Thursday, August 03, 2006

Aik, Asisten Saya






Masih ingat, sekitar setahun lalu, mungkin lebih. Di teras sebuah rumah sakit swasta bilangan Cikini. “Itu siapa, Mer? Tanya seorang sahabat.
“Oh, Aik, asisten gue,” jawabku.
“wah lu dapet asisten dari kantor? Keren amat.”
Aku hanya tersenyum geli.

Saat lain, menjemput Libby di tempat kursus bergengsi, EF. Aik dikira akan mendaftar kursus, padahal ia hanya mengantar Libby. Aik cerita dengan geli pada saya.

Kali lain, di sela meeting saya mendadak ingat bahwa Libby siang itu pulang sekolah lebih awal. Saya menelepon Aik dari ponsel. Teman bertanya, “Ada apa Mer?”
“Hubungi asisten gue nih, penting.”

Lain waktu lagi, dalam sebuah acara larut malam di kantor teman, saya bergegas pulang lebih dulu. “Kasihan, Libby cuma sama berdua asisten saya di rumah,” jelas saya pada teman.

Siapakah Aik?

Seorang perempuan 33 tahun dengan penampilan resik, tubuh kurus mungil, rambut keriting panjang. Tutur katanya halus, khas Sunda. Sabar. Saya tak pernah tega memarahinya walau ada kesalahan. Ia pernah menikah ketika sudah tinggal setahun lagi lulus SMA. Suaminya selingkuh, kawin lagi. Padahal Aik sudah keguguran tiga kali demi menganugerahkan anak buat suami tercinta. Akhirnya mereka bercerai.

Dan di Depok saya bertemu perempuan bersahaja itu. Aik membantu saya. Meng-asisten-i kehidupan saya yang super sibuk. Telaten menghadapi kenakalan Libby. Mencuci dan menyetrika baju-baju kami dengan rapi. Menjaga kebersihan rumah kami. Memasak hidangan lezat setiap hari. Rela berpanas-panasan menjemput Libby pulang sekolah.

“Mama Libby, saya minta dua bulan gaji. Biar deh dipotong. Bulan depan ngga usah gajian.” Saya tak pernah tega menolak permohonannya.

Aik, asisten saya yang cantik, penyabar, rajin. Saya tidak pernah tega menyebut kamu "pembantu". Kata "asisten" lebih tepat dan terdengar manusiawi.

Aik, bisa apa saya tanpa kamu?