Wednesday, January 25, 2006

Mari Belajar dari Anak-anak


Kemarin sore, sepulang kerja
Manis kecilku, Libby, memamerkan bandul kalung salib
"Dari Riska, Ma, Libby dikasih."
"Lho, Riska kan Islam? Kok bisa kasih kamu salib?"
"Dia nemu, trus dikasih ke Libby."

Riska adalah anak perempuan tetangga kami. Sekolah di SD Muhammadiyah. Berkerudung kalau ke sekolah. Rumahnya dijadikan markas latihan marawis. Libby sering ikut main rebana.

Esoknya, Libby mau memakai kalung salib itu ke sekolah. Lumayan besar juga. Aku jadi agak was was sebab Libby memamerkannya.

"Kalo di jalan, kalungnya jangan dipamerin, Lib. Masukin ke balik baju aja."
"Kenapa, Ma?"
"Hmmm...nanti ada yang ngga suka. Ngga semua orang suka sama orang yang pakai salib."
Aku bingung bagaimana menjelaskannya. Salah-salah malah mengajarkan SARA.
"Lho, kenapa? Kan Libby dapetnya dari Riska yang bukan Kristen?"
"Nanti dijambret," begitu saja jawabanku yang sepertinya aman dan tak perlu mengajarkan SARA pada anak usia 9 tahun itu.

Dalam hati, aku berbisik, "Seandainya kamu tahu, di Poso ada siswi SMU yang lehernya digorok karena dia beragama Kristen. Seandainya kamu tahu, di Poso juga banyak gereja dibom, pasar dibom."
Itu yang bikin aku was was kalau puteriku seorang berjalan-jalan dengan kalung salib di leher. So far memang kami tidak pernah mengalami diskriminasi agama di lingkungan kediaman kami yang nyaman, mayoritas muslim itu. Tapi pakai kalung salib di jalan? Oh, nanti dulu. Aku masih belum mau ambil risiko.

Mengingat asal muasal kalung itu, aku jadi trenyuh. Benar, salib itu dari Riska yang muslim. Untuk sahabatnya yang beragama Kristen.
Aku juga ingat, dulu semasa SMP pernah mengajak sahabat muslimku ke gereja. Bukan untuk apa-apa tapi sekedar iseng. Dia cuma baca komik saja di sana, menemaniku. Sementara aku beribadah. Dia anak haji yang taat. Apa salahnya seorang muslim ke gereja? Toh dia tetap muslim, tetap rajin sholat bahkan ikut umroh beberapa tahun kemudian.

Alangkah indahnya toleransi beragama di kalangan anak-anak. Mengapa kita yang dewasa dan tua-tua ini tak bisa menghadirkan keindahan itu?