Sampai hari ini, aku masih bingung kenapa manusia begitu mengagungkan pernikahan. Sementara dari pengalaman pribadi dan orang sekitar, sudah membuktikan bahwa pernikahan bukan hal yang teramat sangat agung…
Masih ingat betul, itu malam minggu. Aku nongkrong bersama beberapa teman cowok. Remember, I noticed that I was a tomboy girl? Sebagai para jomblo, kami melakukan apa saja mengusir malam minggu tanpa pacar. Main billiard, nonton konser musik, sampai sekadar main gaplek di kos-kosan. Malam itu kami sudah mati gaya tak tahu mau apalagi. Bana, seorang teman dari ISTN memamerkan foto cewek cantik dari dompetnya.
“Namanya Cika, lagi kuliah di Belanda. Gue cinta banget sama dia,” cowok gondrong itu mendadak sentimental.
“Oh, dia cewek lu?”
Bana menggeleng.
“Kalau dia cewek gue, gue pasti akan married sama dia. Gue malah ngga mau married sama dia.”
Aku yang masih semester pertama dan lugu soal cinta hanya menggarung kepala, bingung mendengar jawaban Bana yang sudah mau skripsi. “Aneh lu, masak ngga mau nikah sama cewek secantik itu?”
“Kalau gue married sama dia, berarti gue mesti “anuan” ama dia? Wah, ngga tega deh. Gue terlalu cinta sama dia sampe gue ngga tega begitu.”
Saat itu aku belum “ngeh” banget sama jawaban Bana yang lima tahun lebih tua dariku itu. Sampai kemudian beberapa tahun kemudian aku membaca “Catatan Seorang Demonstran” yang waktu itu masih dalam kemasan lama, belum bersampul foto Nicolas Saputra seperti sekarang. Dikisahkan Gie tidak terlalu bersemangat mengejar perempuan yang dicintainya, Maria. Ia tidak mau Maria jadi objek dalam pernikahan kelak. “Pernikahan adalah pelacuran yang dilegalkan.”. Gie tak bisa menerima terlibatnya nafsu seks dalam sebuah ikatan cinta yang suci. Baginya, jika kita mencintai seseorang maka sebaiknya kita menghormati orang itu. Menghormati berarti tidak berbuat kurang ajar, termasuk tidak menidurinya.
Ketika membaca buku itu aku masih semester dua. Masih belum sadar juga apa yang dimaksud Gie.
Hari ini, aku sudah bertemu begitu banyak jenis manusia dengan segudang pengalaman hidupnya. Ada yang menikah dan bahagia. Menikah dan tidak bahagia. Tidak menikah dan bahagia. Tidak menikah dan tidak bahagia. Pernah menikah dan bahagia. Pernah menikah dan tidak bahagia. Dan sebagainya. Begitu rupa-rupa. Dan yang memprihatinkan, banyak pernikahan yang tetap dipertahankan sekuat tenaga dengan alas an menjaga nama baik keluarga. Padahal banyak kasus pasangan itu sudah tidak lagi bahagia satu sama lain. Begitu majemuk.
Lalu aku kembali dihadapkan pada fakta, mecintai seseorang memang sebaiknya tetap menghormatinya. Tidak melibatkan nafsu jasmani. Jika nafsu sudah terlibat, maka cinta dapat pergi kapan saja.
Saat seorang sahabat lelaki berkata, “Gue kangen elu”, berarti dia memang kangen dengan kehadiran sahabatnya. Kangen canda tawa dan keluh kesah. Tapi ketika seorang pacar berkata, “Gue kangen elu”, dapat berarti dia kangen untuk sekadar ciuman, belaian, atau bahkan lebih.
Itu yang bikin saya lebih percaya dengan cinta platonis daripada cinta eros.
Friday, October 13, 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)