Thursday, October 20, 2005
Membeli Anjing
Masih seputar buruk rupa kaum lelaki, saya punya cerita lain. Ada seorang teman seniman yang tak bisa disebut tampan (untuk tidak menyebutnya jelek). Ditambah lagi kondisi fisiknya tak sempurna. Saya sama sekali tidak menghina kondisi fisik manusia, begitu saya tegaskan sekali lagi. Tapi ini sebuah fakta. Teman tadi selalu didampingi seorang perempuan cantik di setiap momen ia tampil di publik. Begitu mesranya. Saya pikir pastilah perempuan itu kekasihnya.
Suatu ketika si teman lelaki buruk rupa tadi jatuh sakit. Saya dan beberapa teman menjenguknya di rumah sakit. Agak terkejut, saya melihat seorang perempuan mendampinginya, merawatnya dengan setia. Perempuan itu bukanlah perempuan cantik yang biasa mendampinginya. Itu perempuan lain. Bertambah terkejut, ternyata perempuan yang ini adalah istrinya.
Pulangnya saya terus berpikir. Alangkah hebatnya lelaki itu. Walau wajah jelek dan fisik tak sempurna, masih sedemikian percaya diri untuk berselingkuh, mempermainkan perempuan. Tidak tanggung-tanggung, perempuan yang dipermainkannya adalah yang berwajah cantik dengan fisik sempurna.
Kisah lain adalah seorang perempuan yang mengetahui di belakang hari bahwa pacarnya yang tidak tampan telah berselingkuh dengan banyak perempuan. Sungguh mengagumkan mahluk bernama lelaki. Mereka punya rasa percaya diri begitu tinggi sehingga wajah buruknya tak berpengaruh pada rasa percaya diri untuk mempermainkan lawan jenis.
Kesimpulan yang bisa diambil dari serangkaian kisah ini adalah, lelaki dengan wajah tampan atau jelek sama-sama berpotensi mempermainkan perempuan.
Wajah buruk bukanlah jaminan mereka akan setia. Sebagai perempuan saya sarankan kepada sesama kaumku, dengan risiko dipermainkan, lebih baik kita memilih lelaki berwajah tampan ketimbang yang buruk rupa. Toh keduanya sama-sama berpotensi mempermainkan perempuan. Ini sama saja membeli anjing peliharaan. Kalau ada anjing yang bertampang buruk dan bertampang manis, sebaiknya kita pilih yang manis saja. Sebab keduanya tetap saja anjing, sama-sama berpotensi mengencingi perabotan kesayangan kita. Atau bahkan buang air besar di atas spring bed mahal kita.
Menikah, Demi Status
Sebuah SMS datang. “PAKABAR? ADA GOSIP APA? KAPAN SEBAR UNDANGAN?” Lalu saya balas, “UNDANGAN SUNAT APA UNDANGAN PESTA ULTAH?” Dibalas lagi dari seberang sana, “UNDANGAN MARRIED LAH. BELAGAK BEGO LU!”
Pertanyaan “kapan married”, “kapan sebar undangan”, selalu menghantui perempuan usia menjelang 30 ke atas. Seorang teman sedemikian stresnya setiap kali menghadapi Lebaran. Bukan karena tak punya uang, tapi sebab dia akan bingung menjawab pertanyaan sanak famili yang bertandang ke rumah. Pernyataannya ya itu tadi, “kapan nikah”. “Boro-boro nikah, pacar aja ngga ada. Mau nikah ama kuda apa,” dengus si teman.
Sedemikian frustasinya sampai-sampai si teman minta saya menjadi mak comblang agar cepat dapat suami. Ada sekitar empat lelaki sudah saya perkenalkan dengannya, semua tereliminasi dengan suksesnya. Belum lagi calon-calon yang dinominasikan para kerabat. Tak ada yang masuk hitungan. Padahal teman saya itu tergolong good looking. Wajah manis, kulit putih mulus, porsi badan ideal, rambut hitam kelam lebat alami. Tipe idaman lelaki pokoknya. Lantas saya bertanya, apa iya dia sudah sebegitu kebelet kawin? Apa beul dia sudah bosan berkarir dan ingin jadi ibu rumah tangga? Apa ia dia rela menjadi istri dan ibu dari lelaki yang belum tentu ia cintai dan menikahinya hanya karena tuntutan keluarga? Ia hanya diam kemudian menggeleng perlahan.
Teman itu mengaku cukup bahagia dengan statusnya saat ini, melajang dengan karir dan penghasilan lebih dari cukup. Ia bisa bebas ingin makan di restoran mana saja, pergi nonton dengan siapa saja, membeli pakaian jenis apapun itu tanpa kekangan lelaki. Kehidupan sebagai anak kost cukup memuaskan sebab ia bisa langsung tertidur pulas begitu pulang kerja tanpa harus pusing melayani orang lain. Ia juga merdeka melangkahkan kaki kemana hati suka. Hanya satu yang membuatnya risi, pertanyaan kerabat dan teman-teman yang berbunyi sejenis, “kapan married?”.
Teman tadi hanya satu di antara begitu banyak perempuan usia menjelang 30 yang dihantui rasa takut. Sungguh rasa takut dibuat-buat yang timbul dari pandangan publik sekitar. Pandangan usang yang menganggap usia kepala 3 sudah harus nikah, hamil dan punya anak. Jangan terkejut, walau kita sudah pernah punya presiden perempuan dan banyak menteri perempuan, tetap saja pandangan macam itu menjadi momok menakutkan bagi mayoritas perempuan.
Akhirnya saya datangi teman tadi. Dengan tegas saya katakana padanya, “Apa kamu mau menikah demi status lalu kemudian merasa menyesal seumur hidup karena ternyata kamu menikah dengan orang yang salah? Ibarat naik bus, lebih baik duduk seorang diri di bus daripada harus bersebelahan dengan orang yang tak tahu diri, bau keringat, memonopoli tempat duduk dan kentut seenaknya.”
Sesobek Notes Perempuan Belia
Sesobek notes itu saya temukan di lantai sebuah kampus. Masih bisa terbaca jelas walau sudah ada bekas injakan kaki. Ditulis denggan pulpen merah, huruf berantakan. Sepertinya ditulis dengan emosi membara. Beginilah bunyinya.
Dulu, saya selalu menyesal mengapa terlahir sebagai perempuan. Terlebih ketika mulai memasuki masa puber, saat dimana fisik kita bermetamorfosa menjadi perempuan dewasa. Padahal masa itu saya tengah berada pada kondisi dimana ingin menunjukan diri bahwa perempuan sama hebatnya dengan lelaki. Tapi tiba-tiba saja dihadapkan pada fakta menyedihkan:
Harus mengalami menstruasi yang disertai kram perut setiap bulan.
.Terpaksa mengenakan mini-set demi menutupi buah dada yang baru tumbuh.
Lebih sadar kalau tenaga kita tak ada apa-apanya dibanding teman lelaki.
Ditekankan bahwa kita berbeda dari lawan jenis dan harus berhati-hati bergaul dengan mereka.
Tumbuh perasaan grogi kalau berhadapan dengan mahluk bernama lelaki.
Mendadak muncul kondisi “moody” yang cengeng dan mengesalkan.
Perlahan bertambah tahu tentang kisah-kisah kekuranajaran kaum Adam terhadap kaum Hawa, seperti kasus perkosaan, pelecehan dan penganiayaan.
Mulai merasakan sendiri apa itu pelecehan seks, seperti diraba-raba dalam kereta yang penuh sesak, dicolek kondektur bis atau digodai, disiuli oleh preman pinggir jalan.
Timbul larangan-larangan orang tua antara lain tak boleh keluar malam bersama teman lelaki, tak boleh bercelana pendek ke luar rumah dan sebagainya.
Kerap dianggap rendah hanya karena kita perempuan. Dicap wajib mencuci piring, mengepel, mencuci baju, memasak, menyiapkan minuman untuk tamu. Sementara saudara laki-laki kita boleh enak-enakan duduk santai.
Yah, sepuluh hal di atas tadi membuat saya geram dan tidak terima karena dilahirkan sebagai mahluk perempuan, wanita, cewek, putri, kaum hawa, dan berbagai sebutan lain. Saya benci diri sendiri yang kenyataannya adalah perempuan, identik dengan ketidakberdayaan. Sudah bertenaga lebih lemah dari laki-laki, masih dikaruniai perasaan cengeng , mudah menangis.
Ditambah lagi aneka norma-norma yang hanya berlaku bagi perempuan. Tak boleh keluyuran malam, bisa dianggap murahan. Jangan merokok, sebab identik dengan perempuan nakal. Dilarang terlalu sering bergaul dengan teman lelaki, bisa dicap sebagai perek. Saya marah sekali dengan kondisi seperti itu dan mencoba melanggar semuanya. Saat itu semester satu di bangku kuliah. Dengan berpakaian ala lelaki, T-shirt dan jeans belel, sepatu kets dan rambut pendek, saya selalu berteman dengan laki-laki. Hampir bisa dikatakan semua teman baik saya adalah cowok. Semuanya berlatar tak lain dari keinginan dari lubuk hati yang paling dalam untuk membuktikan bahwa walaupun saya perempuan tetap mampu disamakan dengan lelaki.
Sesaat saya enjoy dan puas dengan keadaan tersebut. Tapi tak bertahan lama. Sebab tetap saja sekitar kami mencap saya adalah peempuan nakal yang dijadikan piala bergilir oleh teman laki-laki itu. Gila bukan? Padahal hubunganku dengan semua teman cowok tadi 100 persen dilatari persahabatan murni tanpa pamrih apapun. Saya betul-betul frustasi, marah, kesal namun tak bisa berbuat apapun. Akhirnya semua teman cowok tadi pergi satu-satu karena merasa tak enak hati menjadi penyebab kehancuran reputasi saya sebagai perempuan.
Lalu sejak itu saya mulai belajar menerima fakta bahwa perempuan haruslah bersahabat dengan perempuan. Kalau ada teman cowok istimewa maka dia harsu dijadikan pacar. Sungguh tidak enak hidup dalam norma macam itu. Tapi itulah kenyataan yang ada. Dan kita harus menerimanya. Terpenjara atau dicap sebagai cewek murahan. Oh my God! Kenapa saya harus dilahirkan ke planet macam ini?
Menjadi Perempuan: Kehormatan atau Kehinaan?
Dan mulailah saya membuat judul-judul penuh pertanyaan yang menjijikan. Tidak juga, sebab dunia ini sendiri sarat dengan pertanyaan. Kontroversi tiada habis. Ironi yang tak kunjung usai. Judul di atas sendiri merupakan kalimat Tanya yang hingga etik ini belum terjawab dengan pasti oleh masyarakat kita.
Menurut Nawal El Saadawi, kalau di Mesir seorang anak perempuan lahir, maka si bapak akan pergi tidur setelah memukuli istrinya dengan penyesalan. Sedang kalau anak lelaki yang lahir, si bapak akan tersenyum bahagia dan pergi tidur dengan tenang. Pramoedya Ananta Toer mengisahkan dalam Gadis Pantai, para suami ningrat Jawa tak sudi melihat anaknya yang baru lahir kalau si anak berkelamin perempuan. Bahkan sampai berhari-hari atau selamanya sang bapak ningrat tadi tidak akan menjenguk anaknya walau tetap memberi nafkah materi. Dua contoh di atas berasal dari budaya berbeda, bahkan jutaan mil jauhnya terpisah. Namun ada satu garis lurus yang bisa ditarik persamaannya, sejak lahir perempuan tak dihargai.
Beranjak besar, seorang perempuan di keluarga Indonesia umumnya lebih banyak punya beban dibanding lelaki. Harus membantu ibu di dapur. Menghidangkan minuman untuk tamu yang datang. Menyapu, mengepel, cuci baju, cuci piring, beres-beres rumah, semuanya dianggap pekerjaan layak bagi anak perempuan. Anak lelaki bisa bebas tugas dari itu semua. Boleh pergi main hingga larut malam, makan, tidur, tanpa dibebani kerja apapun. Itulah potret mayoritas keluarga di Indonesia.
Setelah dewasa, seorang perempuan dilegalkan menjadi istri kedua, ketiga dan keempat bahkan juga simpanan. Acara berita kriminil di televisi selalu menyiarkan berita penggrebekan terhadap Wanitas Tuna Susila (WTS), tapi tak pernah mengekspos kinerja para Pria Tuna Susila alias gigolo. Iklan di media massa lebih kerap menyorot kecantikan dan tubuh sexy para perempuan, tapi pemandangan lelaki tampan sangatlah langka dijadikan nilai jual komersil. Seorang lelaki yang pulang kerja larut malam akan dipuji sebagai pekerja keras yang hebat dan cinta keluarga. Sedangkan perempuan yang pulang kerja malam hari akan dicap sebagai penjaja seks, cewek murahan, tak tahu waktu dan sejenisnya.
Dari semua fakta di atas, saya jadi bertanya-tanya, apakah menjadi perempuan itu sedemikian hina? Tapi ironisnya, kalau ada ilmuwan perempuan yang meraih penghargaan seperti Inez Loedin dengan beras transgeniknya, maka seluruh media massa akan bertempik sorak. Memuji-muji bahwa perempuan tak kalah dengan lelaki. Presiden perempuan awalnya sangat dihargai karena keperempuanannya. Bahkan Miss World yang jelas mengandalkan kelebihan fisikpun dipuja-puja seantero jagat raya.
Akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Semua pujian dan sanjungan media massa terhadap prestasi perempuan hanya sekadar kecap dapur belaka. Mengapa seseorang harus disanjung berdasar prestasi plus jenis kelaminnya? Kenapa seorang Inez Loedin tidak dipuji sebagai ilmuwan penemu beras transgenik saja. Mengapa harus ada embel-embel “ilmuwan perempuan”? Opini saya adalah, sanjungan dengan mengikutkan predikat gender bagi perempuan justru merupakan penghinaan. Menjadi presiden bagi seorang lelaki dianggap wajar saja, tapi luar biasa ketika presiden itu berkelamin perempuan. Berarti di mata dunia, perempuan tetap mahluk lemah yang patut mendapat tepukan tangan kalau sedikit berprestasi. Hinaan itu adalah dengan memberi embel-embel predikat “presiden perempuan”, “ilmuwan perempuan”, “penulis perempuan” dan seterusnya.
Uniknya, kaum perempuan sendiri kerap kali tidak menghargai kaumnya sendiri. Mereka terbawa arus patriarkis yang menganggap perempuan selalu lemah dan rendah dibanding lelaki. Mereka adalah perempuan yang ikut menyalahkan sesama kaumnya ketika menjadi korban chauvinisme lelaki. Mereka bisa saja seorang ibu yang mencibir anak peempuannya yang hamil di luar nikah dengan mengatainya “perempuan murahan”. Atau seorang ibu yang berusaha sekuat tenaga memenuhi keinginan suaminya untuk memiliki anak lelaki.
Kembali ke judul di atas, sebuah kehinaan atau kehormatankah menjadi perempuan? Bagi seseorang yang sangat menghargai harkat manusia, saya dengan tegas menjawab, menjadi apapun kita adalah sebuah kehormatan. Bahkan kalau ingin meminjam rasa chauvinisme kaum lelaki, saya ingin tegaskan perempuan jauh lebih terhormat daripada lelaki.
Perlakuan budaya yang mengharuskan kaum perempuan menjaga keperawanannya sebelum menikah adalah bukti dari kehormatan itu sendiri. Lelaki boleh saja meniduri jutaan perempuan sebelum beristri. Tapi kaum ortodok menginginkan darah perawan di malam pertama. Bagi sebagian orang itu adalah pelecehan perempuan, tapi tidak bagi saya. Kita balik saja pandangannya. Bukankah itu berarti harga diri lelaki jauh lebih murah ketimbang perempuan? Lelaki dilegalkan mengobral seks pada siapa saja, tapi tidak perempuan. Tidakkah itu sebuah budaya penghormatan bagi perempuan?
Perempuan Perayu: Hebat atau Murahan?
Kalau lelaki pandai merayu, mereka dibilang hebat. Don Juan, Cassanova, playboy jempolan, pantas dipuja-puji. Kalau perempuan pandai merayu, maka ia adalah perek, pelacur, cewek matre, tak punya harga diri dan pantas dicibiri.
Itu fakta. Sama tuanya dengan fakta lelaki pengejar cinta itu Romeo sejati, gentleman, pujaan hati dan pangeran perkasa. Perempuan pengejar cinta adalah tak punya harga diri, murahan, bodoh dan menjijikan. Saya menggelengkan kepala terus menerus tak bisa berhenti.
Rasanya sudah basi kalau kita baca dalam sebuah rubrik konsultasi cinta remaja kalimat yang kurang lebih begini, “Kak, apa pantas perempuan menyatakan cinta lebih dulu?” Kenyataannya pertanyaan semacam itu terus menggema di seantero jagat percintaan Indonesia. Lalu biasanya akan dijawab, “Wah, sekarang sudah modern. Cewek sudah bisa menyatakan cinta,kok.” Namun teori tinggalah teori. Walau prakteknya mulai banyak perempuan yang berani menyatakan cinta, tetap saja berlaku hukum purba tadi bahwa perempuan perayu adalah pelacur.
Selamat datang di dunia laki-laki! Itulah kalimat yang pantas kita luncurkan kepada setiap remaja putri yang mulai mengenal cinta. Boleh saja ribuan atau jutaan perempuan meninjakkan kaki di bulan. Silakan saja perempuan menjadi jendral atau perdana menteri atau presiden.
Namun tetap saja untuk urusan cinta, lelaki yang pegang kuasa. Pepatah “kejarlah maka kau kan dapatkan” tak berlaku bagi Kaum Hawa. Sebab sekali kau mengejar lelaki yang kau cinta dan menyatakan cionta padanya, maka kau akan direndahkan sebagai perempuan tak punya harga diri. Perek. Pelacur. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika si lelaki memanfaatkan kesempatan dengan berbohong bilang cinta, lalu hanya butuh seks saja. Selamat datang di dunia penuh kemunafikan, wahai anak-anak Hawa!
Hati-hati, Sedang PMS
Hati-hati, Sedang PMS
“Kau ingin jadi apa?” Tanya ibu peri.
“Aku ingin jadi orang yang easy going,” jawabku.
“Apa itu easy going?” Ibu peri melongo.
“Hmm..apa ya? Itu lho, orang yang selalu menganggap mudah segala hal. Selalu menerima keadaan tanpa stress,” jawabku.
Ibu peri mendesah. “Andaikan aku bisa, Nak.”
Ia berlalu.
Bukannya ibu peri yang tak bisa, melainkan aku. Karakter manusia memang sulit diubah. Sekali kita terlahir maka ada bersama kita kromosom yang membawa sifat genetik. Itu semacam cetak biru yang sudah digariskan. Sulit diubah dengan cara apapun.
Berdasar tes kepribadian yang pernah kuikuti, aku tergolong manusia melankolis. Jenis manusia yang sering terbawa perasaan, moody. Barangkali tes itu betul mengingat situasi perasaanku mudah sekali berubah-ubah. Seperti ombak laut bergelombang. Kadang tenang, kadang bergejolak.
Aku membenci diriku sendiri. Diri yang sungguh cengeng, emosionil, sentimental. Menurut tes kepribadian Cosmopolitan, aku masuk kategori pribadi Ally Mc Beal. Perempuan yang di saat suka akan ceria sekali mengekspresikan perasaan senangnya. Tapi di kala duka akan sungguh tercermin di wajah. Oh God, kenapa aku tercipta seperti ini?
Berkirim SMS tak dibalas, maka aku akan marah, merasa dicampakan, sedih dan sebagainya. Terikat janji pada seseorang namun dikecewakan, maka aku akan tidak keruan seperti kucing tersiram air panas. Atasan sedikit cerewet membuatku merasa hidup seperti di neraka. Sampai terpikir untuk berhenti kerja. Menggilai seorang lelaki tampan sampai seperti sapi berahi. Dan masih banyak lagi ketololan lain sebagai mahluk manusia tanpa otak dan rasio.
Yang paling memprihatinkan adalah semuanya sangat memuncak ketika mendekat pada tanggal-tanggal tertentu. PMS! Tiga huruf yang sudah jauh lebih popular sebelum ada SMS dan MMS. Sayangnya tiga huruf tadi sudah mulai dilupa banyak orang, baik perempuan maupun lelaki. Jangankan lelaki, kaum yang mengalaminya sendiri pun sudah lupa apa itu PMS. Tapi herannya aku masih amat mengingatnya, baik kepanjangan maupun arti harfiahnya.
PMS itu singkatan dari Pre-Menstrual Syndrome. Sebuah keadaan yang dialami kaum perempuan pada awal, sedang atau setelah menstruasi. Dalam kondisi ini biasanya hormon dalam tubuh perempuan mengalami ketidakseimbangan. Paparan ilmiahnya saya tak bisa menjelaskan. Yang pasti sebagian besar perempuan yang mengalami PMS akan menjadi emosionil lebih dari normal, rasa nyeri di sekitar perut, buah dada membengkak. Tentu saja keadaan ini sangat tidak nyaman sehingga yang bersangkutan bisa terganggu produktivitasnya.
Tidak semua perempuan mengalami PMS. Ada yang tetap normal saja walau ada badai sekalipun. Itu di luar kebiasaan dan kami menyebutnya perempuan super. Tapi sepengetahuanku, sejak mengalami menstruasi pertamakali sampai hari ini, sebagian besar teman perempuanku selalu menderita akibat PMS.
Sedemikian ingat dan cintanya aku pada tiga huruf tadi, sampai-sampai menulisnya dalam statusku di Yahoo Messenger (YM). Maksudnya agar setiap orang yang chatting denganku bisa sedikit waspada. Bahkan kalau perlu aku ingin mencetak kaos bertulis, “Hati-hati, sedang PMS!” dan dalam bahasa Inggris juga, “Beware, PMS Woman!”. Bukan karena ingin menarik perhatian atau membanggakan ke-PMS-anku. Sekadar peringatan terhadap sekeliling bahwa aku sedang dalam emosi tak terkendali yang bisa meledak kapan saja. Maka itu jangan sesekali mencari gara-gara dengan perempuan yang sedang PMS.
Jangankan saat PMS, saat tidak PMS saja saya sudah tergolong sebagai perempuan emosionil. Bagaimana saat PMS? Oh, itu penderitaan luar biasa. Bukan saya ingin menggarisbawahi kelemahan kaum Hawa satu ini. Bukan. Hanya saya mengakui amat teramat tak menyenangkan menjadi mahluk emosionil dengan tubuh lemah dan setiap bulan harus menanggung derita PMS. Sama sekali tidak menyenangkan. Jadi sebagai laki-laki, harap sedikit lebih simpati atau empati pada kami yang mengalami PMS. Bukan malah menyiuli atau melirik nakal kalau bertemu di jalan.
*suatu malam sehabis PMS usai*
Kali Ini, Tentang Cinta Platonis
Sahabat itu bisa lelaki, bisa perempuan. Alangkah indahnya kalau persahabatan sejati bisa terjalin antara lelaki dan perempuan. Tanpa ada kisah kasih menyek-menyek. Tanpa ada kecemburuan. Tanpa ada nafsu seks. Apapun itu.
Itu yang kata orang namanya cinta platonis. Cinta antar teman. Beda dengan cinta kepada kekasih alias cinta eros yang penuh nafsu, kecemburuan dan otoritas. Cinta platonis jauh lebih suci ketimbang cinta eros.
Perempuan butuh sahabat lelaki. Agar bisa mem-balancing pola pandangnya yang terlalu emosionil. Di saat tertentu kita perlu teman bicara yang tak melulu didominasi perasaan. Saya pribadi kalau ada masalah kerap curhat dengan teman lelaki. Mereka bisa memberi masukan yang rasional, logis, ketimbang teman perempuan. Tentu saja kita tetap butuh teman curhat perempuan kalau dalam keadaan luar biasa rapuh, memerlukan teman “senasib seperjuangan”.
Sejak SMA sampai kuliah, teman dekat saya mayoritas adalah lelaki. Berteman dengan mereka seolah menyuntikkan kekuatan tersendiri. Mereka seperti menulari saya dengan semangat untuk survive yang luar biasa. Tapi seiring dengan beranjaknya waktu, akhirnya saya lebih dekat dengan teman perempuan. Bukan berarti saya tak punya sahabat lelaki. Selalu saja ada.
Sahabat lelaki adalah teman kita yang bikin kita tak sungkan berkeluhkesah. Mereka juga tak dikotori pikiran kotor penuh nafsu. Tak ada kecemburuan.
Sahabat adalah orang yang bisa kita ganggu kapan saja, dimana saja. Tidak membuat kita sungkan untuk menyatakan GUE KANGEN ELU atau GUE BENCI ELU. Tidak malas membalas SMS. Tidak sayang membuang pulsa demi menelepon. Tidak ada kata CAPEK untuk membantu saat kesusahan. Juga bebas dari rasa gengsi demi menolong teman.
What a lovely friendship we have!!!
Subscribe to:
Posts (Atom)