Wednesday, September 27, 2006

Man Prefers Blonde 'Cuz Blonde Is Stupid? (So The Man is Stupid Either?)


Beberapa testimoni di Friendster-ku mengatakan bahwa aku harus sedikit feminim agar dilirik lelaki. Puih!

Bukan, bukan feminim berupa penampilan atau sebangsanya. Namun dalam bersikap. Kata teman, “Kamu harus sedikit terkesan lemah, lembut dan mengalah biar cowok terkesan sama kamu.” Huek!
Sahabat lain pernah mengatakan dalam SMS : “Kita terlalu pintar, Mer. Pintar dan berani mengutarakan pendapat. Makanya cowok takut.”

Jadi ingat istilah “Man prefers blonde because blonde are stupid.”

So, para lelaki lebih memilih perempuan bodoh sebagai pasangannya daripada yang pintar? Karena takut tersaingi? Bisa jadi!!!

Kemarin habis debat dengan seorang teman . Dia bilang: “Women are strong creature.” Karena lagi kumat pengen debat ditambah PMS, aku berargumen bahwa definisi itu hanya diciptakan kaum lelaki agar pemerpuan ngga manja.

He though he is the 1st man wo said that women are strong creature. No way.
Sudah banyak yang bilang begitu. Dan beberapa cowok bilang bahwa aku superwoman. But see where are all guys who has that statement?
THEY DECIDED TO CHOOSE THE WEAK ONE AS THEIR WOMEN!

Cowok bilang: cewek itu mahluk kuat. "Kamu superwoman, hebat!" dengan menciptakan idiom itu maka dia berpikir : "Ah lu kan cewek kuat, tangguh, hebat, kagak butuh gua. Lu tanggung aja semua sendiri."

And then they walk away from their responsibility as a MAN.
Dan mereka akan mencari cewek lemah, manja dan stupid buat dinikahi atau dipacari. MENGAPA? Sebab ide women are strong creature sangat INCOMPATIBLE dengan MAN-EGO mereka.

Yeah, I've been there and I know how the feeling as a woman called SUPERWOMAN by any guys she love, but those guys just runaway to prefer the weak-spoiled-stupid woman as their couple.
So...

Ide bahwa cewek itu mahluk kuat mungkin benar. Tapi ngga semua. Pada akhirnya cowok prefer cewek lemah-manja-bodoh sebagai pasangan hidupnya agar mereka tidak merasa ditandingi.

Sunday, September 24, 2006

Power Puff Girls Are in Luv


Dulu, kami sempat menyetarakan diri dengan para tokoh film seri Sex and The City. Kelamaan, setelah diamati, justru bertolak belakang. Benar, kami adalah para perempuan pekerja, berusaha menjadi perempuan karir.

Hmm, ada beda ya antara perempuan pekerja dan perempuan karir? Jelas. Kalau pekerja itu sekadar mencari nafkah. Sedangkan karir, ya mengejar karir setinggi mungkin. Berkaca dari kondisi kami, saat ini kami adalah pekerja yang tengah merintis karir. Mencoba bekerja bukan sekadar mencari uang, melainkan juga mencintai, bangga, sekaligus juga mencari kesuksesan.

Ah ribet membicarakan pekerjaan. Apa mau dikata, itulah topic utama obrolan kami tiap kali bertemu. Kontras dengan empat perempuan dalam Sex and The City yang justru nyaris tak penah membicarakan karir mereka. Ya, topik utama obrolan mereka adalah seks dan cinta. Sesuai dengan judul serial itu tentunya.

Setiap acara makan siang atau makan malam bersama, Miranda, Samantha, ….dan …. Tak pernah absent dengan gelak tawa atau sedu sedan seputar kisah kencannya. Bagaimana dengan kami?

Biasanya pertemuan akan diawali dengan membicarakan “Sedang sibuk apa sekarang?”. Lantas “Ada film bagus apa? Kapan nonton bareng? (ini nyaris tak terealisasi, sebab akhirnya kami akan sibuk sendiri-sendiri). Lantas memilih menu makanan secara heboh, lama, dan akurat. Kemudian topic berlanjut ke kabar “pacar” kami. Sssttt,”pacar” yang dimaksud di sini adalah notebook alias komputer jinjing kami! Akan ada bahasan agak techie seputar “Kenapa batere gue ngga bisa pol?” atau “Dimana beliin cover keyboard Acer yang melengkung antik itu?” atau juga keluhan Ajeng tentang MacBook-nya yang pesolek, dan sejenisnya.

Lalu akan ada selingan sedikit tentang bos yang menyebalkan, pekerjaan tak kunjung habis, model baju baby doll yang in, apakah lipgloss masih dibutuhkan, sepatu ceper murahan itu bisa awetkah, dan sebagainya, dan sebagainya.
Kemudian, kembali membangkitkan obsesi lama ihwal membentuk sindikat atau konsultan, blab la bla…..

Dan ketika ada salah satu yang keceplosan bertanya tentang cowok, maka suasana mendadak…………………………hening! Seolah ada “setan” lewat,semua langsung terdiam. Itu pertanda kami tengah mengheningkan cipta bagi kisah cinta kami yang sudah lama gugur ibarat pahlawan di tapal batas.

Apa pasal? Ya, kehidupan asmara kami dapat dikatakan nol besar, bahkan minus, dalam beberapa tahun ini. Topik tentang cowok selalu mengundang hati yang luka (duh, kayak lagu cengeng jadul!).

Eh, jangan salah. Secara tak sengaja saat ini kami tengah sama-sama dirundung asmara lho. Masih belum apa-apa. Masih sebuah pre-fall-in-love. Istilah Ajeng, baru “jatuh suka”, belum jatuh sayang atau cinta. Uniknya, kami bertiga bisa mengalaminya secara bersamaan. Padahal selama ini kesibukan telah menenggelamkan aku, Eno dan Ajeng sampai sulit saling bersua. *Untung ada Yahoo Messenger dan SMS*.

“Jadi Power Puff Girls are in luv? Wah, The Luv Episode og PPGs!” Itu SMS kami akhir pecan kemarin. Blossom, Bubble dan Buttercup tengah dilanda romantika. Akankah kami kecewa dan terluka? Ah, persetan saja.

Tapi jangan salah, obrolan kami tetap tidak seheboh serial Sex and The City. Selain kisah kasih kami sangat sepi, kami juga bukan penganut seks bebas. Jadi tidak akan pernah ada ketawa heboh ala Samantha yang berkisah tentang kencan panasnya! Obrolan kami justru lebih mirip dengan curhatan anak SMP di meja kantin sekolah. Ya, mungkin kami tidak pernah merasa tua dalam hal yang satu itu 

Friday, September 22, 2006

SBY, Sang Menteri dan Gelandangan Pemakan Kulit Jeruk

Tiga hari lalu. Di dekat terminal bus Manggarai, Jakarta, aku melihat seorang gelandangan mengorek-ngorek timbunan sampah. Kebetulan aku ada di atas Metro Mini 62 yang berjalan lambat menunggu penumpang. Lekat-lekat kuamati, lelaki gelandangan itu berasyik masyuk dengan sesuatu. Ternyata ia menemukan kulit jeruk dalam tas kresek hitam. Dan ia memakannya dengan lahap!

Pemandangan yang sama pernah aku saksikan di adegan film Gie yang dibintangi Nicholas Saputra. Film yang diangkat dari catatan harian Soe Hok Gie itu bersetting tahun 1960-an. Dikisahkan bagaimana Gie muda bertemu lelaki yang memakan kulit jeruk. Lalu ia jatuh iba dan memberikan semua uangnya pada lelaki itu.

Aku buka Gie yang memberikan uangku pada gelandangan tadi. Dan hari itu adalah 20 September 2006. Sudah berapa tahun lamanya Indonesia merdeka dan membangun? Kenapa masih ada orang kelaparan sampai mengoreki sampah, memakan kulit jeruk? Lantas apa yang rakyat dapatkan dari pembangunan selama ini? Kulit jeruk dan sampah?

Malamnya, aku berkirim SMS yang berkisah tentang si pemakan kulit jeruk tadi. Fakta bahwa sejak 1960-an sampai 2006 ini, rakyat Indonesia tidak mendapat kemajuan berarti dari pembangunan. SMS pertama aku kirim ke seorang teman, kebetulan pegawai negeri di sebuah instansi bergengsi. Jawabannya: "Say that to the minister (sudah diedit) dan semua kalangan pejabat tinggi setingkat dia. Mungkin mereka lupa, abis fasilitasnya enak terus. Gimana kita bisa cinta RI?"

Kuturuti sarannya, aku kirim SMS serupa ke seorang menteri yang biasanya rajin membalas SMS-ku. Sayang, si menteri tidak menjawab. Mungkin ia terusik dengan kisah duka menjijikan tentang kalangan bawah. Barangkali ia malas dengar cerita orang susah. Mungkin juga ia sedang menikmati jamuan makan malam lezat yang terganggu oleh SMS tentang gelandangan pengorek sampah.

SBY, JK, beserta gank kabinet plus semua anggota DPR yang bergaji puluhan juta mestinya menyempatkan diri berjalan-jalan ke lokasi pembuangan sampah. Biar mereka melhat, masih banyak rakyatnya yang hidup dari mengoreki sampah. Seperti anjing. Sepeti kucing. Bertahan hidup dengan mencari sesuatu untuk dimakan di antara bau busuk itu.
Oh Indonesia!

Wednesday, September 20, 2006

Hidup dan Lamaran

Malam Senin kemarin, di TV7 atau Global TV (saya lupa, maklum bukan penggila TV), ada satu adegan dalam film yang juga saya tak tahu judulnya.

Adegan itu sangat menyentuh!
Seorang nenek tua (80-an) bertemu seorang gadis cantik. Kira2 begini dialognya:

Nenek: Mana suamimu?
Gadis: Saya belum menikah.
Nenek: Ah, sayang sekali. Kamu cantik sekali padahal.
Si Gadis tersipu dan serba salah.
Nenek: Saya juga tidak pernah menikah.
Si Gadis terkejut.
Nenek: Ya, sebab tidak ada yang melamar saya...
Si Gadis masih terkejut.
Nenek: Saya dulu sangat mencintai Irvin saat usia 21. Tapi ibunya tidak setuju. Dia meninggalkan saya. Sejak itu saya tidak ada yang melamar...

Miris sekali!
Apa iya garis hidup seorang perempuan ditakdirkan oelh DILAMAR atau TIDAK DILAMAR?
Kalau tidak dilamar, maka ia akan kesepian seumur hidup seperti nenek tadi??????????????????

Dunia yang sangat tidak adil bagi kaumku tercinta!!!

Tuesday, September 19, 2006

Suatu Hari Nanti, Oriana...






“Oriana Fallaci meninggal di Florence.”



SMS itu datang dari Natalia, rekan jurnalis desk Internasional di mediaku. Singkat namun menyentak. Kebetulan aku sedang di luar kantor, belum sempat mengakses dunia maya.
Lalu kubalas, “Duh, belum sempet ketemu kok meninggal? Huhuhuhuhu!”

Siapa Oriana? Bagi orang Indonesia kebanyakan, nama perempuan Italia itu tidak banyak berarti. Buatku, amat sangat berarti!

Pertama mengenalnya melalui sebuah buku yang kupinjam dari perpustakaan SMP. “Wawancara dengan Sejarah” judulnya. Berisi kumpulan interviu perempuan kelahiran 29 Juni 1929 ini dengan sejumlah tokoh politik dunia terkemuka. Henry Kissinger, the Shah of Iran, Ayatollah Khomeini, Lech Wałęsa, Willy Brandt, Zulfikar Ali Bhutto, Walter Cronkite, Omar Khadafi, Federico Fellini, Sammy Davis Jr, Deng Xiaoping, Nguyen Cao Ky, Yasir Arafat, Indira Gandhi, Alexandros Panagoulis, Archbishop Makarios, Golda Meir. Luar biasa.

Sejak membaca buku itu, aku terinspirasi menjadi jurnalis. Sampai ketika lulus SMA aku tidak ikut UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri ), tapi langsung mendaftar di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta yang memiliki Fakultas Jurnalistik. Target hidupku saat itu hanya satu, jadi jurnalis. Titik. Tak bisa ditawar lagi.

Hari ini, aku menjadi jurnalis. Sebuah cita-cita yang tercapai. Bukan pada media besar, melainkan media biasa saja. Yang pasti aku bangga dengan profesi dan mediaku, sebab memiliki independensi luar biasa dalam menulis. Tidak ada campur tangan siapapun. Tidak ada intimidasi. Aku bebas menulis apa yang kusuka sesuai dengan ideologiku. Kebetulan aku membidangi halaman Ilmu dan Pengetahuan, bidang yang sesungguhnya sempat kucintai waktu sekolah lewat pelajaran biologi.

Memang jauh dari bidang Oriana, politik. Hmmm…itu juga sempat jadi obsesi terpendam: menjadi jurnalis politik. Bahkan wartawan perang. Tapi ternyata takdir menentukan lain. Nevermind. Aku tetap bisa hidup dengan menulis.

Oriana meninggal 15 September 2006 kemarin di Florence, Italia, kampung halamannya. Ia menderita kanker payudara selam 15 tahun. Tidak pernah menikah. Adakah penderitaa terpancar dari sorot matanya? Tidak.

Suatu hari nanti, aku akan kutebar bunga di pusaran makammu, Oriana.
Suatu hari nanti.

Friday, September 08, 2006

Jadi Harimau di Sarang Harimau



Being a pretty tiger among the tigers



Kembali, beberapa teman perempuan menanyakan keminoritasanku sebagai perempuan. Pekan kemarin aku kembali untuk ke sekian kalinya (sudah tak terhitung) menjadi mahluk paling cantik di rombongan. Maksudnya, saya satu-satunya perempuan, wanita, kaum Hawa, cewek, ibu, dalam satu tim perjalanan jauh.

Sesungguhnya ini suatu kondisi yang biasa. Selama gender tidak menjadi masalah, menjadi satu-satunya perempuan dalam 100 batalion tentara pun sebenarnya hal biasa. Problemnya adalah bagaimana kita sebagai pemilik jenis kelamin paling berbeda dapat menyetarakan diri dengan mereka.

“Gue males, abis ngga ada ceweknya,” ungkap teman cewekku yang merasa risih harus bergaul dengan rekan seprofesinya yang lelaki semua dalam sebuah perjalanan jauh. Akhirnya ia harus menikmati kesendirian, kesepian, di suatu tempat yang sesungghnya sangat mengasyikan kalau dilewati bersama kawan-kawan.

Bagi saya, sikap seperti itu adalah rugi besar. Kebetulan sejak kecil saya tomboy, lebih suka gaul dengan cowok. Sejak SMP sudah biasa yang namanya kemping dengan cowok-cowok. Sampai hari ini pun ketika usia sudah dewasa hal itu tak menjadi problem berarti. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perempuan yang menjadi minoritas gender di kelompoknya.

Pertama, jangan bersikap rewel dan terlalu menonjolkan kelemahan fisik serta emosi. Cowok paling sebel kalau di kelompoknya ada cewek rewel, bawel, rese. Terlalu banyak nuntut macem-macem. Yang ada kehadirannya justru akan disesali.

Kedua, jangan minta keistimewaan karena kita perempuan. Mereka sudah tahu kita perempuan, punya beberapa kelemahan dibanding mereka. Dari sisi fisik misalnya, kita tak mampu melakkan hal-hal yang setara dengan cowok. Mereka sadar betul itu tanpa harus kita mengingatkannya. Otomatis teman-teman cowok kita akan memahami kondisi itu sehingga secara sukarela akan memberi keistimewaan. Namun bukan berarti kita menuntut terlalu banyak privilege hanya karena kita perempuan.

Ketiga, karena sadar bahwa kita memiliki kelemahan fisik dan emosi yang dominan, cobalah berusaha meminimalkannya. Maksudnya, ada banyak situasi dimana mau tak mau kita harus berusaha keras mengikuti alur mereka. Contoh paling anyar saya alami saat kami berjalan kaki putar-putar KL. Akan memuakkan kalau saya merengek-rengek kecapean. Mau tak mau saya harus memiliki fisik kuat agar dapat mengikuti irama aktivitas itu. Kalau saya sudah kelelahan dan tak kuat lagi, saya akan menyampaikannya baik-baik, bukan dengan cara merengek mirip bayi. Kaum Adam akan menghargai sikap itu.

Keempat, hindari perilaku yang mengundang pelecehan seks. Ada di tengah kelompok pria dengan memakai baju sexy? Itu sama saja dengan minta diperkosa! Pakai logikamu. Berada di satu gerombolan harimau, maka sebaiknya kita ikut berperilaku dan berpenampilan seperti harimau. Itu langkah paling aman. Kalau kau berpenampilan dengan kulit domba di tengah harimau-harimau ganas, sama saja kau minta dimangsa.

Itu saja kiat yang bisa saya bagikan pada teman-teman perempuan. Jangan pernah meng-underestimate diri sendiri hanya karena perbedaan gender. Tapi juga jangan menganggap dirimu istimewa di antara mereka. Seperti saya bilang, jadilah harimau di sarang harimau.

Wednesday, September 06, 2006

Cari yang Cantik dan Ganteng? Ya Indonesia!



Ngga GR, gue yang paling cute di sini! Hahaha! Suwer!

“Sejauh mata memandang, kok ngga ada yang cakep, sih?” Pertanyaan itu kuajukan ke Rully, teman jurnalisku senasib sepenanggungan di Kuala Lumpur. Kami tengah berbaur dalam kerumunan di ajang Micosoft Tech.Ed South East Asia (SEA) 2006 di KL Convention Center (KLCC).

Bukan mau sok, tapi ini fakta. Sejak kedatangan kami di ibukota negeri jiran ini, nyaris tak pernah aku bertemu wajah-wajah cantik dan ganteng. Justru lebih banyak wajah cantik dan ganteng di Indonesia. Suatu misteri yang akhirnya terpecahkan setelah kami berpapasan dengan serombongan anak sekolah.

Mereka anak-anak usia SD dibagi atas tiga kelompok. Satu kelompok terdiri atas yang bermata sipir, kulit kuning. Kelompok lain mata besar, kulit sawo matang. Kelompok lain adalah mata lebih besar dan kulit agak kelam. Ya, mereka adalah kelompok etnis Cina, Melayu dan India. Ternyata di sini, sejak kecil ketiga etnis tersebut sudah dipisah-pisahkan pergaulannya. Maka tak heran setelah dewasa maka pergaulan mereka juga dibatasi berdasar etnis.

Jadi ingat, seorang teman dulu pernah cerita pas dia kerja di KL jadi bingung mau gaul sama siapa. Dia Indonesa keturunan Cina. Di Jakarta sih gaulannya bebas. Tapi begitu di KL, dia bingung mau gaul sama kelompok etnis mana. Secara jiwa, dia cocok sama orang Melayu. Sayangnya orang Melayu di sana tak bisa dengan mudah menerima pertemanan dekat dengan orang berwajah Cina. Jadi temanku itu mencoba bergaul dengan kelompok Cina. Masalahnya, dia tak bisa bahasa Cina, dan secara selera dan gaya hidup, ia sama sekali “ngga nyambung” sama mereka. Yang ada temanku jadi bingung mau bergaul sama siapa. Ujung-ujungnya ia harus mencari sesame orang Indonesia di sana! Duh, susah amat ya hidup??!!!

Gaya hidup “rasialis” macam itu akhirnya yang menyebabkan warga KL tidak secantik dan seganteng warga Jakarta. Apa sebab? Yah, kalau gaul aja dibatasi secara etnis, bagaimana bisa terjadi kawin campur atau asimilasi seperti di Indonesia? Orang Cina akan kawin dengan sesame Cina. Melayu dengan Melayu. India dengan India. Tidak ada perpaduan. Hasilnya adalah keturunan yang berwajah “itu-itu aja”. Yang Cina yang super sipit. Yang India ya super hitam. Yang Melayu yang tetap saja standar.
Indonesia? Wow, cantik dan ganteng semua dong! Sebab kita adalah negara yang tak mengenal rasialisme! Kawin campur Jawa-Sunda-Ambon-Batak-Padang-Cina-Arab-Makassar dan sebagainya, SUDAH BIASA! Jadilah kita bangsa yang wajahnya gunteng-guanteng dan cuantik-cuantik! Banggalah jadi orang Indonesia!

Mau cuci mata cari yang ganteng? Ngga usah ke KL! Jakarta jawabannya!