Tuesday, December 18, 2007

Madame Mao: Merak di Antara Ayam Betina

Di balik seorang lelaki hebat, selalu ada perempuan yang lebih hebat. Saya percaya betul dengan kalimat itu. Ingat bagaimana mendiang Bu Tien diyakini sebagai otak di balik layar kesuksesan seorang Soeharto di masanya.

Yang lebih jelas lagi adalah bagaimana Jiang Ching berdiri tegar di samping seorang Mao Tse Tung, tokoh sosialis Cina yang menjadi legenda sepanjang masa.
Membaca buku Madame Mao karya Anchee Min membawa kita ke kisah perjuangan jatuh bangun seorang perempuan. Bukan hanya dari nol, melainkan minus, Jiang Ching yang terlahir sebagai Yunhee berjuang keras mewujudkan mimpi-mimpinya untuk menjadi ayam merak di antara ayam betina biasa. Bahkan di luar dugaan ia menjadi burung cendrawasih saat berhasil menjadi First Lady Cina.

Awalnya saya pribadi agak meremehkan pribadi Madame Mao yang bisa dikatakan lemah dalam menghadapi lelaki dalam urusan romantisme. Bagaimana tidak, sebelum menikah dengan Mao, perempuan asal Shangdong itu sempat tiga kali menikah. Ia terobsesi dengan keinginan menjadi artis opera dan film, hingga jatuh ke satu pelukan lelaki yang satu ke yang lain. Maaf, untuk hal satu ini saya sama sekali tidak simpati.

Namun seiring pengalaman pahitnya, Jiang Ching mampu mengontrol diri. Keputusan paling berarti dalam mengubah hidupnya adalah saat ia bertekad untuk gabung dengan gerakan komunis Cina. Ia meninggalkan gemerlap Shanghai menuju Yenan, provinsi miskin tempat dimana Mao merintis perjuangan komunisnya. Di sinilah titik pertemuan mereka.

Menikahi seorang pemimpin sebesar Mao bukan perkara mudah. Jiang Ching harus mematuhi aturan ia tak boleh tampil bersama di depan umum di awal perjuangan mereka. Ia tak boleh ikut campur urusan politik walau dipanggil sebagai "komrad". Padahal ia lah yang terlibat diskusi non formal bersama Mao. Ia lah yang mempengaruhi begitu banyak keputusan si pemimpin besar itu. "Aku melakukan semuanya tapi sekaligus juga aku tidak ada," tutur Madame Mao. Dalam hati kecilnya ia merasa iri dengan istri-istri petinggi lain yang sangat dimanjakan suaminya.

Yang mengenaskan adalah ulah Mao berganti-ganti teman tidur sampai terkena spilis. Jiang sebagai istrinya sendiri lah yang setengah mati berkeras agar Mao diobati agar tidak menularkan penyakit itu ke perempuan lain.

Demi menghibur diri, Jiang Ching kembali menghidupkan gerakan kesenian opera yang sempat jadi dunianya di masa muda. Operanya kali ini berbau propaganda Maoisme. Ia juga diam-diam menggalang kekuatan bersama mahasiswa dibantu orang kepercayaannya, Kang Sheng. Kabarnya Jiang juga melakukan serangkaian aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang pernah menghinanya di masa lalu. Salah satunya adalah Dan, aktor idola di masa Jiang muda yang pernah menolak cintanya.

Siapa kira justru penderitaan dan perjuangan Jiang Ching jauh lebih berat dari Mao sang suami. Setelah meninggalnya Mao pada Oktober 1976, Jiang dipenjara. Sempat juga "dibuang" ke Soviet. Ia masih membela mati-matian idealisme almarhum suaminya sampai terkenal dengan ucapannya: "Saya adalah anjingnya Mao, saya menggigit siapa saja yang diperintahkannya."


Pada usia 77 tahun, perempuan yang sejak gadis ditinggalkan oleh ibunya itu menggantung dirinya sampai mati.

Tragis, atau ironis?

Maaf, tanpa mengurangi hormat kepada almarhum, saya tidak ingin seperti Madame Mao. Paparan saya ini hanya sekadar penggambaran bagaimana seorang perempuan hebat selalu bersanding dengan lelaki hebat. Tapi saya pribadi memilih tak bersanding dengan siapapun daripada harus hidup dan mati konyol. Hmm kecuali jika ada cinta yang mampu membutakan saya.