Tuesday, August 26, 2008

Dandanan Macho, Musik Bencong...Musik Macho, Dandanan Bencong

Saya tidak tahu apakah para musisi band Indonesia saat ini sedang impoten atau memang produsernya yang butuh Viagra?

Saya tidak habis pikir bagaimana bisa group band yang musiknya meniru habis beat Rolling Stone, vokalisnya menjiplak habis haya Mick Jagger muda yang dower dan bercelana ketat nyaris robek pantatnya, kok digilai sama abege cewek sampai histeria massa. Padahal si vokalis juga wajahnya ngga lebih ganteng dari tukang ojek yang pada mangkal di prapatan gang rumah saya. Suaranya juga soak kayak ember pecah. Lirik musiknya pun tak lebih puitis dari pengamen jalanan.

Nama group itu pun tak kalah noraknya: The Changcuters. Yang kalau saya disuruh beli pun akan merasa nista dan lebih baik beli cangcut beneran yang jauh lebih berguna bagi nusa dan bangsa.

Ingin tau lagu Indonesia yag sedang hits? Tak usah dengar radio atau ke toko kaset, cukup nonton saja sinetron striping di TV swasta yang didominasi production house spesialis sinetron. Dijamin hapal luar kepala lagu Indonesia. Sebab semua lagu hits Indonesia saat ini langsung dijadikan theme song sinetron menyek-menyek jual tampang dan bahasa cadel pemain indo andalannya. Yakin!

Saya juga tidak tahu kenapa banyak group band cowok yang penampilannya gagah macho perkasa dengan model rambut tren ala Japanesse rocker dan preman pasar tapi begitu nyanyi liriknya merintih-rintih minta dicintai. Musiknya juga tak kalah gombal ala pengemis minta dikasihani karena tak makan 3 hari...Semuanya mengingatkan saya pada group rock Malaysia yang penuh rintihan sukma penuh derita ditinggalkan cinta romansa gombal gambul. Yang iramanya membuat hidup tak bergairah dan serasa mau mampus dimakan cinta. Huek!

Hai para group band cowok Indonesia, bangun dong! Sama pengamen bis saja masih lebih macho mereka! Apa iya selera produser sudah mengangkangi kreativitas kalian semua?

Nijdi, dulu di album pertama kalian saya sempat suka dan berharap kalian bisa jadi band dengan musik khas yang keren. Tapi di album kedua kalian sangat menjijikan. Saya sempat kaget dengar lagu cengeng kalian yang dijadikan theme song sinetron cengeng plagiat Candy Candy! Come on, Giring, kalau lebih idealis dan kreatif, kamu bisa sebesar Ahmad Dani! Jangan jual kribo doang ah!

Ahmad Dani dengan Dewa, The Rock dan para dayang-dayang (Mulan Jamilah, Dewi Dewi, Andra n The Backbone) walau arogan dan belagu masih saya akui sebagai musisi idealis yang layak diacungi jempol. Juga Gigi, Letto, dan Slank.

Lainnya? Ah lebih baik saya dengar Julia Perez sekalian yang terang-terangan menjual desahan dan sensasi belaka. Jauh lebih baik daripada mendengar aneka musik menyek-menyek full rintihan cinta nan manja dibawakan musisi cowok sok macho. Tapi lebih baik lagi ya jangan dengar apa-apa sama sekali. Atau kembali ke habitat saya masa muda: Queen, Metallica, Nirvana, Guns n Roses, Megadeth, Iron Maiden, Judas Priest, Sex Pistols dan sejenisnya.

Ya, saya lebih memuja Freddie Mercury dkk yang berdandan bencong tapi musiknya kreatif dan macho, daripada group musik Indonesia yang dandanannya macho tapi musiknya bencong!

Wednesday, August 13, 2008

Kembali ke Pasar...





Sejak bekerja secara telecommuting alias mobile, saya jadi punya banyak waktu untuk melanglangbuana ke pasar tradisional.

Jadi terkenang masa kecil silam, dibawa nenek belanja ke pasar. Becek, bau sayur mayur, buah dan sampah, ikan, daging, sungguh aroma pasar. Dulu tangan saya sering iseng mencomot kacang mentah yang dipajang pedagang pasar, lalu memakannya begitu saja.

Seperti kebanyakan perempuan bekerja lain, saya akui saya lebih didominasi berbelanja ke pasar swalayan ketimbang tradisional. Berbelanja dengan dandanan masih ala baju kerja yang rapi, make up komplit. Tapi akhirnya kini saya kembali ke pasar tradisional. Seperti masa kecil saya dulu. Dan saya jadi paham kenapa ibu-ibu lebih suka berbelanja ke pasar tradisional.

Alasan saya sih:

1. Di pasar tradisional, harga bisa ditawar sampai miring.

2. Tawar menawar itu bisa diiringi obrolan sok akrab. Kalau beli baju atau kain biasanya yang dagang orang Padang, maka saya belagak jadi orang Padang dengan sok akrab memanggilnya "Uda" atau "Uni". Kalau belanja makanan biasanya pedagangnya orang Jawa, maka saya mengeluarkan kemampuan saya berbahasa Jawa.

3. Dalam berkomunikasi, saya bisa bebas apa adanya tanpa sok terpelajar atau sok intelek. Ngomong ya bisa main ceplos aja. Sebuah kepolosan yang kadang tak bisa kita hadirkan di pasar swalayan keren ber-AC dan dandanan penjaganya saja kadang lebih cantik dari kita, hahaha!

4. Saya juga tidak usah memikirkan penampilan. Mau wajah keringetan, lipstik luntur dan bedak pudar, bodo amat. Wong yang dijumpa ya mbok-mbok dan mas-mas pasar atau kondektur angkot. Ngapain mikirin penampilan?

5. Penuh kenangan masa kecil nan indah bersama mendiang nenek.

Ya, saya cinta pasar tradisional.

Monday, August 04, 2008

Komitmen dengan Akses Internet? No, Thanks!


Banyak teman bertanya, saya mengakses Internet pakai apa? Saya selalu jawab: kalau tidak wifi kantor, wifi gratisan, kalau kepepet ya EDGE (setingkat di atas GPRS dan di bawah 3G, sebab memang ponsel saya yang terkoneksi dengan bluetooth ke Macbook baru memungkinkan itu), atau yah paling praktis ya warnet.

Lalu ditanya lagi, "Kok ngga langganan aja? Indosat IM2 bagus lho," atau "Flash aja Mer, lumayan," atau "XL 3G yang unlimited murah," atau "Indosat kan udah ada yang 3,5G," atau "Mau coba Wimode?" atau "Speedy kayaknya OK," dan seterusnya.

Maaf, sama halnya dengan urusan cinta, urusan berkomitmen dengan salah satu provider Internet ini harus saya pikir masak-masak dulu. Untuk tahu sebuah makanan itu enak atau tidak, kita tidak selalu harus memakannya. Tanya-tanya saja dulu ke orang-orang yang pernah memakannya lebih dulu. Itu yang saya lakukan pada sejumlah provider dunia maya itu.

Yang jelas seorang sahabat pernah kecewa dengan XL 3G yang katanya was wus was wus ternyata pas dibawa ke rumah tidak dapat sinyal. Atau TelkomFlash yang kabarnya secepat kilat namun suka eror dan sinyalnya timbul tenggelam. Bahkan dua teman sekerja walau waktu daftar sampai ngantuk2 menanti, eh sudah lebih seminggu belum dikabari nasibnya. Wimode dari Esia juga makin langka lagi penggunanya, mengokohkan anggapan produknya ngga laku dan mengecewakan.

Lantas kalaupun ada yang konon kabarnya sudah 3,5G, tetap saja saya ragu sebab rumah saya masuk gang. Sinyal Indosat yang mengacung tegak seperti hasil karya Mak Erot di pinggir jalan raya, begitu masuk gang dimana rumah saya bersemayam, dijamin langsung letoy. Itu kan artinya saya harus beli rumah di pinggir jalan raya dulu atau kompleks elit sebelum daftar entah itu 3,5G atau 4G atau bahkan 10G sekalipun???? Duit buat beli rumahnya apa minta dari bapak moyangnya pemilik provider? Gundulmu!

Jadi buat apa saya berlangganan Internet? Wong warnet dekat rumah bertaburan bagai jerawat anak pubertas. Wong wifi gratisan juga tersedia di sana-sini. Wong kalau mau online dari laptop dan EDGE tetap saja ngga bisa dari rumah (sebab sinyal EDGE atau GPRS-nya impoten), jadi saya harus cari posisi PEWE dulu.

Selama kondisi dodol itu masih eksis, maaf saja, saya belum berminat mendaftar ke salah satu provider dodol itu juga. Kecuali kalau ada yang rela mendaftarkan dan gratis, lain cerita. Saya benci segala jenis birokrasi, sebab serba ngga jelas, ngga ada kepastian dan jaminan (eh ada sih kepastiannya: DUIT PASTI MELAYANG). Pantas saja bisnis percaloan dan korupsi marak di negeri ini, wong layanan publiknya masih dodol mardodol.

Nanti deh kalo sudah jadi konglomerat, saya sogok salah satu provider Internetnya agar saya dikasih keistimewaan dalam hal layanan. Kalau perlu saya beli sahamnya semua, biar Internet saya monopoli seorang diri sampe muntah2 bandwidth. Viva korupsi! Viva suap!