monday, November 13, 2006

Swimming on My Ability



Belakangan ini aku serasa terlontar jauh ke masa silam oleh mesin waktu. Seandainya memang mesin waktu itu ada, aku sungguh ingin mengulang semua kenangan dari awal lagi. Dari….masa SD mungkin? Masa dimana kita masih begitu cute dan innocent layaknya anak sebelum puber. Masih murni dengan segala kebersahajaannya.

Salah satu masa silam yang kembali kutemukan adalah seorang Hilman Hariwidjaya. Dia pencipta karakter Lupus yang beken saat aku SD-SMP-SMA. Pertemuanku pertama dan terakhir dengan Hilman itu lebih dari 15 tahun lampau. Saat lelaki bertubuh begeng itu bermain gitar menyanyikan Save A Prayer-nya Duran Duran. Bersama dengan Anto, Boim dan Gusur dia berbagi ilmu menulis kepada kami yang berseragam putih-biru. Dan itu manjur. Tidak lama aku menciptakan karakter Si Pion, cewek SMP lucu yang dimuat di majalah Hai sebagai cerita bersambung. Sejak itulah aku tergila-gila menulis.

“Lucky me swimming in my ability,” tulis Hilman mendekskripsikan dirinya sendiri. Berenang dalam kemampuannya. Yang dimaksud adalah menjalani hidup dengan bermodal kemampuannya, menulis. Sama seperti dia, itu juga yang kulakukan saat ini. Jelas aku belum berarti apapun dibanding seorang Hilman. Namun aku cukup bahagia dengan duniaku saat ini. Tidak semua orang dapat mencari nafkah sesuai dengan bidang yang diingininya. Dan aku menjadi bagian dari orang yang dapat menekuni bidang yang memang disukainya.

Yeah, lucky me. Lucky us.

Sekitar tiga hari silam, aku bersua lagi dengan sosok itu. Kami berkirim pesan singkat tentang masa lalu. Sedikit saja. Sama-sama menyadari bahwa waktu telah merubah segalanya. Hilman sudah tidak begeng lagi. Dia tembem. Rambutnya tidak gondrong. Justru aku yang berubah jadi begeng dan gondrong. Satu hal yang tidak berubah, kami tetap berenang dengan kemampuan kami. Di pikuk jagat yang kian gaduh ini....Lucky us...

Friday, November 10, 2006

Girls Will Be Girls


Segala yang berbau keperempuanan, pernah aku benci. Kosmetik, rok, masak memasak, obrolan tentang cowok, segala jenis pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Sampai berteman pun aku memilih dengan lelaki. Mendengarkan musik khas cowok, rock, heavymetal, grunge, trash, asal yang vokalisnya cowok. Aku benci kerumunan teman perempuan yang identik dengan ngerumpi. Aku benci ibu-ibu ngumpul. Aku sebal konde, sasak, kebaya, sepatu hak tinggi, selop, tas cantik, bunga-bunga.

Belum lama berselang, seorang teman lawas bersua. Teman kuliah yang dulu pernah nonton konser Metallica bareng di Lebak Bulus. Teman nongkrong di kos bareng gerombolan cowok-cowok gondrong bercelana ketat, kaus gambar tengkorak. Teman dimana jam 12 malam kami main ke rel kereta depan kampus untuk menyalakan petasan roket. Teman yang tertawa-tawa saat aku datang menangis karena dikecewakan pacar pertama di semester 1 zaman bahuela.

“Lu sekarang agak kalem, feminim, dan dandan,” komentarnya melihat tampilanku teranyar.
“Ya iyalah. Secara udah tambah tua gitu, lho,” aku mengangkat bahu sambil ngakak.
“Tapi cewek gue dulu ngga gitu. Dia udah berpenampilan dewasa sejak lama, tapi kelakuannya masih kayak anak kecil. Hura-hura, pokoknya ngga banget deh..” Teman itu berkisah soal mantan pacar yang diputuskan karena kelakuannya yang childish.
“Ya, orang kan beda-beda. Tapi seiring waktu dia akan dewasa kelak,” aku menenangkan.

Teman lain lagi baru bersua lagi setelah tiga tahun berpisah. Ini teman kerja di tempat lama dulu. “Gue tadi pangling, ini elu apa bukan,” ujarnya mengomentari aku yang sekarang. Bukan tampang atau apa elu yang berubah, tapi aura elu.”

Aku bingung. “Maksud lu?”

“Lu terkesan lebih dewasa. Lebih bias menerima hidup.”

Aku tersenyum. Apa iya perubahan itu sedemikian terlihat? Yang pasti, belakangan ini aku memang mengalami metamorfosa. Dari perempuan yang membenci keperempuanannya, perlahan menjadi perempua yang menerima keperempuanannya. Dengan segala cara. Aku memang sudah lumayan bisa masak. Bisa berdandan. Lumayan telaten merapikan rumah. Tidak benci pada kumpulan cewek-cewek. Dan yang jelas setelah kurenungkan, teman-teman terdekatku sekarang kebanyakan berjenis kelamin perempuan.

Yeah, girls will be girls.