Thursday, September 22, 2005

Wanna be A Robot



Tahu bagaimana rasanya membunuh satu rasa itu?
Ingin melupa tapi tak bisa
Ingin me-remove semua data di recycle bin otakku
Sayangnya aku bukan PC atau Mac yang bisa diprogram begitu..
Tahu bagaimana sakitnya membunuh satu rasa itu?
Seperti seorang sadistis menyiksa diri
Tapi itu harus dilakukan
Logika harus mengalahkan feelingAku ingin jadi robotyang dikendalikan akal sehat, bukan perasaan cengengsemata
Jadi ku restart saja semuanya
Delete all memories
Memang semestinya tidak pernah kupanggil namamu di YM
pinggiran jakarta, selasa, 15.30.

Kisah Perempuan yang Ingin Jadi Robot


Maka ia pun pergi ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang kebetulan memiliki anak perusahaan bioteknologi. Perusahaan ini memproduksi robot-robot yang menyerupai manusia dengan teknologi Artificial Intelligent (AI) alias kecerdasan buatan. Semua robot itu diprogram sedemikian rupa menyerupai manusia. Bahkan sedang dikembangkan bagaimana agar para robot bisa memiliki perasaan.
Ia bertemu seorang profesor pakar AI. “Jangan sesekali menciptakan robot dengan perasaan. Kasihan mereka akan tersiksa. Biarkan robot-robot itu seperti apa adanya,” ujarnya. Sang profesor tak habis pikir bagaimana perempuan itu bisa beropini demikian.
“Justru segala hal yang dilakukan manusia sudah berhasil ditiru oleh robot kreasi kami, kecuali satu hal, berperasaan,” tegas profesor.
“Apa bagusnya memiliki perasaan, prof. Hanya akan membuat mereka tak mampu diprogram lagi. Fungsi utama robot adalah menjalankan perintah sesuai program si pembuat. Kalau tak sanggup jalankan program, maka robot tak berguna. Hentikan proyek mengembangkan robot dengan perasaan ini,” si perempuan protes.
“Tidak mungkin, nona. Kesempurnaan AI adalah menciptakan robot yang mirip dengan manusia. Dan itu tak mungkin terjadi tanpa dilengkapi dengan feeling, perasaan. Itu target kami saat ini, mendesain robot dengan hati. Kalau ini sukses, berarti kami membuat terobosan fenomenal,” sang profesor tak mau kalah.
Si perempuan menggelengkan kepalanya. “Jangan, prof! Itu akan berarti kemunduran! Robot dengan perasaan justru merusak keseluruhan program pada CPU mereka. Antara perasaan dan logika tak bisa akur. Hasilnya adalah robot-robot yang emosionil, menolak perintah program, sangat jauh dari tujuan awal pembuatan robot.”
Kemudian profesor berceramah ihwal proyek AI yang sudah dirintisnya sejak lama, juga prospeknya ke masa depan jika robot bisa memiliki hati. Tapi semuanya tak dihiraukan oleh si perempuan. Ia justru memotong presentasi itu. “Sudahlah, prof. Tantangan bagi anda sekarang adalah, bagaimana membuat saya menjadi robot. Anda hebat bisa menciptakan robot mirip manusia. Bisakah anda membuat manusia menyerupai robot?”
Si prof terhenyak bingung. “Apa maksud nona?”
“Saya ingin jadi robot seutuhnya, bukan robot dengan hati, hanya logika saja. Ubah saya menjadi robot. Tanpa perasaan. Apabila itu berhasil, maka anda akan jadi tokoh abad ini. Saya akan mempublikasikan kehebatan Prof ke seantero dunia.”
“Itu tidak mungkin. Bukan bidang saya. Anda hanya berkhayal, nona. Tak satupun orang bisa mengubah manusia menjadi robot. Film Robocop itu hanya fantasi,” sang prof beargumen.
“Siapa yang sanggup melakukannya, prof? Saya sudah ke psikolog, psikiater, dokter ahli anatomi, sampai ke paranormal. Tak satupun yang bisa menghapus perasaan saya. Padahal saya tersiksa setengah mati oleh perasaan ini. Bikin hidup saya berjalan tidak sesuai dengan program yang sudah dibuat. Saya ingin melakukan A tapi karena gangguan feeling, jadinya justru meleset ke C. Juga sebaliknya. Hidup saya berantakan karena feeling. Sungguh tidak enak hidup dengan feeling. Maka saya sarankan jangan meciptakan robot dengan hati, prof. Jangan. Saya sudah mengalaminya dan itu merusak hidup saya.”
Profesor menatap perempuan itu dari atas ke bawah. “Anda perempuan. Wajar saja didominasi feeling. Bukankah memang sudah ditakdirkan demikian?”
Perempuan itu mendengus kesal, “Sejak kapan seorang profesor yang serba eksak seperti anda percaya takdir?”
Dan ia pun beranjak pergi. Entah siapa yang sanggup mengubahnya menjadi robot. Andai Tuhan mampu…

No More Mr Top Guy

Sebut saja namanya Mr. Top. Sebab memang dia ngetop di komunitas profesinya. Sekali klik namanya di Google, maka akan banyak sekali hasil pencarian yang keluar. Dia memang bukan selebriti, tapi lumayan sukses di bidangnya hingga banyak penggemar.
Secara pribadi aku tak mengenalnya pasti. Bahkan kata seorang teman aku sempat tak mengacuhkannya saat ia menyapa di dunia maya. Walau kabarnya cukup top, aku sendiri baru tahu siapa dia setelah meng-add-nya dalam portal Friendster dan membaca biodata dalam situs pribadinya. Terlebih kian banyak teman yang ternyata kenal dia. Semuanya memberi referensi bagus. “Oh Si Mr.Top , ya aku kenal dia waktu di kota Anu dulu. Bagaimana kabarnya?” atau “Kamu enal Mr.Top? Wow, asik sekali. Dia itu hebat..dia itu bla bla bla…” Bahkan seorang teman berkomentar, “Kalau situs bagus macam punya dia sih sudah kuresensi sejak lama. Salam ya buat Mr.Top. Dimana kau ketemu dia?” Atau suara seperti , “Dia memang aktivis sejati, saya salut sama dia. Masih muda sudah sukses. Sangat hebat untuk ukuran seusianya.”
Singkatnya, ia adalah seorang lelaki yang nyaris tanpa cela. Idealis tapi sukses di bisnis, berhasil dalam bidang hobi yang ditekuni. Wajar saja kalau Mr. Top tak malu membeberkan biodatanya di situs pribadi yang banyak diakses orang.
Mau tak mau jatuh hati juga saya dengan sosok menarik itu. Perjumpaan langsung dengan Mr.Top hanya sekilas saja di tengah keramaian, sehingga kesan yang saya dapat, Mr. Top terlalu sibuk dengan dunianya. Entah apa kesannya tentang saya, mungkin sama sekali tak ada mengingat saya tak sehebat dirinya.
Hingga suatu ketika saya sedang ada acara ke kota Anu, tempatnya berdomisili. Sebelum berangkat saya memberitahunya kalau saya mau datang. Tanpa maksud minta dijamu atau apa lho, sekadar “apa salahnya menjumpai kenalan di suatu kota yang kebetulan kita singgahi?”. Di situlah saya bertemu Mr. Top. Kesan pertama begitu menggoda (mirip iklan parfum). Ramah, familiar, tidak banyak basa-basi. Sempat sedikit tergoda, mengkhayalkan betapa sempurnanya dia sebagai manusia. Sukses di karir, bisnis, dan entah apa lagi.
Begitu terpesonanya sampai saya tak melihat sedikit cela pada Mr.Top. Sampai tersipu malu ketika seorang teman menggodai kedekatan saya dengannya. Wow, saya jadi melambung ke langit ke tujuh. Saya dengan Mr. Top? Terlalu muluk memang, namun lumayan indah sebagai fantasi.
Semua berjalan indah sampai suatu ketika kenyataan menyadarkan saya. “Bumi kepada Merry….Bumi kepada Merry!” Begitu seolah ada yang berteriak di telinga, menyerukan agar kaki saya segera menjejak bumi. Setelah acara mabuk kepayang itu usai, fantasi itu tamat, baru segala keburukan Mr.Top bisa kasat mata. Baru saya sadar bahwa selama mengobrol dengan lelaki serba perfect itu, justru banyak sekali ketidaksempurnaannya. Saya jadi ingat betapa ia sering meng-under estimate-kan teman sendiri. Teman kami yang sebenarnya sudah ia kenal lama jauh sebelum kenal saya. Tanpa sungkan Mr. Top membuka semua keburukan teman tadi di depan telinga saya.
Baru saya sadari pula bahwa Mr. Top lebih banyak bicara tentang dirinya sendiri daripada lawan bicara. Ia sungguh tipe dominan dengan objek pembicaraan “aku-sentris” tanpa pernah menanyakan pendapat lawan ngobrol.
Apakah itu salah? Tidak sama sekali. Adalah hak tiap manusia untuk menetapkan hendak seperti apa dia.
Hanya, mendadak saja segala “kesempurnaan” si Mr.Top tadi pupus sudah. Seorang idola yang dipuja-puja ternyata tak luput dari kekurangan. Dan musnah sudah rasa kagum saya padanya. Ia hanya pantas dikagumi dalam hal karyanya, bukan kepribadian. Jadi para perempuan sekalian, jangan cepat jatuh hati pada lelaki yang menjadi idola. Sebab tak selamanya selebriti atau idola bisa dijadikan idola pribadi.