Monday, June 30, 2008

Dulu dan Sekarang














Dulu, saya bercita-cita ingin jadi jurnalis idealis. Wartawan perang. Membela kebenaran. Berjuang di daerah konflik. Melaporkan fakta. Menyampaikan amanat rakyat. Kalau perlu, bersimbah darah. Ditawan. Seperti kisah di media-media itu. Jurnalis ditawan. Jurnalis ditembak. Jurnalis jadi pahlawan.

Gombal.

Yang kutemui adalah kebusukan. Bos yang didikte investor. Berita penuh pesan sponsor. Liputan nyaman di hotel bintang lima. Makan gratis. Berdesakkan dengan wartawan bodrek, palsu, gadungan, asli tapi palsu (aspal). Berebutan door prize vendor dodol. Wartawan amplop. Tak jelas rimbanya. WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar). Wartawan bersuratkabar terpandang tapi kelakuan pecundang.

Gombal.

Jangan terima amplop. Wartawan media Anu Gombal Pos dilarang menerima amplop dari narasumber. Cukup transferan saja ke nomor rekening bos besar. Recehan no, transferan kakap yes. Amplop no, dana non budgeter yes.

Gombal.

Dulu saya mengoleksi buku Catatan Pinggir-nya GM. Komplit. Sampai jual cicin emas peninggalan nenek karena ngebet mau melengkapi koleksinya. Dulu sekali. Zaman kuda gigit besi. Sekarang, boro-boro beli bukunya. Baca koran saja muak. Semua penuh sandiwara. Rekayasa. Bad news is a good news. Dulu saya memuja berhala bernama idealisme. Bereuphoria soal dunia yang lebih baik.

Gombal.

Saya hanya butuh rokok menthol ringan. Teh botol pakai es batu super banyak. Untuk menyejukkan jiwa yang lelah. Buang saja semua koran dan buku-buku itu. Buang saja idealisme itu. Ke tong sampah terdekat.

Saya butuh uang dan uang dan uang dan uang saja. Untuk memborong rokok menthol dan es teh botol.