Thursday, September 22, 2005

Kisah Perempuan yang Ingin Jadi Robot


Maka ia pun pergi ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang kebetulan memiliki anak perusahaan bioteknologi. Perusahaan ini memproduksi robot-robot yang menyerupai manusia dengan teknologi Artificial Intelligent (AI) alias kecerdasan buatan. Semua robot itu diprogram sedemikian rupa menyerupai manusia. Bahkan sedang dikembangkan bagaimana agar para robot bisa memiliki perasaan.
Ia bertemu seorang profesor pakar AI. “Jangan sesekali menciptakan robot dengan perasaan. Kasihan mereka akan tersiksa. Biarkan robot-robot itu seperti apa adanya,” ujarnya. Sang profesor tak habis pikir bagaimana perempuan itu bisa beropini demikian.
“Justru segala hal yang dilakukan manusia sudah berhasil ditiru oleh robot kreasi kami, kecuali satu hal, berperasaan,” tegas profesor.
“Apa bagusnya memiliki perasaan, prof. Hanya akan membuat mereka tak mampu diprogram lagi. Fungsi utama robot adalah menjalankan perintah sesuai program si pembuat. Kalau tak sanggup jalankan program, maka robot tak berguna. Hentikan proyek mengembangkan robot dengan perasaan ini,” si perempuan protes.
“Tidak mungkin, nona. Kesempurnaan AI adalah menciptakan robot yang mirip dengan manusia. Dan itu tak mungkin terjadi tanpa dilengkapi dengan feeling, perasaan. Itu target kami saat ini, mendesain robot dengan hati. Kalau ini sukses, berarti kami membuat terobosan fenomenal,” sang profesor tak mau kalah.
Si perempuan menggelengkan kepalanya. “Jangan, prof! Itu akan berarti kemunduran! Robot dengan perasaan justru merusak keseluruhan program pada CPU mereka. Antara perasaan dan logika tak bisa akur. Hasilnya adalah robot-robot yang emosionil, menolak perintah program, sangat jauh dari tujuan awal pembuatan robot.”
Kemudian profesor berceramah ihwal proyek AI yang sudah dirintisnya sejak lama, juga prospeknya ke masa depan jika robot bisa memiliki hati. Tapi semuanya tak dihiraukan oleh si perempuan. Ia justru memotong presentasi itu. “Sudahlah, prof. Tantangan bagi anda sekarang adalah, bagaimana membuat saya menjadi robot. Anda hebat bisa menciptakan robot mirip manusia. Bisakah anda membuat manusia menyerupai robot?”
Si prof terhenyak bingung. “Apa maksud nona?”
“Saya ingin jadi robot seutuhnya, bukan robot dengan hati, hanya logika saja. Ubah saya menjadi robot. Tanpa perasaan. Apabila itu berhasil, maka anda akan jadi tokoh abad ini. Saya akan mempublikasikan kehebatan Prof ke seantero dunia.”
“Itu tidak mungkin. Bukan bidang saya. Anda hanya berkhayal, nona. Tak satupun orang bisa mengubah manusia menjadi robot. Film Robocop itu hanya fantasi,” sang prof beargumen.
“Siapa yang sanggup melakukannya, prof? Saya sudah ke psikolog, psikiater, dokter ahli anatomi, sampai ke paranormal. Tak satupun yang bisa menghapus perasaan saya. Padahal saya tersiksa setengah mati oleh perasaan ini. Bikin hidup saya berjalan tidak sesuai dengan program yang sudah dibuat. Saya ingin melakukan A tapi karena gangguan feeling, jadinya justru meleset ke C. Juga sebaliknya. Hidup saya berantakan karena feeling. Sungguh tidak enak hidup dengan feeling. Maka saya sarankan jangan meciptakan robot dengan hati, prof. Jangan. Saya sudah mengalaminya dan itu merusak hidup saya.”
Profesor menatap perempuan itu dari atas ke bawah. “Anda perempuan. Wajar saja didominasi feeling. Bukankah memang sudah ditakdirkan demikian?”
Perempuan itu mendengus kesal, “Sejak kapan seorang profesor yang serba eksak seperti anda percaya takdir?”
Dan ia pun beranjak pergi. Entah siapa yang sanggup mengubahnya menjadi robot. Andai Tuhan mampu…

No comments: