Wednesday, August 23, 2006

"Who are You?" or "Who Are Your Parents?"

Apakah hanya orang-orang yang berasal dari keluarga terpandang saja yang bisa memiliki kepercayaan diri (PD) tinggi?

Pertanyaan itu menggantung di benakku cukup lama. Sejak tiga-empat tahun lalu barangkali. Suatu pagi di acara bertema lingkungan di Kafe Dedaunan, Kebun Raya Bogor. Salah satu tokohnya adalah putri seorang figur publik di bidang politik, Des Alwi. Saya lupa nama putrinya. Ia tampil begitu PD, berani berhadapan dengan siapa saja, akrab dengan siapa saja. Mungkin semua yang hadir di situ mengenalnya sebagai anak seorang tokoh terkenal yang berpengaruh di zamannya.

Mas Sapto, seorang teman jurnalis senior berujar padaku, “Kadang gue mikir, sebagai bukan anak siapa-siapa, gue suka minder. Sejak jadi jurnalis sering ketemu orang-orang gedean, pejabat, orang pinter. Padahal gue dari keluarga biasa aja.”

Jurnalis yang sudah cukup kawakan itu merasakan bagaimana mengobrol dengan Habibie, Akbar Tanjung, dan beragam tokoh top negeri ini. Ia mengaku hanya sok PD saja. Padahal kalau diingat-ingat bahwa ia dari keluarga biasa, timbul rasa minder.
Hal yang sama juga terjadi padaku. Bertemu orang-orang hebat adalah keuntungan menjadi jurnalis. Namun apakah kita dapat tampil PD saat berahdapan dengan mereka? Mengobrol? Bertukar pikiran? Harus. Harus dipaksakan!

Di kantorku juga sempat ada kerabat “bos” yang bekerja seatap dengan pamannya yang bos. Ya, dia sangat PD sekali dalam pergaulan. Berani seenak hati menghadapi siapa saja di kantor, entah itu kelas reporter sampai kelas manajer. Ceplas-ceplos bahasa Inggris demi pamer ia pernah kuliah di Amrik. Tiap acara kantor selalu jadi MC. Singkatnya, ia merasa kantor itu miliknya. Yah, kerabat bos gitu loh!

Mungkin kondisi yang sama berlaku bagi anak-anak para orang terkenal di negeri ini. Mereka merasa negeri ini “milik” orangtuanya. Jadi merasa PD banget untuk tampil dimana saja dan kapan saja, berhadapan dengan siapa saja. Toh semua orang tahu siapa dia, setidaknya siapa orangtuanya.

Bagaimana dengan kami, para anak dari keluarga biasa saja? Kepercayaan diri itu harus diempos ekstra kuat. Orang tidak akan langsung respek hanya karena mendengar nama dan melihat wajah kita. Sebab kita bukan siapa-siapa dan bukan anak siapa-siapa. Maka kita harus memiliki kelebihan khusus agar dapat diperhitungkan. Kepercayaan diri ekstra kuat yang dipaksakan. Dan itu tidak mudah. Sungguh.

Saya pernah hadir di satu acara dimana pengunjungnya rata-rata orang hebat semua. Pejabat, penulis terkenal, ilmuwan, selebriti. Mungkin hanya saya dan sebagian kecil orang saja yang bukan siapa-siapa. Thanks God, obrolan saya dengan para orang hebat tadi masih bisa nyambung. Walau dengan PD yang dipaksakan. PD yang dikeluarkan dengan ekstra tenaga dan mental baja.

Kalau sudah begini, saya jadi berpikir. Saya harus menjadi “sesuatu” agar kelak anak saya punya PD alami yang tak perlu dipaksakan. Saya harus menjadi seseorang yang minimal diakui keberadaannya. Agar anak saya kelak punya kepercayaan diri tinggi untuk tampil berhadapan dengan orang-orang hebat. Tidak perlu setenar Habibie atau Akbar Tanjung atau Soeharto. Cukup menjadi diri saya sendiri.

Tapi yang lebih penting, kelak anak saya harus bangga pada dirinya sendiri, bukan karena dia anak saya. Kita harus mempertanyakan "siapa kamu dan apa yang kamu bisa", bukan "siapa ortu kamu?".