Thursday, October 26, 2006

Confession of A Bloody Playboy Part II

Kali lain. Orang yang lain. Waktu yang lain. Di tempat lain. Dengan pembicaraan lain.
“Eh gue udah sampe nih.” SMS itu sedikit mengagetkan. Jam menunjukkan pukul 13.14. Kami janjian jam 13.30. Sedikit tergesa aku menuju ke kafe yang disebutkan.

Wajahnya masih sama dengan 15 tahun silam. Tetap tampan dengan senyum simpatik. Hanya sekarang chubby. Air muka dan sorot matanya jauh berbeda. Dulu mata itu bersinar nakal, jahil, dengan kerlingan dimana-mana. Air muka yang dulu cemerlang , kini nampak kuyu. Lalu ia memamerkan deretan giginya. ”Gigi gue ancur,” tanpa malu ia membuka mulut lebar-lebar.

Dan pengakuan seorang playboy veteran pun dimulai. Ia mengaku dulu jadi playboy, tukang tebar pesona dan cari perhatian cewek-cewek karena di rumah kurang perhatian. Ia membantah dibilang playboy, sebab tak pernah memacari lebih dari satu cewek pada waktu bersamaan. ”Kalo gue udah punya cewek, ya gue ngaku. Terserah cewek lain mau jalan ama gue apa ngga.,”.
Kemudian ia berkisah tentang kepribadiannya yang sudah berubah 180 derajad sejak bercerai 2 tahun silam. ”Gue ngga gaul. Gue diem aja di rumah. Sekarang gue berenti kerja, mau buka usaha,” ia terus-menerus mengepulkan asap rokoknya tiada henti.

Lelaki tampan itu kadang masih jahil melontarkan canda menggoda. Ia mengaku sempat suka padaku. Aku hanya melengos, sebab dia memang playboy, ex playboy tepatnya. ”Kambing dilipstikin juga lu suka kan,” selorohku.

15 tahun lebih berselang sudah. Seorang kakak kelas SD-SMP yang dulu terkenal pintar, jago basket, bintang sekolah, penggoda cewek kelas wahid. Belum lama berselang duduk tepekur di hadapanku dengan sorot mata kosong. ”Gue ngga percaya cinta lagi. Bullshit. Hati gue udah beku,” ia menyerocos. Sesekali kami mengenang masa kecil nan indah, penuh canda tawa tanpa beban. Ia masih mengingatkanku waktu kami berdarmawisata ke Yogyakarta. Ia masih ingat pernah mencuri cium pipiku. Dan saat itu perasaanku hanya kebencian luar biasa pada playboy tengil nan centil. Ia berkisah legenda cinta pertamanya dengan cewek berkepang dua.

”Elu sih ganjeng, pacaran sejak SD. Sekarang lu udah mati rasa kan ama cinta? Rasain!” Ledekan itu terluncur begitu saja dari mulutku.

Hari itu aku menjadi pendengar setia kesaksian seorang mantan playboy...

Thursday, October 19, 2006

Kali ini, tentang Soulmate



“Percaya soulmate?”
“Ngga!”
“Hmm, aku masih percaya.”
“Udah deh, ngga ada itu soulmate. Kamu mana pernah tahu siapa soulmate-mu. Kalau ternyata tukang ojek ujung gang itu adalah soulmate-mu, kamu mau nikah ama dia?”
“Ah, ya ngga lah. Soulmate itu mestinya ya sepadan sama kita. Orang yang cocok, pas sama kita, sejiwa.”
“Lho, emang kamu pernah tahu tukang ojek itu cocok ngga sama kamu, wong belum pernah ngobrol. Siapa tau kalau ngobrol dan pendekatan, cocok.”
“Ah ngga deh. Ngga mungkin.”
“Nah, berarti soulmate itu ngga ada. Yang ada adalah kecocokan, nyambung. Soulmate hanya mitos.”
“Ngga, aku masih tetap percaya soulmate.”
“Ya silakan aja nunggu soulmate-mu jatuh dari langit.”

Itu percakapan aku dan kakak perempuanku beberapa bulan lalu. Aku pihak yang kontra teori soulmate, sedangkan ia yang berkeras bahwa soulmate memang ada. Kakakku sudah 38 tahun, masih lajang. Dia cantik. Waktu kecil dulu, aku selalu berpikir bahwa ia mirip sekali dengan Melissa Gilbert dalam film Litttle House on The Praire, tepatnya peran Laura Ingalls Wilder (apa bener ya spellingnya?) kecil. Apalagi pada adegan pembukaan film dimana semua anak perempuan keluarga Ingalls berlari-lari di rerumputan.

Selain rambutnya sama-sama panjang bergelombang , kakakku dan Laura juga berkulit putih, kulit muka mulus, mata bentuk almon. Puncak kemiripan mereka terletak pada rambut panjangnya yang dikepang dua dan senyum lebarnya. Pendek kata, kalau kau berpikir bahwa ia belum menemukan pasangan hidup karena fisiknya buruk, kau salah besar. Lebih tepat barangkali karena ia terlalu independen, mandiri dan tentu saja pintar.

Dia tipikal perempuan sangat mandiri, suka petualangan dan keras hati. Sejumlah kota dan negara sudah dilintasinya. Hari ini, kakakku tetap cantik walau rambutnya dipangkas pendek. Terakhir kudengar kabar dari ponselnya ia sudah di Ubud, Bali. Bekerja di sana. Saat menelepon beberapa hari lalu, suaranya masih ceria dan renyah. Aku hanya berharap semoga ia segera menemukan soulmate-nya, kendati aku sama sekali tidak percaya mitos itu.

Friday, October 13, 2006

I Prefer Platonic Than Eros

Sampai hari ini, aku masih bingung kenapa manusia begitu mengagungkan pernikahan. Sementara dari pengalaman pribadi dan orang sekitar, sudah membuktikan bahwa pernikahan bukan hal yang teramat sangat agung…

Masih ingat betul, itu malam minggu. Aku nongkrong bersama beberapa teman cowok. Remember, I noticed that I was a tomboy girl? Sebagai para jomblo, kami melakukan apa saja mengusir malam minggu tanpa pacar. Main billiard, nonton konser musik, sampai sekadar main gaplek di kos-kosan. Malam itu kami sudah mati gaya tak tahu mau apalagi. Bana, seorang teman dari ISTN memamerkan foto cewek cantik dari dompetnya.
“Namanya Cika, lagi kuliah di Belanda. Gue cinta banget sama dia,” cowok gondrong itu mendadak sentimental.
“Oh, dia cewek lu?”
Bana menggeleng.
“Kalau dia cewek gue, gue pasti akan married sama dia. Gue malah ngga mau married sama dia.”
Aku yang masih semester pertama dan lugu soal cinta hanya menggarung kepala, bingung mendengar jawaban Bana yang sudah mau skripsi. “Aneh lu, masak ngga mau nikah sama cewek secantik itu?”
“Kalau gue married sama dia, berarti gue mesti “anuan” ama dia? Wah, ngga tega deh. Gue terlalu cinta sama dia sampe gue ngga tega begitu.”

Saat itu aku belum “ngeh” banget sama jawaban Bana yang lima tahun lebih tua dariku itu. Sampai kemudian beberapa tahun kemudian aku membaca “Catatan Seorang Demonstran” yang waktu itu masih dalam kemasan lama, belum bersampul foto Nicolas Saputra seperti sekarang. Dikisahkan Gie tidak terlalu bersemangat mengejar perempuan yang dicintainya, Maria. Ia tidak mau Maria jadi objek dalam pernikahan kelak. “Pernikahan adalah pelacuran yang dilegalkan.”. Gie tak bisa menerima terlibatnya nafsu seks dalam sebuah ikatan cinta yang suci. Baginya, jika kita mencintai seseorang maka sebaiknya kita menghormati orang itu. Menghormati berarti tidak berbuat kurang ajar, termasuk tidak menidurinya.

Ketika membaca buku itu aku masih semester dua. Masih belum sadar juga apa yang dimaksud Gie.

Hari ini, aku sudah bertemu begitu banyak jenis manusia dengan segudang pengalaman hidupnya. Ada yang menikah dan bahagia. Menikah dan tidak bahagia. Tidak menikah dan bahagia. Tidak menikah dan tidak bahagia. Pernah menikah dan bahagia. Pernah menikah dan tidak bahagia. Dan sebagainya. Begitu rupa-rupa. Dan yang memprihatinkan, banyak pernikahan yang tetap dipertahankan sekuat tenaga dengan alas an menjaga nama baik keluarga. Padahal banyak kasus pasangan itu sudah tidak lagi bahagia satu sama lain. Begitu majemuk.

Lalu aku kembali dihadapkan pada fakta, mecintai seseorang memang sebaiknya tetap menghormatinya. Tidak melibatkan nafsu jasmani. Jika nafsu sudah terlibat, maka cinta dapat pergi kapan saja.

Saat seorang sahabat lelaki berkata, “Gue kangen elu”, berarti dia memang kangen dengan kehadiran sahabatnya. Kangen canda tawa dan keluh kesah. Tapi ketika seorang pacar berkata, “Gue kangen elu”, dapat berarti dia kangen untuk sekadar ciuman, belaian, atau bahkan lebih.

Itu yang bikin saya lebih percaya dengan cinta platonis daripada cinta eros.