Thursday, December 29, 2005

Bridget Jones Syndrome (BJS)


Masih seputar SMS. Hanya kali ini khusus SMS antar teman perempuan. Apa yang dilakukan para perempuan lajang di kala senggang? SMS! Dengan dua syarat tentu: pulsa masih banyak dan full baterry. Apa yang diketikkan di SMS-SMS tak berguna itu? Semua kegiatan sedetail-detailnya. Sampai ke urusan makanan yang merangsek ke dalam perut.

“Gue selama cuti makan mulu. Ini baru aja nambah piring kedua. Abis sambel terasinya enak banget.”
“Gue tadi bikin makaroni schotel, setengah loyang dimakan sendiri. Barusan makan nuget sama kentang goreng. Ngga sehat banget ya?”
“Wah, rasanya badan gue ndut banget. Kulit gue sampe putih gara2 melar.”


Begitu kira-kira SMS gila tak keruan. Wahai para provider selular, berterimakasihlah pada kami para perempuan lajang, sebab SMS sampah kami membuat income kalian meningkat! Hahaha!

Bukan SMS yang saya fokuskan di sini. Tapi masalah makanan. Sejak menjomblo, saya beserta dua sobat perempuan merasakan makanan adalah surga dunia. Kami punya jadwal kusus sejak dua bulan lalu untuk melakukan rendezvous di arena makanan lezat. Alasannya, “Otak kita jenuh sama kerjaan, butuh refreshing, makanan enak dan saling curhat. Girltalk!”

Memang, kumpul bersama teman karib saat ini adalah kebutuhan yang mahal. Selain sama-sama sibuk, kita juga kerap terjebak dalam aneka jadwal skedul, rutinitas yang membuat waktu luang nyaris tak ada. Ditambah macet Jakarta yang memakan waktu.
Maka makanan lezat dan kehadiran sahabat adalah dua hal berharga yang tak bisa dinilai dengan uang. Lebih manjur ketimbang harus membayar psikiater.
“Ayo kita berburu makanan enak. Asiiiik...gue jadi semangat!” Itu SMS seorang karib semalam.

Kalau yang dipikir hanya makanan enak, jangan heran kalau sekarang ada jerawat mirip anak Krakatau yang siap meletus di pipi kanan saya. Sepertinya harus mengumumkan kondisi SIAGA I, sebab gunung ini siap meletus kapan saja.

Dengan tak semangat saya pun mengetik SMS ini untuk membalasnya, “Apa karena kita jomblo, makanya ngga peduli penampilan lagi? Ndut dan jerawatan, cuek aja. Kita terkena Bridget Jones Syndrome (BJS)?”

Siapa sih tak kenal Brigdet Jones? Tokoh yang diangkat dari novel karya Hellen Fielding itu dengan sukses diangkat ke film. Diperankan oleh Renne Zellweger, Jones adalah perempuan lajang usia 30-an. Tubuhnya agak gemuk walau sesungguhnya masih ideal. Tapi ia merasa gemuk (tentu saja jika dibandingkan dengan Barbie).

Sekelilingnya juga menganggapnya gemuk. Makanan menjadi pelampiasan karena tak ada lelaki yang mencintainya. Saat hendak berkencan , ia setengah mati memakai korset agar terlihat langsing. Tapi ketergantungannya pada makanan susah dilepas.

Hmm... apakah BJS mulai menyerang aku dan sobat-sobat perempuanku? Memang masih banyak perempuan bertubuh lebih gemuk dan jerawat lebih parah dari kami. Jujur saja, di mata umum, tubuh dan penampilan kami masih sangat ideal. Maka...persetan dengan BJS. Kalau memang terserang BJS, kami asik-asik saja. Dan bahagia tentunya! Toh kami tak bernafsu menjadi perempuan kerempeng ala Barbie!

Sunday, December 25, 2005

SMS dan…ehm.. Lelaki


SMS itu lumayan mengejutkan. “GUE NGGA TAU. GUE BENCI SAMA MAHLUK YANG NAMANYA CEWEK. Kecuali nyokab sama nenek gue dink. Eh, tante sama sepupu gue pengecualian juga.” Kaget dan geli. Kaget karena teman saya yang lelaki juga bisa emosionil menghadapi masalah percintrongan. Geli sebab SMS yang emosionil itu masih ditambah embel-embel pengecualian.

Saya pun mem-forward SMS itu ke teman perempuan. Disertai keterangan, “Lucu ya dia, cowok tapi kayak kita kalo lagi stress. Marah-marah di SMS sama YM”.
Memang tidak semua kaum Adam bisa menumpahkan perasaan melalui SMS. Teknologi murah lagi simple itu tak selalu bisa diterima sebagai media komunikasi oleh tiap orang. Lelaki terkenal sebagai mahluk verbal yang lebih suka mengungkap pikiran dan perasaan secara lisan, bukan tulisan. Maka jangan heran kalau SMS dari teman lelaki cenderung pendek-pendek, hanya seperlunya saja. Sedangkan SMS yang ditulis kaum Hawa lebih padat, panjang dan mengungkap curahan hati.

Tapi teman lelaki satu ini memang beda. Ia tergolong “banci SMS”, begitu aku menjulukinya di testimony Friendster. Sebab ia memang doyan sekali berkirim SMS, entah hal penting atau tidak. Seru juga punya teman seperti ini. Di kala stress tiba-tiba saja datang SMS lucu darinya seperti, “Tadi pagi gue ngaca, kok uban nambah banyak ya?Ngga papa, jadi mirip Iwan Fals gue.”

Dan kemarin, SMS marah-marah mengutuki perempuan itu datang darinya. Padahal beberapa hari lalu ia masih berkirim SMS manis, “Gue mau kencan nih. Duh pake baju apa ya..”

Ada lagi teman lelaki lain yang tak kalah rajin ber-SMS. Bukan sekadar SMS biasa, lebih condong ke curahan hati. Para pehobi SMS ini biasanya akan berupaya membalas SMS kita juga dimanapun dan kapanpun. Pernah saya iseng meng-SMS teman pada pukul 12 malam. Ia membalasnya! Bahkan jam 2 dini hari pun kadang ada saja yang rajin ber-SMS-ria. Luar biasa.

Cowok-cowok sejenis ini memang bisa dihitung dengan jari. Tak semua lelaki senang memencet keypad ponsel untuk mengekspresikan dirinya. “Ribet, Mer. Mending kalo ketemu aja diomongin langsung. Atau nelpon sekalian,” begitu alasan seorang teman saat ditanya kenapa tidak suka ber-SMS.

Maka, pada teman-teman lelaki yang suka ber-SMS, kuucapkan thanks from the deepest of my heart. Kalian sungguh memahami jiwa kami. Dan SMS-SMS lucu serta kocak kalian akan selalu menghiasi Inbox ponsel kami. Maaf, ini bukan pesan sponsor salah satu provider ponsel lho.

Thursday, December 22, 2005

Ibu, Sini Kutonjok Wajahmu, Kata Anak Lelaki Itu


Di Hari Ibu, saya hanya bisa membeberkan fakta ini.
Sebuah kisah yang saya petik dari blog seorang teman. Teman ini adalah lelaki yang sadar bahwa tidak semua kaumnya bisa menjadi pelindung kaum perempuan. Justru sebaliknya, lelaki yang “gagah perkasa” bisa jadi boomerang bagi pasangan hidupnya. Bahkan menular ke anak lelaki yang berisiko bisa tumbuh jadi lelaki yang mencintai kekerasan terhadap lawan jenis.
Salut buat Iwan, si penulis . Sengaja saya copy paste di sini agar lelaki lain sudi membuka matanya.


(Sori Wan, gue edit ya tulisannya, abis puanjang buanget).

Jelang tengah hari itu (23/10/2005) di seputaran jalan gatsu bandung, saya, my queen, dan temennya my queen Intan baru mau masuk ke sebuah toko busana.

begitu pintu toko dibuka, keluar seorang bapak menggendong anak laki2nya yang nangis. tangisan anak itu kenceng sekali.

oleh sebab apa anak itu menangis? bila mengingat pengalaman sendiri, kemungkinan karena permintaan yang tidak dikabulkan, atau paling tidak kesel ama orang tuanya.

karena yang menggendong keluar toko si Bapak, kemungkinan anak itu lagi kesel sama ibunya. Anak laki2 itu berusia sekitar empat tahun. kakak laki2nya sekitar 7-8 tahun. Saat menghambur ke ibunya, Bapaknya bilang anak itu pengen digendong. Ibunya pun menggendong anak itu sambil berujar,"tapi jangan nonjok ya A?"

Anak kecil itu malah memekik, tangan kirinya yang kecil dan ringkih tapi sudah siap terkepal itu ia ayunkan ke belakang tubuh, dan berusaha menonjok ibunya di wajah.
Ibunya beberapa kali berusaha menangkis tonjokkan tangan terkepal yang kecil dan ringkih itu. berkali pula sia anak semakin memekik. karena upayanya terhalangi.

Kakak perempuannya yang menyaksikan terpana dan pilu hanya bisa meratap,"Udah atuh A, jangan..."

Si Ibu kemudian dengan setengah paksa menurunkan anak itu. dan menolak menggendongnya lagi. dan si Bapak yang sama sekali tak berusaha melerai upaya penonjokkan itu, membawa kembali anak itu ke luar toko.
Ada satu lagi saudara dari keluarga itu. Perempuan dewasa. Dia juga terlihat tidak ikut campur dengan keadaan tersebut. Sepertinya dia tidak tinggal serumah dengan keluarga itu
Saya yang hanya beberapa sentimeter ikut terpana. dan sempat mau ikut campur untuk menahan tangan yang kecil dan ringkih dari anak itu untuk menonjok ibunya. sedikit geram melihat si Bapak yang tak berusaha menahan anak laki2nya itu. malah jadi terkesan membiarkan. atau apakah karena adegan itu sudah biasa terjadi, di rumah mereka? Atau di mana saja ada pemantiknya hingga adegan seperti itu harus berulang?
Masih jadi misteri sebenarnya, apa yang menyebabkan anak itu menangis keras. dan tumpahan kekesalannya adalah harus menonjok ibunya, di wajah.

Belum berapa lama, masih dalam keadaan menangis anak laki2 itu kembali masuk toko. Rupanya si Bapak tak mampu menenangkan anak itu di luar. Si Ibu dan kakak perempuannya tengah berada di kamar pas. Si Bapak mengetuk pintu kamar pas, dan anak kecil itu pun ikut masuk ke kamar pas. Si Bapak kemudian kembali ke luar toko. Saat membuka pintu, ntah kenapa matanya sempat beradu pandang dengan saya.
Sorot matanya ke saya susah saya jelaskan. Yang jelas sosoknya tinggi besar. Biasa saja. Saya hanya bisa berujar dalam hati Bapak itu termasuk beruntung bisa mendapatkan istri yang cantik. Anak perempuannya juga cantik, mirip ibunya. Sedang anak laki2 itu mirip bapaknya. Biasa. Jadi terlihat menyebalkan meski masih anak-anak, karena menyaksikan gesturnya saat hendak menonjok ibunya.
Sambil jongkok Ibu itu bilang dengan pasrah, dengan wajah setengah disodorkan ke anak laki2nya yang berdiri di hadapannya,”Ya sok atuh A, tonjok.”
Dan Bukk!! Ternyata tangan yang kecil dan ringkih itu sangat cukup membuat si Ibu kesakitan. Sambil mengaduh serta merta si Ibu kedua tangan si ibu menutup wajahnya. Kakak perempuan anak laki2 itu kembali bilang,”Sudah atuh A, jangan.”
Si anak laki2, dia terdiam dan tangisnya terhenti karena objek tonjokannya tertutup. Tapi gesturnya tetap siap untuk menonjok. Sesaat kemudian si Ibu itu menghambur keluar kamar pas dengan wajah menahan nyeri dan tangis. “Sudah ah, moal bener.”
Dan saat itu juga si anak laki2 itu kembali memekik keras-keras. Saya yang terpana hanya bisa menduga-duga. Si anak laki2 itu kembali menangis karena dia belum puas menonjok ibunya. Si anak laki2 itu kembali menangis karena ibunya pergi dari hadapannya.
Dugaan saya, terdiamnya si anak laki2 itu tapi dengan gestur masih siap menonjok, hanya karena Ibunya langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. Andai si Ibu tidak kesakitan seperti itu, apa yang akan saya saksikan sepertinya si anak laki2 itu akan menonjoki ibunya. Tidak hanya menonjok.
Di mobil, setelah saya, my queen, dan Intan juga selesai berbelanja di toko itu dan menuju ke tempat lain, saya ceritakan apa yang saya saksikan tadi. Terutama kejadian di kamar pas itu ke my queen. My queen percaya, anak sekecil itu tidak mungkin bisa berbuat demikian tanpa ada yang mengajari. Atau paling tidak mendapat contoh yang ia saksikan sendiri.
Kalau pun ada yang mengajari, siapa? Kakak perempuannya seperti tidak mungkin. Karena dia dengan semampunya berusaha menghindarkan aksi penonjokkan itu. Dengan usaha hanya melalui ucapan, itu pun dengan nada yang terdengar meratap, selama ini pun (andai memang aksi itu kerap atau cukup sering terjadi), kakak perempaun itu memang juga tersiksa secara batin sebagai penyaksi aksi tersebut.

Kalau pun anak laki2 itu mendapat contoh (untuk menonjok dan menonjokki ibunya) dari contoh buruk teramat kejam yang ia saksikan sendiri, lalu siapa yang suka ia saksikan menonjok atau menonjokki ibunya itu?
Ingatan saya kembali ke detik2 ketika dua sorot mata itu beradu pandang dengan saya. saat sosok badan tinggi besarnya membuka pintu hendak keluar toko.
Wallahualam bisshawab. Ya Allah, tolong Ibu itu. selamatkan dirinya dari kehinaan manusia. Semoga keselamatan selalu menyertai Ibu itu. Semoga tidak lagi tonjokkan2 yang menerpa wajahnya. Semoga kekerasan (dan sudah mengakar itu) enyah dari raga dan batinnya. Amien.

Teori Emansisapi

Emansisapi (sengaja bukan emansipasi, sebab saya muak dengan satu kata itu) adalah persamaan hak lelaki dan perempuan yang dihembuskan oleh kaum lelaki ke telinga perempuan dengan janji muluk.

Jika ada ibu-ibu menggendong anak bayi dengan tas gembol berat di pundak,berdiri berdesakan di kereta atau bis, maka kaum lelaki bisa bebas terus tidur dengan nyaman di kursinya. Alasannya: "Kan emansipasi."

Kalau ada perempuan yang terjebak menikahi lelaki pengangguran, maka si perempuan banting tulang menafkahi keluarga sementara si lelaki makan tidur dan bikin anak melulu. Alasannya: "Kan emansipasi, udah zamannya perempuan cari duit."
Dan seterusnya..dan seterusnya...Emansisapi? Huek!

Monday, December 19, 2005

Are You an Undomestic Goddes?


Hari minggu kemarin seharian menghabiskan waktu di rumah. Jadi orang rumahan. Melalap habis satu buku, Undomestic Goddes karangan Sophie Kinsella. Kisahnya simpel tapi menohok. Samantha, seorang lawyer hebat dengan kesibukan luar biasa. Tak pernah sempat bersantai karena selalu memikirkan karir. Sejak kecil ditempa oleh ibunya untuk jadi wanita karir sukses. Tak bisa masak, mencuci, menyetrika apalagi menisik.

Mendadak saja karirnya hancur dan ia terperangkap menjadi pelayan sebuah keluarga kaya. Ternyata...abrakadabra, dengan kemauan keras, ia bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sama cemerlangnya dengan karirnya sebagai lawyer!

Selesai membaca buku itu, saya bertanya: apakah saya undomestic goddes? Bukan orang rumahan? Tak berbakat mengerjakan tuga-tugas rumah? Jawabannya adalah: tidak. Walau sejak kecil tak pernah diajari memasak, menjahit, mencuci piring, menyapu, menyetrika, faktanya saya tetap bisa melakukan semuanya dengan mulus. Minimal masakan itu dibilang lezat oleh anak saya seorang.

Saya yakin, hampir setiap orang punya kemampuan untuk melakukan tugas domestik. Sehebat apapun karirnya, sejarang apapun mereka menginjakkan kaki ke dapur. Lelaki atau perempuan. Sebab tugas domestik adalah pekerjaan alami setiap manusia. Apa yang dilakukan manusia saat lapar dan tidak ada makanan di rumah atau rumah makan yang buka? Membuat makanan sendiri.

Sayangnya, kaum lelaki banyak yang merasa gengsi atau harga dirinya terinjak jika harus melakukan tugas domestik. Jadi begitu sampai di rumah, mereka mengandalkan anggota keluarga lain yang berjenis kelamin perempuan untuk melakukannya. Memang tidak semua. Namun mayoritas. Apalagi lelaki Indonesia yang biasa menganut azaz patriarki. Merasa dirinya hebat karena bergender lelaki. Merasa sudah melindungi keluarga, mencari nafkah, jadi beranggapan dirinya bisa terhina oleh tugas domestik.

Kalau sudah begini, saya merasa amat sangat bangga menjadi perempuan. Bisa mencari nafkah sendiri, melindungi keluarga sendiri, tapi juga mampu melakukan semua tugas domestik dengan baik. Apalagi seorang single parent, menjadi ayah sekaligus ibu bagi anaknya. Menjadi bos sekaligus babu di rumahnya sendiri. Alangkah hebatnya perempuan!!!Go to hell laki-laki sok gangsi!!!

Thursday, December 15, 2005

Sepotong Kisah Sobat Perempuanku


Masih ingat betul bagaimana nada suaranya begitu panik dari seberang sana. Sobatku selama bertahun-tahun itu setengah berteriak dari ujung gagang teleponnya. "Alamatnya palsu, Mer. Dia ngasih alamat palsu. Ngga ada yang kenal nama dia di sini," begitu ia terisak. Padahal perempuan itu sudah menempuh jarak Jakarta-Bali dengan uang pas-pasan. Kondisi fisiknya pun lemah. Hamil 5 bulan.

Siapa gerangan yang dicarinya di Bali, pulau dimana ia tak punya kenalan seorang pun itu? Ayah dari bayi yang dikandungnya. Tak lama kemudian telepon tadi terputus. Pesanku terakhir saat itu adalah, "Buruan balik ke Jakarta!! Buruan!"

Beberapa hari kemudian aku bertemu dengannya di Jakarta dalam kondisi mengenaskan. Kurus, pucat, mata cekung kebanyakan menangis. Dia berkisah setelah meneleponku dirinya langsung jatuh pingsan. Beruntung ditolong penjaga wartel yang baik hati.

Hari ini, bayinya sudah berusia 2 tahun. Mengidap kelainan paru-paru. Temanku harus menanggung biaya pengobatannya seumur hidup. Dengan gaji pas-pasan. Tanpa suami yang mengirim uang sepeserpun. Bahkan menengok si bayi pun tidak.

Sobatku tadi hanya satu dari jutaan perempuan yang harus menanggung beban atas kebebalannya mempercayai cinta. Mempercayai lelaki. Kalau sudah begini, layakkah kita percaya cinta itu ada???

Sunday, December 11, 2005

Depok, Perancis, dan Bis Patas Reguler 43

Pagi ini, di atas bis patas reguler 43 Depok-Pasar Baru, mendadak ingatan saya terbawa ke Perancis. Mungkin karena saya duduk depan pintu, sehingga hawa dingin pagi Depok menggugah kenangan ke negeri nun jauh itu.

Saya hanya tersenyum geli mengingat perjalanan Nice-Cannes saat meliput GSM World Forum 2005 Februari lalu. Cornel, rekan dari Jakarta Post menebak kira-kira apakah kita masih sempat mampir ke Monaco sebelum ke airport untuk terbang ke Singapura. Ia menggunakan perkiraan waktu orang Jakarta yang terbiasa berlangganan macet. “Di Jakarta, jarak yang sama Cannes-Monaco bisa makan waktu 2 jam karena macet!” Sang supir yang asli Perancis pun bingung. Sebab dari cannes-Monaco hanya ditempuh kurang dari 30 menit saja olehnya.

Syarifah, rekan jurnalis dari Malaysia ikut tercengang. Ia bertanya, berapa lama waktu yang saya butuhkan dari rumah ke kantor setiap pagi. Saya jawab, “Dua jam dengan macet.” Ia juga tercengang. Lalu ia bertanya, “What kind of car do you have?” Saya tegaskan apa adanya bahwa saya naik bis, tidak punya mobil. Dan ia kembali tercengang. Mungkin di benaknya ia pikir jurnalis di Indonesia memiliki penghasilan cukup untuk beli mobil, bahkan rumah. Saya hanya tersenyum getir saat itu.

Pagi ini, di atas patas non AC yang penuh sesak di tengah kemacetan Pasar Minggu yang bau sampah pasar, ingatan saya melayang ke Perancis. Saya pikir, Syarifah dan supir Perancis dulu pasti akan lebih tercengang andai mereka tahu betapa rongsoknya bis yang saya tumpangi saat ini. Hohoho!

Friday, December 09, 2005

I am Beautiful, Smart and Strong!

Ya, saya adalah robot. Diprogram agar mendapatkan apa yang saya inginkan. Memecahkan masalah. Meruntuhkan aral yang ada di depan. Membunuh rasa semudah membunuh cicak di telapan tangan. Kalau saya robot, maka saya robot cantik, perkasa, kuat, pintar, berani dan tindak cengeng atau pengecut seperti kebanyakan lelaki yang saya temui.
Yes, I am beautiful, no matter what they say! (Christina Aquilera's song)

Dicari: Cowok Kayak Eminem!



Setiap kali melihat aksi Eminem di TV, saya serasa bercermin. Mengapa?
Inisial namanya sama dengan saya, MM. Marshall Mathers.
Sama-sama single parent (hmm apa dia jadi rujuk ama istrinya?)
Suka nulis juga, walau dia larinya ke lirik lagu.
Minoritas di dunianya, rapper kulit putih.
Tulisannya kontroversial
Video klipnya juga kontroversial.
Suka mengkritik secara terang-terangan
Gayanya yang casual juga mirip saya!
Sangat sayang dengan anak sematawayangnya, Hailie.

Beda dengan kebanyakan musik rap lain, musik Eminem masih bisa didendangkan. Itu yang membuat saya selalu menyimak lelaki tampan ini di setiap video klip terbarunya. Sejak Slim Shady sampai Mockingbird. Juga aksinya di film 8 Mile yang kata banyak orang jelek. Memang dia bukan aktr yang baik. Walau saya tak ngefans banget sama Eminem, dia sungguh pribadi unik di mata saya.

Kecintaannya pada Hailie sang buah hati adalah pesonanya yang ibarat magnet buat saya. Walau urakan, liar, kontroversial, Eminem tetap sosok ayah yang baik. Itu yang membuat hati ini trenyuh. Padahal di luar sana banyak lelaki sok alim, berbaju rapi, berkelakuan ala malaikat tapi tak peduli dengan nasib darah dagingnya.

Eminem juga sering menulis lagu buat Hailie. Ini salah satunya yang saya suka, Mockingbird.

Yeah I know sometimes things may not always make sense to you right now But hey, what daddy always tell you? Straighten up little soldier Stiffen up that upper lip What you crying about? You got me

Hailie I know you miss your mom and I know you miss your dad When I'm gone but I'm trying to give you the life that I never had I can see you're sad, even when you smile, even when you laugh I can see it in your eyes, deep inside you want to cry ...

Siapa sangka lirik semanis itu dibuat oleh lelaki urakan yang terkenal pedas mencerca orang???
I love Eminem!!!

Wednesday, December 07, 2005

Membeli Barang di Etalase


Sebuah percakapan di Yahoo Messenger:
F-->Teman
M-->Aku


M: "Si Anu itu perfect banget ya. Ganteng, pinter, sukses di karir, sayang keluarga. Seandainya kita dapet cowok kayak gitu..."
F: "Hmmm..gue ngga yakin deh, Mer. Segala sesuatu yang kita liat baik, belom tentu sebaik aslinya. Ingat pepatah rumput tetangga.."


Dulu sekali, pernah ada pandangan yang meremehkan kata-kata “cinta tak selamanya memiliki”. Seorang berpendapat, “Kalau tidak bisa dimiliki, untuk apa dicintai?” Dulu juga, saya sangat setuju dengan pendapat barusan. Dalam usia relatif belia saya punya pikiran bahwa kita harus selalu bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, termasuk cinta. Dan nyaris itu terealisasikan selalu.

Kemudian, apakah setelah cinta itu didapat, kita bahagia? Jawabannya adalah the big NO. Mari kita samakan lelaki itu dengan benda di etalase toko. Sekali kita ingin memiliki, maka benda itu terlihat indah, luar biasa, hebat, menakjubkan, membuat penasaran. Makin tak bisa dipunyai karena satu dan lain hal, makin benda itu mempesona.

Begitu kita punya kemampuan untuk membeli, membawanya pulang, ada rasa terpuaskan. Kelamaan benda itu kita kenakan, kita pandangi setiap hari. Rasa bosan mulai menyerang. Apalagi begiu disadari benda tadi mulai jelek, buruk, bahkan rusak. Musnah sudah pesona, daya tarik serta kehebatan benda itu. Tak ada lagi penasaran, hilang sudah antusiasme.

Bayangkan apabila benda tadi masih terpajang di etalase tanpa pernah bisa kita miliki. Tentu pesona itu akan selalu ada tiap kali memandangnya. Kendati benda itu dibeli lalu dimiliki orang lain, tetap saja rasa suka itu bersemayam di hati. Bisa ada rasa sakit hati, mengapa orang lain bisa mempunyai sedangkan kita tidak. Tapi itulah seninya.

Hal sama persis berlaku pada lelaki. Saat kita mengagumi seorang lelaki maka rasa kagum itu akan kekal selama kita tidak memilikinya. Sebab begitu kita berhasil mendapatkan si lelaki dalam genggaman, maka terkuaklah semua sisi buruk yang selama ini tak pernah kita lihat. Singkatnya, semua itu sama saja dengan benda di etalase tadi.

Itulah yang pernah saya alami. Selama bertahun-tahun mencintai lelaki yang sama, yang akhirnya menikah dengan perempuan lain. Tapi cinta itu tetap indah saja. Apalagi si lelaki tak menjauh, tetap menganggap teman baik. Dan makin indah saja rasa cinta itu. Kini saya benar-benar memahami bagaimana kalimat konyol “mencintai tak selamanya memiliki” bisa ada.

Itu pula yang berlaku pada kegilaan para perempuan kepada Brad Pitt, Tom Cruise, Vigo Mortensen dan sederet bintang pujaan lain. Mereka begitu diidolakan karena kita tak mampu menggapainya. Sedangkan fakta berkata bahwa pasangan hidup mereka pun tidak betah berlama-lama dengannya. Ingat lho, Brad Pitt, Tom Cruise dan Vigo Mortensen adalah duda cerai. Berarti mereka pun tidak sempurna. Nobody's perfect.

Monday, December 05, 2005

Beauty and The Beast


Ide ini muncul dari obrolan santai dengan seorang kawan. Kami duduk di sebuah gerai kafe di suatu mall. Kafe itu menghadap ke lorong mall yang sarat dengan orang lalu lalang. Dari sekian banyak orang berseliweran, tak kalah banyak yang berpasangan. Saat itu saya ajukan suatu pertanyaan, “Kenapa lebih banyak lelaki buruk rupa yang berpasangan dengan perempuan cantik. Sebaliknya, jarang sekali perempuan buruk rupa yang jalan dengan lelaki tampan.”

Si teman menjawab, “Sebab perempuan lebih mampu membuat dirinya cantik. Mereka bisa ke salon atau operasi plastik untuk menjadi cantik.” Dengan cepat saya menukas,”Apakah lelaki tak bisa? Salon dan dokter bedah plastik terbuka juga bagi lelaki!” Dan si teman terdiam.

Jawaban yang tepat adalah, sebab perempuan lebih bisa menerima kondisi fisik pasangannya. Mereka tidak melihat orang lain dari sisi fisik semata, melainkan hati. Jadi jangan heran banyak perempuan dengan tubuh sexy, wajah cantik mulus berbalut baju menarik yang menggandeng lelaki berperut buncit, wajah jerawatan, kepala botak dengan baju seadanya.

Tidak jarang kita bertemu dengan pasangan sejenis itu. Yang lebih mengesalkan adalah ketika melihat si perempuan berdandan rapi jail, full make up dan perhiasan lengkap, sementara lelakinya hanya bercelana jeans dekil, kaos buluk dan rambut tak tersisir. Seolah si lelaki sama sekali tak menghargai usaha sang kekasih yang ingin tampil sempurna. Pasangan macam ini teramat sangat sering kita jumpa di keseharian.

Saya pribadi bukanlah perempuan pesolek dengan dandanan rapi jail. Namun terus terang saya akan sangat menghargai lelaki yang sudi mengimbangi penampilan pasangannya. Kalau si perempuan tampil casual dan santai, silakan saja si lelaki ikut santai. Tapi sungguh kasihan kalau si perempuan sudah tampil habis-habisan dengan busana top hanya dihargai dengan celana buntung dan rambut awut-awutan.
Kondisi fisik seseorang memang bukan hal yang bisa dikutak-katik. Walau demikian apa salahnya memperbaiki penampilan dengan suatu kebersihan dan sedikit kerapihan. Maka jangan salah kalau saya sering menjuluki pasangan yang dijumpa di jalan sebagai Beauty and The Beast.

Kembali ke masalah hati, pada dasarnya kaum perempuan tidak mengincar wajah tampan dan tubuh wangi. Itu terbukti dengan banyaknya perempuan cantik yang mendapat pasangan lelaki buruk rupa. Buruk rupa yang saya maksud di sini adalah kondisi fisik wajah dan tubuh yang sama sekali jauh dari gambaran ideal.

Bukan saya ingin mencerca keburukrupaan manusia, melainkan membeberkan fakta bahwa perempuan bukanlah mahluk materialistis seperti yang dituduhkan banyak orang. Justru kaum lelaki lah yang super duper materialistis, kendati tidak 100 persen. Itu terbukti dengan fakta bahwa lelaki dengan wajah dan fisik paling hancur sekalipun tetap saja mendambakan perempuan cantik lagi sexy sebagai pasangannya.

Thursday, December 01, 2005

Buruk Muka Cermin Dibelah


Cerca dan puja menghiasi kolomm komentar di blog ini. Wajar, sebab blog ini beruntung diulas dalam Resensi Blog www.detikinet.com. Itu sudah saya prediksikan sejak awal membuat blog ini.

Setelah ditilik, mayoritas komentar posotif justru datang dari lelaki dengan tingkat intelektual tinggi dan wawasan luas. Hanya lelaki anonim yang tak saya kenal lah yang mencerca dan merasa tersinggung dengan sebagian besar tulisan di blog ini.
Seorang teman, Sulung Prasetyo, pendaki gunung sejati dari MAPALA UI yang sangat macho dan jantan sama sekali tak terusik dengan aneka kritik pedas blog ini. "Kapan dibukuin, Mer?" Begitu ia pernah bertanya.

Teman lain lagi, Romi Satrio Wahono, penggagas www.ilmukomputer.com seide dengan Wicak, sesama teman jurnalis, bahwa blog ini bisa jadi semacam pemantik introspeksi kaum Adam. "Apa iya ada kaum Adam sejahat itu sampai ada kaum Hawa yang menulis seperti ini? Semoga saya ngga termasuk," komentar Romi langsung pada saya.
Iwan, teman jurnalis lain, menyebut blog ini mencerminkan betapa banyak hal yang tak diketahui lelaki tentang perempuan dan "pemberontakannya".

Solehudin alias Didin, lelaki "garang" di persilatan dunia IT sempat merasa kebakaran jenggot membaca blog ini dulu, namun kelamaan ia justru me-link blog ini ke blognya. "Gue kan fans elo," celetuknya di Yahoo Messenger.

Sengaja semua komentar saya quote dari kaum lelaki. Sebab memang sebagian besar kritik di blog ini ditujukan pada mereka. Terbukti, sebagian besar yang mengamini kritik saya adalah para Adam yang berwawasan luas, tingkat pendidikan tinggi, dan cukup fleksibel. Sedangkan komentar negatif saya dapat dari entah siapa yang mengeklik "comment" dan tak berani menyebut jati diri.

Ibarat kata blog ini adalah cermin, maka para lelaki bisa bercermin. Yang merasa dirinya tampan bisa tetap tersenyum tenang. Sedangkan yang melihat wajahnya sedemikian buruk, dibelahnya cermin itu. Silakan memaki semua tulisan di sini, sebab itu sama saja dengan wajah anda buruk dan anda mengamuk lalu menghancurkan cermin. Dan saya pun tertawa, hahaha!

Thursday, November 24, 2005

Katakan TIDAK pada Mode Keparat!


Iklan krim pemutih kulit selalu saja menohok para perempuan berkulit sawo matang di negeri ini. Kenapa? Mayoritas tayangan komersial di televisi, selalu digambarkan bahwa putih itu cantik, hitam atau sawo matang itu buruk.

Yang terbaru adalah produk pemutih Pond's. Ada adegan dua perempuan berjalan di kerumunan. Saling berpapasan. Sama-sama pakai baju sexy. Yang satu berkulit putih, satu lagi sawo matang yang menurut saya sih hitam manis. Saat keduanya saling melihat, yang hitam manis merengut karena iri melihat kulit putih perempuan itu. Di akhir adegan, si kulit putih memberikan kemasan krim pemutih Pond's kepada si hitam. Pesan yang tersirat, "Pakailah Pond's kalau mau seputih saya."

Iklan lain tentu masih lekat di ingatan kita. Kali ini krim Citra White. Sepasang perempuan kembar. Satu kulitnya hitam, satu putih. Waktu mau difoto bareng, si hitam sembunyi karena malu.

Itu hanya sedikit dari sekian banyak iklan produk pemutih yang membuat perempuan Indonesia berlomba-lomba ingin jadi putih. Mengundang kesan bahwa kulit hitam atau sawo matang itu jelek, tidak trend, tak pantas dilirik. Saya pribadi berkulit kuning langsat yang condong ke putih. Melihat iklan-iklan tadi rasanya mau muntah saja.

Alangkah bodohnya perempuan yang langsung tertarik membeli produk pemutih itu. Mulai dari sabun, krim, bedak dan sejenisnya. Semuanya diborong. Demi jadi putih. Gilanya, ternyata teman-teman saya banyak yang berlaku begitu. Sadar ngga sih mereka itu cuma jadi korban produsen saja? Korban bombardir iklan tak bertanggungjawab. Juga korban mode. Mode yang kian hari kian menjijikan saja. Menetapkan mitos bahwa perempuan cantik adalah yang berkulit putih, bertubuh kurus tinggi, langsing, rambut panjang.

Padahal jauh di benua barat, perempuan bule berlomba ingin punya kulit coklat. Kabarnya krim yang laku di sana justru krim pencoklat. Mereka juga berjemur mirip dendeng setiap ada sinar matahari. Tapi tentu saja mereka tidak terlalu bodoh untuk membeli aneka produk pencoklat kulit dari benua timur. Mereka lebih suka semua berjalan secara alamiah.

Sampai kapan perempuan Indonesia jadi korban bombardir iklan dan mode? Mengecat rambut jadi pirang, setengah mati diet demi langsing seramping Barbie. Menghabiskan uang agar kulitnya putih cemerlang. Sampai kalau kita ke mall sekarang yang tampak adalah perempuan dengan penampilan nyaris seragam semua: langsing, putih, rambut panjang dipirang. Kalau yang masih SMU mungkin rambutnya tetap hitam karena dilarang mengecat rambut oleh guru. Benar-benar produk Barbie minded yang patut dikasihani!

Tuesday, November 15, 2005

Ada Apa dengan 1st Love?


First love never die.
Kenapa bisa ada kalimat itu? Apakah karena cinta pertama sangat indah? Lebih indah dari cinta-cinta selanjutnya? Apa cinta terakhir sudah tak indah lagi?
Jawabannya adalah, karena cinta pertama adalah cinta paling murni dalam sejarah perjalanan lelaki dan perempuan.

Cinta pertama bukan pacar pertama. Firts love adalah saat kita jatuh cinta pertama kali pada seseorang. Biasanya pada usia belia. Bisa 10 , 12, 13 bahkan 8 tahun!
Pada usia sehijau itu, kita bahkan tidak tahu apa itu cinta yang sesungghnya atau bukan. Yang jelas kita kasmaran pada seseorang. Tak bisa tidur. Lagu First Love-nya Nikka Costa sangat mewakili perasaan itu. “Everyone can see...there’s a change in me...bla bla bla”.

Di usia sebelia itu, bayangan kita tentang cinta sangatlah indah dan mulia. Tidak ada bumbu seks. Boro-boro deh. Tepat sekali kalau diibaratkan cinta masa itu sebagai domba yang cute dan innocent. Lembut, polos, kekanakan dan menggemaskan. Bebas dari dosa. Sungguh definisi cinta dalam arti paling murni.

Seiring waktu, usia tambah dewasa. Cinta pertama terlupakan sejenak. Menyusul cinta kedua, ketiga, kesebelas..ke sekian puluh...ke seratus..dan seterusnya. Kian angka itu bertambah, kian jauh dari gambaran indah. Ada seks, nafsu, obsesi materi, dan sejenisnya.

Kalau 1st love adalah domba yang imut, maka semua hal buruk-buruk yang menyelingi cinta berikut-berikutnya adalah serigala. Katakanlah seks itu serigala. Maka sekarang, di usia yang tak lagi belia, maka yang beredar adalah serigala berbulu domba. Tambah sulit saja mengenali mana domba sejati. Bahkan mungkin tidak ada lagi.

Itulah mengapa dikatakan first love never die. Sebab memang 1st love adalah cinta paling agung dalam hubungan lelaki-perempuan. Tidak ada nafsu seks, obsesi kecantikan, ketampanan, kekayaan dan sebagainya. Dan kini yang kita jumpai dimana-mana adalah serigala berbulu domba. Sungguh ironis.

Monday, October 31, 2005

Love and Sex

Lelaki memberikan cinta untuk mendapatkan seks. Perempuan memberikan seks untuk mendapatkan cinta.

Ironis? Itulah fakta. Dalam "Perempuan di Titik Nol", Nawal El Saadawi beropini bahwa lebih baik menjadi pelacur yang menukar seks dengan uang daripada harus menjadi istri yang menukar seks dengan cinta yang belum tentu ada.

Menjadi pelacur, seorang perempuan bisa mendapatkan harta berlimpah, kemewahan, sekaligus perhatian dan sanjung puja dari "penggemarnya". Harta itu bisa ditabung, diinvestasikan, dipakai untuk merawat diri hingga masa tua. Harta itu bisa dimanfaatkan untuk membantu orang kesusahan, diamalkan. Tak peduli kata orang itu uang haram atau apalah.

Menjadi istri, maka seorang perempuan hanya akan mendapat sedikit perhatian dari seorang lelaki yang belum tentu setia, sekian banyak anak-anak yang berlahiran dari selangkangannya, menyusu di payudaranya. Itu kalau mujur. Jika sial, maka seorang istri akan ditinggalkan suaminya dengan anak-anak yang bergelayut di pundaknya untuk diberi makan seorang diri.

Membuat anda mengernyitkan dahi membaca tulisan ini? Itulah fakta. Perempuan yang menjadi istri atau kekasih yang bernasib sial di muka bumi ini tak terhitung banyaknya. Atas nama cinta, mengabdikan diri pada lelaki yang disayanginya. Memberi seks, kasih sayang, perhatian, bahkan juga harta. Apakah mereka mendapat bayaran setimpal? Belum tentu.

Tapi dengan menjadi pelacur maka seorang perempuan bisa mendapat imbalan selayaknya. Seks dan nafsu berbalut cinta ditukar dengan uang atau harta yang setimpal. Itu baru adil.

Saya tidak pernah menjustifikasi pelacuran. Tidak. Apapun itu di mata etika dan moral tetaplah salah. Namun apakah pernah terpikir bahwa secara etika dan moral: menyelingkuhi istri, menelantarkan istri dan anak, meninabobokan perempuan dengan rayuan cinta demi mendapat seks adalah perilaku wajar?

Tidakkah perilaku semacam itu hanya setimpal jika dibalas dengan transaksi seks dan cinta oleh para pelacur?
Sekarang mari kita bandingkan, mana yang lebih pantas dari sisi etika dan moral.
A. Seorang pelacur yang mencari nafkah demi keluarganya.
B. Lelaki hidung belang yang menikahi banyak perempuan demi nafsu syahwatnya lalu pergi berlenggang dari tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah.

Keduanya sama-sama dikutuk moral dan etika, juga agama. Tapi A mendapat kecaman jauh lebih banyak dari B. Mengapa? Sebab kita adalah bangsa munafik yang memandang pernikahan atau status suami lebih luhur dari seorang perempuan tak menikah. Menjijikan?Itulah faktanya!

Friday, October 21, 2005

Institusi itu Bernama HTS, HTI, TTM...



Kalau kamu 'click' dengan seseorang, katanya jangan lagi tunda sampai malam menjelang.
Saya rindu rumah untuk bersarang.
Bersama dia yang menyejukkan.

Apakah dia sadar bahwa saya merasa dia adalah 'mentari pagi-ku'?


Puisi itu dibuat seorang teman yang tengah kasmaran. Menantikan belahan jiwa alias soulmate. Betapa indah kata-katanya. Saya sendiri terhanyut di dalamnya. Cinta memang membuat siapa saja menjadi pujangga.

Teman itu sangat merindukan komitmen, sebuah barang langka di masa kini. Suatu hal yang membuat para lelaki berpikir sejuta kali dan sebagian perempuan seribu kali. Apa pasal?

Komitmen memang pernah mengalami masa jaya, yakni zaman dulu kala saat saya masih pakai seragam putih abu-abu. Tambah kesini, komitmen hanya sebuah bingkai emas yang menghiasi potret pernikahan atau pertunangan atau perpacaran yang penuh pengkhianatan.

Kisah tentang dekadensi komitmen terlalu banyak beredar. Saya dan sejumlah teman pernah mengalaminya. Cinta setengah mampus, komitmen sehidup semati. Apapun itu namanya. Semua berakhir pengkhianatan. Sangat menyakitkan. Dan semua berlindung di balik kedok komitmen.

Dulu, saya pikir hanya perempuan bodoh yang mau terlibat dengan Hubungan Tanpa Status (HTS) atau Hubungan Tanpa Ikatan (HTI) atau istilah terbarunya Teman Tapi Mesra (TTM). Tapi seiring waktu berlalu, saya pikir justru sebaliknya. HTS atau HTI or whatever you name it, selama masih dalam batas wajar akan lebih baik daripada komitmen. Ibarat kata seperti orang menjalani hubungan tanpa janji-janji manis. Jadi saat semua tak berhasil maka kecewa tidak terlalu dalam. Bayangkan kalau kita terikat dalam komitmen sehidup semati, sepiring berdua (huek) dan sejenisnya namun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Bayangkan betapa sakitnya itu.

So...memang sebaiknya semua dibiarkan berjalan apa adanya. Mengalir seperti air. Tanpa komitmen. Tanpa sumpah setia. Saya tidak melarang orang berkomitmen. Kalau memang siap sedia menanggung risiko, silakan saja.

Saya pribadi lebih berprinsip, nikmati saja yang ada. Puisi teman tadi, "Kalau kamu click dengan seseorang,katanya jangan lagi tunda sampai malam menjelang." maka versi saya adalah "Kalau memang kita click dengan seseorang, biar saja semuanya berjalan. Dan kita lihat bagaimana hasilnya."

Thursday, October 20, 2005

Membeli Anjing


Masih seputar buruk rupa kaum lelaki, saya punya cerita lain. Ada seorang teman seniman yang tak bisa disebut tampan (untuk tidak menyebutnya jelek). Ditambah lagi kondisi fisiknya tak sempurna. Saya sama sekali tidak menghina kondisi fisik manusia, begitu saya tegaskan sekali lagi. Tapi ini sebuah fakta. Teman tadi selalu didampingi seorang perempuan cantik di setiap momen ia tampil di publik. Begitu mesranya. Saya pikir pastilah perempuan itu kekasihnya.

Suatu ketika si teman lelaki buruk rupa tadi jatuh sakit. Saya dan beberapa teman menjenguknya di rumah sakit. Agak terkejut, saya melihat seorang perempuan mendampinginya, merawatnya dengan setia. Perempuan itu bukanlah perempuan cantik yang biasa mendampinginya. Itu perempuan lain. Bertambah terkejut, ternyata perempuan yang ini adalah istrinya.

Pulangnya saya terus berpikir. Alangkah hebatnya lelaki itu. Walau wajah jelek dan fisik tak sempurna, masih sedemikian percaya diri untuk berselingkuh, mempermainkan perempuan. Tidak tanggung-tanggung, perempuan yang dipermainkannya adalah yang berwajah cantik dengan fisik sempurna.

Kisah lain adalah seorang perempuan yang mengetahui di belakang hari bahwa pacarnya yang tidak tampan telah berselingkuh dengan banyak perempuan. Sungguh mengagumkan mahluk bernama lelaki. Mereka punya rasa percaya diri begitu tinggi sehingga wajah buruknya tak berpengaruh pada rasa percaya diri untuk mempermainkan lawan jenis.
Kesimpulan yang bisa diambil dari serangkaian kisah ini adalah, lelaki dengan wajah tampan atau jelek sama-sama berpotensi mempermainkan perempuan.

Wajah buruk bukanlah jaminan mereka akan setia. Sebagai perempuan saya sarankan kepada sesama kaumku, dengan risiko dipermainkan, lebih baik kita memilih lelaki berwajah tampan ketimbang yang buruk rupa. Toh keduanya sama-sama berpotensi mempermainkan perempuan. Ini sama saja membeli anjing peliharaan. Kalau ada anjing yang bertampang buruk dan bertampang manis, sebaiknya kita pilih yang manis saja. Sebab keduanya tetap saja anjing, sama-sama berpotensi mengencingi perabotan kesayangan kita. Atau bahkan buang air besar di atas spring bed mahal kita.

Menikah, Demi Status



Sebuah SMS datang. “PAKABAR? ADA GOSIP APA? KAPAN SEBAR UNDANGAN?” Lalu saya balas, “UNDANGAN SUNAT APA UNDANGAN PESTA ULTAH?” Dibalas lagi dari seberang sana, “UNDANGAN MARRIED LAH. BELAGAK BEGO LU!”

Pertanyaan “kapan married”, “kapan sebar undangan”, selalu menghantui perempuan usia menjelang 30 ke atas. Seorang teman sedemikian stresnya setiap kali menghadapi Lebaran. Bukan karena tak punya uang, tapi sebab dia akan bingung menjawab pertanyaan sanak famili yang bertandang ke rumah. Pernyataannya ya itu tadi, “kapan nikah”. “Boro-boro nikah, pacar aja ngga ada. Mau nikah ama kuda apa,” dengus si teman.

Sedemikian frustasinya sampai-sampai si teman minta saya menjadi mak comblang agar cepat dapat suami. Ada sekitar empat lelaki sudah saya perkenalkan dengannya, semua tereliminasi dengan suksesnya. Belum lagi calon-calon yang dinominasikan para kerabat. Tak ada yang masuk hitungan. Padahal teman saya itu tergolong good looking. Wajah manis, kulit putih mulus, porsi badan ideal, rambut hitam kelam lebat alami. Tipe idaman lelaki pokoknya. Lantas saya bertanya, apa iya dia sudah sebegitu kebelet kawin? Apa beul dia sudah bosan berkarir dan ingin jadi ibu rumah tangga? Apa ia dia rela menjadi istri dan ibu dari lelaki yang belum tentu ia cintai dan menikahinya hanya karena tuntutan keluarga? Ia hanya diam kemudian menggeleng perlahan.

Teman itu mengaku cukup bahagia dengan statusnya saat ini, melajang dengan karir dan penghasilan lebih dari cukup. Ia bisa bebas ingin makan di restoran mana saja, pergi nonton dengan siapa saja, membeli pakaian jenis apapun itu tanpa kekangan lelaki. Kehidupan sebagai anak kost cukup memuaskan sebab ia bisa langsung tertidur pulas begitu pulang kerja tanpa harus pusing melayani orang lain. Ia juga merdeka melangkahkan kaki kemana hati suka. Hanya satu yang membuatnya risi, pertanyaan kerabat dan teman-teman yang berbunyi sejenis, “kapan married?”.

Teman tadi hanya satu di antara begitu banyak perempuan usia menjelang 30 yang dihantui rasa takut. Sungguh rasa takut dibuat-buat yang timbul dari pandangan publik sekitar. Pandangan usang yang menganggap usia kepala 3 sudah harus nikah, hamil dan punya anak. Jangan terkejut, walau kita sudah pernah punya presiden perempuan dan banyak menteri perempuan, tetap saja pandangan macam itu menjadi momok menakutkan bagi mayoritas perempuan.

Akhirnya saya datangi teman tadi. Dengan tegas saya katakana padanya, “Apa kamu mau menikah demi status lalu kemudian merasa menyesal seumur hidup karena ternyata kamu menikah dengan orang yang salah? Ibarat naik bus, lebih baik duduk seorang diri di bus daripada harus bersebelahan dengan orang yang tak tahu diri, bau keringat, memonopoli tempat duduk dan kentut seenaknya.”

Sesobek Notes Perempuan Belia



Sesobek notes itu saya temukan di lantai sebuah kampus. Masih bisa terbaca jelas walau sudah ada bekas injakan kaki. Ditulis denggan pulpen merah, huruf berantakan. Sepertinya ditulis dengan emosi membara. Beginilah bunyinya.

Dulu, saya selalu menyesal mengapa terlahir sebagai perempuan. Terlebih ketika mulai memasuki masa puber, saat dimana fisik kita bermetamorfosa menjadi perempuan dewasa. Padahal masa itu saya tengah berada pada kondisi dimana ingin menunjukan diri bahwa perempuan sama hebatnya dengan lelaki. Tapi tiba-tiba saja dihadapkan pada fakta menyedihkan:
Harus mengalami menstruasi yang disertai kram perut setiap bulan.
.Terpaksa mengenakan mini-set demi menutupi buah dada yang baru tumbuh.
Lebih sadar kalau tenaga kita tak ada apa-apanya dibanding teman lelaki.
Ditekankan bahwa kita berbeda dari lawan jenis dan harus berhati-hati bergaul dengan mereka.

Tumbuh perasaan grogi kalau berhadapan dengan mahluk bernama lelaki.
Mendadak muncul kondisi “moody” yang cengeng dan mengesalkan.
Perlahan bertambah tahu tentang kisah-kisah kekuranajaran kaum Adam terhadap kaum Hawa, seperti kasus perkosaan, pelecehan dan penganiayaan.
Mulai merasakan sendiri apa itu pelecehan seks, seperti diraba-raba dalam kereta yang penuh sesak, dicolek kondektur bis atau digodai, disiuli oleh preman pinggir jalan.
Timbul larangan-larangan orang tua antara lain tak boleh keluar malam bersama teman lelaki, tak boleh bercelana pendek ke luar rumah dan sebagainya.
Kerap dianggap rendah hanya karena kita perempuan. Dicap wajib mencuci piring, mengepel, mencuci baju, memasak, menyiapkan minuman untuk tamu. Sementara saudara laki-laki kita boleh enak-enakan duduk santai.

Yah, sepuluh hal di atas tadi membuat saya geram dan tidak terima karena dilahirkan sebagai mahluk perempuan, wanita, cewek, putri, kaum hawa, dan berbagai sebutan lain. Saya benci diri sendiri yang kenyataannya adalah perempuan, identik dengan ketidakberdayaan. Sudah bertenaga lebih lemah dari laki-laki, masih dikaruniai perasaan cengeng , mudah menangis.

Ditambah lagi aneka norma-norma yang hanya berlaku bagi perempuan. Tak boleh keluyuran malam, bisa dianggap murahan. Jangan merokok, sebab identik dengan perempuan nakal. Dilarang terlalu sering bergaul dengan teman lelaki, bisa dicap sebagai perek. Saya marah sekali dengan kondisi seperti itu dan mencoba melanggar semuanya. Saat itu semester satu di bangku kuliah. Dengan berpakaian ala lelaki, T-shirt dan jeans belel, sepatu kets dan rambut pendek, saya selalu berteman dengan laki-laki. Hampir bisa dikatakan semua teman baik saya adalah cowok. Semuanya berlatar tak lain dari keinginan dari lubuk hati yang paling dalam untuk membuktikan bahwa walaupun saya perempuan tetap mampu disamakan dengan lelaki.

Sesaat saya enjoy dan puas dengan keadaan tersebut. Tapi tak bertahan lama. Sebab tetap saja sekitar kami mencap saya adalah peempuan nakal yang dijadikan piala bergilir oleh teman laki-laki itu. Gila bukan? Padahal hubunganku dengan semua teman cowok tadi 100 persen dilatari persahabatan murni tanpa pamrih apapun. Saya betul-betul frustasi, marah, kesal namun tak bisa berbuat apapun. Akhirnya semua teman cowok tadi pergi satu-satu karena merasa tak enak hati menjadi penyebab kehancuran reputasi saya sebagai perempuan.

Lalu sejak itu saya mulai belajar menerima fakta bahwa perempuan haruslah bersahabat dengan perempuan. Kalau ada teman cowok istimewa maka dia harsu dijadikan pacar. Sungguh tidak enak hidup dalam norma macam itu. Tapi itulah kenyataan yang ada. Dan kita harus menerimanya. Terpenjara atau dicap sebagai cewek murahan. Oh my God! Kenapa saya harus dilahirkan ke planet macam ini?

Menjadi Perempuan: Kehormatan atau Kehinaan?


Dan mulailah saya membuat judul-judul penuh pertanyaan yang menjijikan. Tidak juga, sebab dunia ini sendiri sarat dengan pertanyaan. Kontroversi tiada habis. Ironi yang tak kunjung usai. Judul di atas sendiri merupakan kalimat Tanya yang hingga etik ini belum terjawab dengan pasti oleh masyarakat kita.

Menurut Nawal El Saadawi, kalau di Mesir seorang anak perempuan lahir, maka si bapak akan pergi tidur setelah memukuli istrinya dengan penyesalan. Sedang kalau anak lelaki yang lahir, si bapak akan tersenyum bahagia dan pergi tidur dengan tenang. Pramoedya Ananta Toer mengisahkan dalam Gadis Pantai, para suami ningrat Jawa tak sudi melihat anaknya yang baru lahir kalau si anak berkelamin perempuan. Bahkan sampai berhari-hari atau selamanya sang bapak ningrat tadi tidak akan menjenguk anaknya walau tetap memberi nafkah materi. Dua contoh di atas berasal dari budaya berbeda, bahkan jutaan mil jauhnya terpisah. Namun ada satu garis lurus yang bisa ditarik persamaannya, sejak lahir perempuan tak dihargai.

Beranjak besar, seorang perempuan di keluarga Indonesia umumnya lebih banyak punya beban dibanding lelaki. Harus membantu ibu di dapur. Menghidangkan minuman untuk tamu yang datang. Menyapu, mengepel, cuci baju, cuci piring, beres-beres rumah, semuanya dianggap pekerjaan layak bagi anak perempuan. Anak lelaki bisa bebas tugas dari itu semua. Boleh pergi main hingga larut malam, makan, tidur, tanpa dibebani kerja apapun. Itulah potret mayoritas keluarga di Indonesia.

Setelah dewasa, seorang perempuan dilegalkan menjadi istri kedua, ketiga dan keempat bahkan juga simpanan. Acara berita kriminil di televisi selalu menyiarkan berita penggrebekan terhadap Wanitas Tuna Susila (WTS), tapi tak pernah mengekspos kinerja para Pria Tuna Susila alias gigolo. Iklan di media massa lebih kerap menyorot kecantikan dan tubuh sexy para perempuan, tapi pemandangan lelaki tampan sangatlah langka dijadikan nilai jual komersil. Seorang lelaki yang pulang kerja larut malam akan dipuji sebagai pekerja keras yang hebat dan cinta keluarga. Sedangkan perempuan yang pulang kerja malam hari akan dicap sebagai penjaja seks, cewek murahan, tak tahu waktu dan sejenisnya.

Dari semua fakta di atas, saya jadi bertanya-tanya, apakah menjadi perempuan itu sedemikian hina? Tapi ironisnya, kalau ada ilmuwan perempuan yang meraih penghargaan seperti Inez Loedin dengan beras transgeniknya, maka seluruh media massa akan bertempik sorak. Memuji-muji bahwa perempuan tak kalah dengan lelaki. Presiden perempuan awalnya sangat dihargai karena keperempuanannya. Bahkan Miss World yang jelas mengandalkan kelebihan fisikpun dipuja-puja seantero jagat raya.

Akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Semua pujian dan sanjungan media massa terhadap prestasi perempuan hanya sekadar kecap dapur belaka. Mengapa seseorang harus disanjung berdasar prestasi plus jenis kelaminnya? Kenapa seorang Inez Loedin tidak dipuji sebagai ilmuwan penemu beras transgenik saja. Mengapa harus ada embel-embel “ilmuwan perempuan”? Opini saya adalah, sanjungan dengan mengikutkan predikat gender bagi perempuan justru merupakan penghinaan. Menjadi presiden bagi seorang lelaki dianggap wajar saja, tapi luar biasa ketika presiden itu berkelamin perempuan. Berarti di mata dunia, perempuan tetap mahluk lemah yang patut mendapat tepukan tangan kalau sedikit berprestasi. Hinaan itu adalah dengan memberi embel-embel predikat “presiden perempuan”, “ilmuwan perempuan”, “penulis perempuan” dan seterusnya.

Uniknya, kaum perempuan sendiri kerap kali tidak menghargai kaumnya sendiri. Mereka terbawa arus patriarkis yang menganggap perempuan selalu lemah dan rendah dibanding lelaki. Mereka adalah perempuan yang ikut menyalahkan sesama kaumnya ketika menjadi korban chauvinisme lelaki. Mereka bisa saja seorang ibu yang mencibir anak peempuannya yang hamil di luar nikah dengan mengatainya “perempuan murahan”. Atau seorang ibu yang berusaha sekuat tenaga memenuhi keinginan suaminya untuk memiliki anak lelaki.

Kembali ke judul di atas, sebuah kehinaan atau kehormatankah menjadi perempuan? Bagi seseorang yang sangat menghargai harkat manusia, saya dengan tegas menjawab, menjadi apapun kita adalah sebuah kehormatan. Bahkan kalau ingin meminjam rasa chauvinisme kaum lelaki, saya ingin tegaskan perempuan jauh lebih terhormat daripada lelaki.

Perlakuan budaya yang mengharuskan kaum perempuan menjaga keperawanannya sebelum menikah adalah bukti dari kehormatan itu sendiri. Lelaki boleh saja meniduri jutaan perempuan sebelum beristri. Tapi kaum ortodok menginginkan darah perawan di malam pertama. Bagi sebagian orang itu adalah pelecehan perempuan, tapi tidak bagi saya. Kita balik saja pandangannya. Bukankah itu berarti harga diri lelaki jauh lebih murah ketimbang perempuan? Lelaki dilegalkan mengobral seks pada siapa saja, tapi tidak perempuan. Tidakkah itu sebuah budaya penghormatan bagi perempuan?

Perempuan Perayu: Hebat atau Murahan?



Kalau lelaki pandai merayu, mereka dibilang hebat. Don Juan, Cassanova, playboy jempolan, pantas dipuja-puji. Kalau perempuan pandai merayu, maka ia adalah perek, pelacur, cewek matre, tak punya harga diri dan pantas dicibiri.

Itu fakta. Sama tuanya dengan fakta lelaki pengejar cinta itu Romeo sejati, gentleman, pujaan hati dan pangeran perkasa. Perempuan pengejar cinta adalah tak punya harga diri, murahan, bodoh dan menjijikan. Saya menggelengkan kepala terus menerus tak bisa berhenti.

Rasanya sudah basi kalau kita baca dalam sebuah rubrik konsultasi cinta remaja kalimat yang kurang lebih begini, “Kak, apa pantas perempuan menyatakan cinta lebih dulu?” Kenyataannya pertanyaan semacam itu terus menggema di seantero jagat percintaan Indonesia. Lalu biasanya akan dijawab, “Wah, sekarang sudah modern. Cewek sudah bisa menyatakan cinta,kok.” Namun teori tinggalah teori. Walau prakteknya mulai banyak perempuan yang berani menyatakan cinta, tetap saja berlaku hukum purba tadi bahwa perempuan perayu adalah pelacur.

Selamat datang di dunia laki-laki! Itulah kalimat yang pantas kita luncurkan kepada setiap remaja putri yang mulai mengenal cinta. Boleh saja ribuan atau jutaan perempuan meninjakkan kaki di bulan. Silakan saja perempuan menjadi jendral atau perdana menteri atau presiden.

Namun tetap saja untuk urusan cinta, lelaki yang pegang kuasa. Pepatah “kejarlah maka kau kan dapatkan” tak berlaku bagi Kaum Hawa. Sebab sekali kau mengejar lelaki yang kau cinta dan menyatakan cionta padanya, maka kau akan direndahkan sebagai perempuan tak punya harga diri. Perek. Pelacur. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika si lelaki memanfaatkan kesempatan dengan berbohong bilang cinta, lalu hanya butuh seks saja. Selamat datang di dunia penuh kemunafikan, wahai anak-anak Hawa!

Hati-hati, Sedang PMS


Hati-hati, Sedang PMS


“Kau ingin jadi apa?” Tanya ibu peri.
“Aku ingin jadi orang yang easy going,” jawabku.
“Apa itu easy going?” Ibu peri melongo.
“Hmm..apa ya? Itu lho, orang yang selalu menganggap mudah segala hal. Selalu menerima keadaan tanpa stress,” jawabku.
Ibu peri mendesah. “Andaikan aku bisa, Nak.”
Ia berlalu.

Bukannya ibu peri yang tak bisa, melainkan aku. Karakter manusia memang sulit diubah. Sekali kita terlahir maka ada bersama kita kromosom yang membawa sifat genetik. Itu semacam cetak biru yang sudah digariskan. Sulit diubah dengan cara apapun.
Berdasar tes kepribadian yang pernah kuikuti, aku tergolong manusia melankolis. Jenis manusia yang sering terbawa perasaan, moody. Barangkali tes itu betul mengingat situasi perasaanku mudah sekali berubah-ubah. Seperti ombak laut bergelombang. Kadang tenang, kadang bergejolak.
Aku membenci diriku sendiri. Diri yang sungguh cengeng, emosionil, sentimental. Menurut tes kepribadian Cosmopolitan, aku masuk kategori pribadi Ally Mc Beal. Perempuan yang di saat suka akan ceria sekali mengekspresikan perasaan senangnya. Tapi di kala duka akan sungguh tercermin di wajah. Oh God, kenapa aku tercipta seperti ini?
Berkirim SMS tak dibalas, maka aku akan marah, merasa dicampakan, sedih dan sebagainya. Terikat janji pada seseorang namun dikecewakan, maka aku akan tidak keruan seperti kucing tersiram air panas. Atasan sedikit cerewet membuatku merasa hidup seperti di neraka. Sampai terpikir untuk berhenti kerja. Menggilai seorang lelaki tampan sampai seperti sapi berahi. Dan masih banyak lagi ketololan lain sebagai mahluk manusia tanpa otak dan rasio.
Yang paling memprihatinkan adalah semuanya sangat memuncak ketika mendekat pada tanggal-tanggal tertentu. PMS! Tiga huruf yang sudah jauh lebih popular sebelum ada SMS dan MMS. Sayangnya tiga huruf tadi sudah mulai dilupa banyak orang, baik perempuan maupun lelaki. Jangankan lelaki, kaum yang mengalaminya sendiri pun sudah lupa apa itu PMS. Tapi herannya aku masih amat mengingatnya, baik kepanjangan maupun arti harfiahnya.
PMS itu singkatan dari Pre-Menstrual Syndrome. Sebuah keadaan yang dialami kaum perempuan pada awal, sedang atau setelah menstruasi. Dalam kondisi ini biasanya hormon dalam tubuh perempuan mengalami ketidakseimbangan. Paparan ilmiahnya saya tak bisa menjelaskan. Yang pasti sebagian besar perempuan yang mengalami PMS akan menjadi emosionil lebih dari normal, rasa nyeri di sekitar perut, buah dada membengkak. Tentu saja keadaan ini sangat tidak nyaman sehingga yang bersangkutan bisa terganggu produktivitasnya.
Tidak semua perempuan mengalami PMS. Ada yang tetap normal saja walau ada badai sekalipun. Itu di luar kebiasaan dan kami menyebutnya perempuan super. Tapi sepengetahuanku, sejak mengalami menstruasi pertamakali sampai hari ini, sebagian besar teman perempuanku selalu menderita akibat PMS.
Sedemikian ingat dan cintanya aku pada tiga huruf tadi, sampai-sampai menulisnya dalam statusku di Yahoo Messenger (YM). Maksudnya agar setiap orang yang chatting denganku bisa sedikit waspada. Bahkan kalau perlu aku ingin mencetak kaos bertulis, “Hati-hati, sedang PMS!” dan dalam bahasa Inggris juga, “Beware, PMS Woman!”. Bukan karena ingin menarik perhatian atau membanggakan ke-PMS-anku. Sekadar peringatan terhadap sekeliling bahwa aku sedang dalam emosi tak terkendali yang bisa meledak kapan saja. Maka itu jangan sesekali mencari gara-gara dengan perempuan yang sedang PMS.
Jangankan saat PMS, saat tidak PMS saja saya sudah tergolong sebagai perempuan emosionil. Bagaimana saat PMS? Oh, itu penderitaan luar biasa. Bukan saya ingin menggarisbawahi kelemahan kaum Hawa satu ini. Bukan. Hanya saya mengakui amat teramat tak menyenangkan menjadi mahluk emosionil dengan tubuh lemah dan setiap bulan harus menanggung derita PMS. Sama sekali tidak menyenangkan. Jadi sebagai laki-laki, harap sedikit lebih simpati atau empati pada kami yang mengalami PMS. Bukan malah menyiuli atau melirik nakal kalau bertemu di jalan.

*suatu malam sehabis PMS usai*

Kali Ini, Tentang Cinta Platonis



Sahabat itu bisa lelaki, bisa perempuan. Alangkah indahnya kalau persahabatan sejati bisa terjalin antara lelaki dan perempuan. Tanpa ada kisah kasih menyek-menyek. Tanpa ada kecemburuan. Tanpa ada nafsu seks. Apapun itu.

Itu yang kata orang namanya cinta platonis. Cinta antar teman. Beda dengan cinta kepada kekasih alias cinta eros yang penuh nafsu, kecemburuan dan otoritas. Cinta platonis jauh lebih suci ketimbang cinta eros.

Perempuan butuh sahabat lelaki. Agar bisa mem-balancing pola pandangnya yang terlalu emosionil. Di saat tertentu kita perlu teman bicara yang tak melulu didominasi perasaan. Saya pribadi kalau ada masalah kerap curhat dengan teman lelaki. Mereka bisa memberi masukan yang rasional, logis, ketimbang teman perempuan. Tentu saja kita tetap butuh teman curhat perempuan kalau dalam keadaan luar biasa rapuh, memerlukan teman “senasib seperjuangan”.

Sejak SMA sampai kuliah, teman dekat saya mayoritas adalah lelaki. Berteman dengan mereka seolah menyuntikkan kekuatan tersendiri. Mereka seperti menulari saya dengan semangat untuk survive yang luar biasa. Tapi seiring dengan beranjaknya waktu, akhirnya saya lebih dekat dengan teman perempuan. Bukan berarti saya tak punya sahabat lelaki. Selalu saja ada.

Sahabat lelaki adalah teman kita yang bikin kita tak sungkan berkeluhkesah. Mereka juga tak dikotori pikiran kotor penuh nafsu. Tak ada kecemburuan.

Sahabat adalah orang yang bisa kita ganggu kapan saja, dimana saja. Tidak membuat kita sungkan untuk menyatakan GUE KANGEN ELU atau GUE BENCI ELU. Tidak malas membalas SMS. Tidak sayang membuang pulsa demi menelepon. Tidak ada kata CAPEK untuk membantu saat kesusahan. Juga bebas dari rasa gengsi demi menolong teman.
What a lovely friendship we have!!!

Wednesday, October 19, 2005

Sinonim Kata Janda: KUNTILANAK


F: Status kita mengerikan ya Mer?
M: Banget!
M: Janda…punya anak lagi…orang dengernya sama kayak denger kata KUNTILANAK..hahaha!

Itu tadi adalah petikan chatting antara aku dan seorang teman yang sama-sama single parent. Entah kenapa aku lebih suka disebut sebagai single parent ketimbang janda. Mungkin karena kata “janda” identik dengan istilah “janda kembang”, “janda penggoda”, “janda genit”, “janda gatel” dan sederetan panjang makian buat predikat satu itu.
Anehnya, duda justru tidak pernah mendapat “makian” yang sama. Justru duda dianugerahi gelar-gelar hebat seperti “duda keren”, “duda kaya” dan banyak lagi.
Ada apa dengan janda??? (bisa jadi sekuel film Ada Apa dengan Cinta..wakakakakak!)
Mari kita bikin studi kasus kecil-kecilan.

Saya dan teman sesama janda dengan anak tadi punya pengalaman mirip. Kami sama-sama pernah mencoba membina hubungan dengan lawan jenis setelah bergelar janda. Hubungan itu ke arah serius. Dan kami sama-sama terpuruk. Alasannya hanya simple saja: orang tua cowok tidak setuju anaknya menikah dengan janda. Punya anak lagi. Secara harfiah katakana saja begini: tidak ada orang tua yang rela anaknya menikah dengan cewek yang notabene BARANG BEKAS. Apalagi barang bekas itu punya momongan yang pasti akan jadi beban bagi si cowok.

Aneh? Itulah fakta. Jika digeber, maka akan lahir fakta bahwa memang nyaris semua orang tua tidak akan rela kalau anak lelakinya menikah dengan janda. Ada semacam gengsi atau arogansi yang terganggu seolah anaknya tidak laku atau tidak sanggup dapat jodoh perawan ting-ting.

Beda dengan para duda. Tau kenapa ada istilah “duren” alias duda keren? Karena lelaki walau berstatus duda tetap dipandang bagus. Orang tua yang punya anak gadis akan rela saja kalau dilamar duda asal duda itu kaya da keren. Jadi masalah status kedudaan tidaklah sehancur status janda.
Itu kasus pertama.

Kasus berikut. Apabila seorang janda memiliki anak yang kebetulan tidak sukses, maka semua orang akan menyalahkan si ibu yang janda. Akan ada kata-kata “Pantes anaknya rusak, ibunya janda sih. Ngga becus ngurus anak. Keluyuran mulu!”
Sebaliknya kalau seorang duda punya anak yang salah asuh, maka komentar yang muncul adalah,”Wajar deh anaknya begitu, kan bapaknya repot cari duit. Yang salah ya ibunya, kenapa mau cerai.”

Stereotip semacam ini sudah mendarah daging. Susah dilawan. Tidak mungkin malah. So..what we could do as a god damned widow??
Lawanlah dengan perbuatan. Buktikan bahwa janda juga bisa mandiri, tidak hanya menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain. Mampu mengukir prestasi dengan otak dan bakatnya. Ingat, revolusi ini hanya bisa berjalan dari diri kita sendiri, bukan orang lain. Maka kalau ada yang bilang status janda itu menyeramkan seperti kuntilanak, benarkan saja dan ucapkan saja: YA, SAYA KUNTILANAK DAN AKAN KUCEKIK KAMU SAMPE MATI, SEBAB AKU MEMANG TIDAK BUTUH UANG DAN RASA KASIHANMU!!!

Monday, October 17, 2005

Dicari: Gay yang Baik Hati



Gay is the girl's best friend.
Kalimat itu sedikit bikin merinding. Tapi ada benarnya. Zaman SD dulu saya punya teman cowok yang feminim. SMP kan masih pakai celana pendek, maka Agus (nama samaran) -kalau duduk akan merapatkan pahanya karena malu. Perilaku yang sama persis dengan anak perempuan kalau pakai celana pendek. Benar, Agus adalah gay. Dan dia sangat akrab dengan perempuan. Denganku juga.

Di kampus, ada lagi teman gay yang tak usah disebut namanya. Koleksi bajunya 10 kali lipat lebih banyak dari saya. Ia selalu dikelilingi teman cewek sebab memang punya segudang advis kecantikan bagi kaum cewek. Saya tidak akrab dengannya tapi dia pernah membantu saya beberapa kali. Hal materi dan tempat curhat.

Di film lawas bertajuk The Next Best Thing yang dibintangi Madonna dan Rupert Everett berkisah tentang persahabatan perempuan dan seorang gay. Si perempuan hamil tanpa suami, sang sahabat yang gay rela menjadi anak angkat di bayi. Tapi ditentang oleh pengadilan karena gay dianggap tak layak menjadi ayah. Padahal faktanya si gay jauh lebih baik ketimbang sang lelaki yang sesungguhnya adalah ayah biologis si anak.

Sudah dua orang teman berasumsi bahwa sosok seseorang yang saya kenal di dunia maya ini, katakanlah Mr.X adalah gay. Mr X memang punya semua ciri gay: berpenampilan bersih,terawat,trendi,tampan dan sangat peduli dengan bentuk tubuhnya. Dia saya kenal setahun lalu di chatroom dan baru-baru ini bertemu langsung.

Mr.X tipe lelaki yang banyak bicara,perfeksionis, dan tentu saja belum mengakui dirinya adalah gay. Namun kalau memang benar dia gay, maka saya bersyukur. Sebab ingin sekali membuktikan kebenaran kalimat di atas tadi.

Friday, October 14, 2005

Dolores Minus Silikon


“Perempuan yang melakukan operasi silikon pembesaran payudara itu, apakah tidak berpikir tentang dampak buruknya?”
“Saya senang kami dikenal bukan karena perilaku kami, tapi karena musik kami.”
“Menjadi ibu adalah pengalaman paling berharga yang pernah saya alami.


Kalimat-kalimat itu bukan keluar dari mulut seorang aktivis perempuan. Tapi dari seorang Dolores Mary O’Riordan, vokalis The Cranberries yang lebih kita kenal dengan suara khas dan melengkingnya. Walau Dolores tidak seheboh Britney Spears, Gwen Stevani dari No Doubt atau Madonna, saya jauh lebih mengidolakan dia ketimbang nama-nama tadi. Why?
Pertama, Dolores yang satu-satunya perempuan dalam Cranberries adalah penulis sebagian besar lirik lagu mereka. Dua, ia punya kepedulian pada kemanusiaan yang sangat langka di masa kini. Sebut saja lagu Zombie, satu bestseller-nya di masa lalu. Lagu yang mengangkat group asal Irlandia tersebut berkisah ihwal seorang ibu yang melindungi anaknya dari lindungan bom sampai nyawanya melayang. Jauh dari lagu menyek-menyek tentang cinta yang dilantunkan Britney Spears.
Lalu, Dolores pribadi juga bukan personal yang suka aneh-aneh melakukan hal nyeleneh yang membuat dirinya lebih dikenal gosip tak sedap daripada kualitas vokalnya. Dia tak perlu suntik silikon memompa payudaranya. Tak ada berita selingkuh dengan sesama selebriti. Tak ada kecanduan narkoba, alkhol, sejenisnya.
Lebih dari itu, semua personil Cranberries tergolong group musik yang nyaris tak pernah membuat kehebohan atau gosip hot. Tak ada usaha menarik perhatian penggemar dengan aneka kontroversi seperti yang dilakukan kebanyakan musisi.
Bagi saya, mendengar vokal Dolores ditingkahi deru gitar listrik adalah pengalaman tersendiri. Kita seperti terbawa ke alam Irlandia yang penuh konflik politik. Mengapa musisi kita tak bisa melakukannya? Bukankah kondisi republik kita nyaris sama dengan negara asal U2 atau Sinead O’Connor tersebut? Sama-sama ricuh politik dan marak bom. Dol tak cuma memikirkan negaranya saja, namun juga dunia.
Simak saja betapa besar kepedulian Dol pada anak-anak Bosnia dalam lirik ini.

would like to state my vision, Life was so unfair
We live in our secure surroundings
And people die out there

Bosnia was so unkind, Sarajevo changed my mind
And we all call out in despair, all the love we need isn't there
And we all sing songs in our room, Sarajevo erects
another tomb

Sarajevo, Sarajevo, Sarajevo, Sarajevo
Bosnia was so unkind
Sarajevo, Sarajevo, Sarajevo, Sarajevo
Bosnia was so unkind

Sure things would change if we wanted them to
No fear for children anymore
There are babies in their beds, terror in their heads
Love for the love of life!
When do the saints go marching in?
(*Bosnia, WORDS BY D. O'RIORDAN. MUSIC BY D. O'RIORDAN *)

Friday, October 07, 2005

FILE NOT FOUND


The robot is fixed already
A new program is running
All viruses, worms, trojans, spywares had been removed

Input: How could I luv ma man who even never treat me as a good friend?
Output: What a STUPID idea!

Target: looking for a bad memories
Result: FILE NOT FOUND. FILE NOT FOUND. FILE NOT FOUND. FILE NOT FOUND. FILE NOT FOUND.

Thursday, October 06, 2005

Do U Luv Your Job?


Sore itu lumayan panas. Sangat panas malah. Di teras mesjid PT. INKAI, Madiun, saya bersama dua teman tergolek pasrah. Puasa hari pertama. Semestinya saya tidak puasa, tapi karena ikut rombongan protokol Menristek yang semuanya puasa, maka terpaksa saya puasa. Tapi masih nyolong-nyolong meneguk air.
Apa yang kami tunggu? Ibu Lucy, yang menyiapkan protokoler acara Menristek meresmikan Laboratoriun Dinamika Uji Kereta Api (Fudika) besok pagi. Perempuan beranak tiga itu masih sibuk rapat sedari pagi begitu kami tiba di Madiun. Sudah pukul 16.00 dan ia masih melayani "tantangan" para bapak, direksi PT INKAI untuk merembuk acara besok.
Begitu beduk bertalu, kami bertiga lega. Akhirnya bisa makan juga dan santai sejenak. Selesai buka bersama, kami berharap bisa segera kembali ke hotel untuk mandi dan rebahan.
"Kita kembali ke aula," suara Bu Lucy membuyarkan bayangan kami atas tempat tidur empuk dan kamar AC. Perempuan itu masih gegap gempita mengatur ruangan, jejeran kursi, kemana deretan tamu VIP harus menghadap, dan sebagainya. Sesekali ponselnya bercicicuit menerima SMS atau telpon. Hampir semua orang dis ekitarnya yang mayoritas lelaki selalu menuruti apa perintahnya. Dan Ibu Lucy tak canggung turun tangan menggeser-geser sendiri barisan kursi.
Yang bikin saya kagum pada perempuan satu itu adalah semangat kerjanya. Juga ketenangannya menghadapi masalah saat dihadapkan pada fakta bahwa Pak Menteri dapat panggilan mendadak rapat Wapres padahal ia juga harus ke Madiun di jam yang sama. Semua akhirnya bisa di-handle dengan baik.
Tidak setitikpun kelelahan tersirat di wajahnya. Sembari sibuk mengurusi protokoler acara, ia masih sempat menelepon suami dan anak-anaknya. Bahkan dengan santai ia berkisah bahwa menu sahur dan buka puasa di rumah sudah disiapkan semua di kulkas. Oleh ia sendiri!!! Sang asisten rumah tangga tinggal memasaknya saja.
Ini satu contoh pengejawantahan seorang superwoman. Setelah saya pikir, tak banyak yang dituntut untuk menjadi superwoman. Cukup cintailah pekerjaanmu. Kita bisa sangat peduli terhadap satu hal apabila kita mencintainya. Begitu pula pekerjaan. Dengan mencintai pekerjaan, maka kita melakukannya tanpa kenal lelah. Sama dengan anak dan keluarga. Kapan kita bisa berargumen "capek" terhadap orang yang kita cintai? Tidak pernah. Ibu Lucy, Marie Curie, Margareth Tatcher, Mother Teresha, Madonna, Frida kahlo, adalah contoh perempuan-perempuan yang mencintai pekerjaannya. Mereka bisa membagi cinta antara pekerjaan dan keluarga. Tanpa satu pun tersisihkan.
Maka ada satu kunci kesuksesan dalam hidup. Cintailah pekerjaanmu. Luv your job! Do i?

Monday, October 03, 2005

Superwoman Memerangi Badai Krisis

Memang dasarnya Superwoman, maka perempuan tidak boleh cengeng menghadapi krisis seperti saat ini. Ongkos silakan naik, BBM silakan melambung tinggi, tapi Superwoman harus tegar dan penuh kiat menghadapinya.
Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan Superwoman dalam memerangi badai krisis:

1. Beri senyum pada kondektur saat membayar, agar diberi keringanan. Kurang 500-1000 bisa dimaklumi.
2. Senyum tak mempan, ajak ngobrol saja dia, kasih alasan “Turunnya hanya di situ kok bang,” (tunjuk jarak terdekat).
3. Ganti kopi instan ala Nescafe yang mahal dengan kopi tubruk ala Kapal Api.
4. Kurangi kebiasaan kopi dengan teh.
5. Yang hobi teh, ganti teh celup dengan teh godok biasa. Hitung-hitung bernostalgia tempo doeloe zaman belum ditemukannya teh celup.
6. Yang sudah puas dengan teh godok ya ganti dengan air putih. Ingat, dokter menyarankan kita minum air putih minimal dua liter sehari! Jadi buat apa minum air “butek” sejenis teh dan kopi?
7. Ganti bedak compact dengan bedak tabur.
8. Kurangi kebiasaan curhat by SMS. Sebagai gantinya, curhat saja di buku harian, kembali ke masa silam. Jauhkan ponsel dari pandangan mata agar tidak tergoda.
9. Jarak terdekat angkot kabarnya Rp.1500. Kalau jaraknya tak lebih dari 300 meter ya alangkah baiknya jalan kaki saja. Olah raga. Sehat dan ramping, daripada harus fitnes?
10. Bagi yang bekerja, bawa bekal dari rumah. Ini bisa menekan biaya Rp. 5000-10.000. Lumayan kan?
11. Kurangi hobi nonton di Cineplex, ganti dengan sewa DVD atau VCD. Kalau tidak puas ya silakan ikuti program NOMAT.
12. Kurangi nongrong di kafe, restoran fast food dan sejenisnya. Untuk memuaskan selera makan, silakan belajar bikin french fries, garlic bread, burger dan sejenisnya sendiri di rumah. Sekalian mengisi waktu senggang week end.
13. Bongkar persediaan baju-baju lama. Yang masih layak bisa dipakai kembali. Atau bawa ke penjahit dalam porsi besar, dipermak disesuaikan gaya sekarang Bisa dapat diskon lho kalau sekaligus buanyak. Dengan begini tidak perlu beli baju baru.
14. Kurangi kebiasaan ke salon. Belajar potong rambut sendiri, krimbat sendiri, lulur sendiri. Bayangkan kita hidup di abad lampau dimana salon belum ditemukan.
15. Bawalah air putih kemanapun kita pergi. Mengurangi jajan soft drink dan air mineral.
16. Belajarlah menjadi vegetarian. Tidak perlu langsung ekstim, tapi perlahan saja. Telur dan susu tidak perlu dihilangkan dari daftar menu. Cukup menghilangkan daging dan ayam yang memang mahal dan rentan penyakit.
16. Silakan tambah sendiri dengan kreativitas anda.

Friday, September 30, 2005

Setiap Perempuan Adalah Superwoman


Sudah agak lama, seorang teman lelaki curhat tentang anaknya yang sakit. “Aku ngga tidur semalaman. Jagain anak yang demam. Kasihan istriku, seharian dia yang jaga kalau aku kerja,” keluhnya. “Malam dia masih begadang juga kadang. Ngga kebayang pas anakmu sakit Kamu kan single parent.”
“Iya, aku malem begadang, tidur-tidur ayam, paginya kerja. Hehehe,” jawabku santai.
“Gimana kamu bisa tahan?” Ia bertanya bingung. “Aku yang lihat istriku kecapaian aja sudah ikut stress.”
Aku hanya tertawa. “Tuhan memberi EXTRA POWER pada setiap perempuan, khususnya para ibu. Jadi ya santai saja,” jawabku.

Istilah EXTRA POWER itu bukan mengada-ngada. Bayangkan saja, para ibu di seantero dunia. Ada banyak ibu yang punya anak 3,4 5 bahkan 10, dapat terus bertahan hidup dengan senyuman di bibir walau harus berkutat dengan kesibukan luar biasa. Bangun dini hari, menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah, belanja ke pasar, memasak, mencuci, menjemput anak, membantu bikin PR, menyapu, mengepel, menyetrika, melayani suami, memanjakan si kecil, dan saat malam tiba mereka hanya terlelap beberapa jam. Tidak ada tidur siang. Bahkan di akhir pekan pun pekerjaan mereka justru bertambah sebab keuarga butuh perhatian lebih dari biasa.

Tak banyak beda dengan perempuan karir. Pulang kerja mereka tak bisa ongkang-ongkang kaki rileks seperti para suami. Sehebat apapun karir perempuan, begitu menginjakkan kaki di rumah, mereka akan kembali ke kodratnya, menjadi ibu rumah tangga. Jadi jangan heran kalau ada perempuan karir yang di kantor tampil anggun berwibawa, keren, begitu sampai rumah berubah jadi bluwek –istilah teman saya-, hehehe.
Lagi, seorang teman, perempuan yang lumayan sukses karirnya sempat berkeluhkesah. “Kalo suami gue enak, pulang kerja tinggal nyantai aja, minta kopi. Duduk deh dia baca Koran, nonton TV, main PS, atau langsung molor. Nah gue tiap pulang kerja ada aja yang harus dilakonin. Yang anak rewel, berantem, ngga mau bikin PR, rumah berantakan, macem-macem. Ribet.”

Kalau dipikir dengan logika, semua itu jelas sulit dilakukan. Semua orang juga tahu, kekuatan fisik perempuan tidak seberapa dibanding lelaki. Belum lagi kemampuan berpikirnya yang kata kaum pria, perempuan tak ada apa-apanya. Lalu, bagaimana kaum Hawa khususnya para ibu bias terus survive dengan beban itu?
Menristek Kusmayanto Kadiman pernah bersaksi di depan anak buahnya dan wartawan. “Perempuan itu lebih pintar dari lelaki. Mereka bisa nonton TV sambil ngobrol, nyiapin makanan, baca buku, ngurus anak dan macam-macam. Kita lelaki kalau nonton TV diajak ngobrol aja suka ngga ngerti.”
Itu dia jawabannya, EXTRA POWER. Maka berbanggalah jadi perempuan. Sebab setiap kita adalah SUPERWOMAN.

Thursday, September 29, 2005

Nothing To Lose



Lelaki atau perempuan, kalau sudah kasmaran bias bahaya. Ibarat PC yang terserang virus, semua kinerja jadi terganggu. Bedanya, secara mitos lelaki lebih diuntungkan. Mereka dilegalkan mengejar cewek idamannya dengan bersikap agresif. Sedangkan cewek, dianggap harus menunggu. “Tidak baik air mendatangi gayung,” begitu pepatah orang dulu. Detail tentang ini sudah saya singgung pada entry terdahulu, “Perempuan Perayu: Hebat atau Murahan?”.
Sayangnya mitos ini sangat merugikan kaum Hawa. Seperti PC yang kena virus tadi, perempuan yang kasmaran sulit konsentrasi pada pekerjaan dan banyak hal. Seorang teman malah mengaku tidak doyan makan karenanya. Apa pasal? Saat virus cinta menyerang, seorang perempuan jadi super duper lemah. Pertama, mitos tadi yang membuat cewek harus menahan perasaannya. Kedua, bawaan kaum cewek yang memang didominasi emosi dan sensitif. Terombang ambing kegalauan antara he loves me, he loves me not. Ada sedikit perhatian saja dari lelaki idaman, langsung terbang melayang. Namun saat si idaman hati mengecewakan, jadi terpuruk luar biasa. Sungguh tersiksa.
Ada solusi bagus bagi kaum cewek yang dilanda problem ini. Tapi solusi ini hanya berlaku apabila cowok idaman benar-benar seorang cowok yang sudah lama kita kenal, baik dan tidak mungkin melakukan hal negatif.
Pertama, bersikaplah apa adanya. Kalau memang ingin memberi perhatian, berikan saja sejauh itu dalam batasan normal. Berkirim SMS, menelepon atau kirim email. Kalau dia memberi respon, jangan terlalu berharap dulu.
Kedua, jangan ragu untuk mengajaknya bertemu. Mengungkap perasaan secara spontan juga bagus. Seperti, “Gue kangen elo, tau!” Atau, “Belom makan? Nanti sakit lho.” Saat diucapkan pada waktu yang tepat, hal-hal seperti itu tak menjadi tabu.
Ketiga, setelah sekian lama kenal pribadinya dengan baik, mulailah menggalang kekuatan untuk mengekspresikan perasaan. Ini berlaku apabila sudah cukup lama kita kenal dia tapi dia tak kunjung “nangkep” feeling kita.
Keempat, istilah anak mudanya “tembak!”. Apapun responnya, akan berdampak positif pada kita. Mengapa? Katakan cinta ditolak, kita justru akan terbebas dari perasaan ketidakpastian yang menyiksa. Jika ia memang lelaki baik, maka hubungan bisa berlanjut ke persahabatan. Tidak ada ruginya, kan? Nothing to lose.
Nah, para perempuan sekalian, sudah bukan zamannya lagi kita menunggu dan menunggu seperti sapi ompong. Tembak saja, nothing to lose!! Or you want to be a looser?? No way, maaaan!

One "Morning" Stand

Sejak ada perubahan jalur kendaraan umum, para wanita karir Depok harus berjibaku setiap pagi. Bukan apa-apa, kami di terminal Depok yang notabene bau pesing oleh urine kaum Adam yang dibuang sembarangan, berjuang keras berebut tempat duduk di Patas AC. Rute Damri AC yang semua melewati Thamrin, kini hanya sampai Cassablanca. Jadi hanya ada satu bis AC yang sampai ke Thamrin, yakni Bianglala 102 rute Depok-Tanah Abang.
Maka jangan heran kalau di terminal Depok, bis satu itu selalu disambut dengan gegap gempita pada jam berangkat kerja. Termasuk saya dan banyak perempuan lain.

Yang namanya berebut bis, sodok menyodok dan sikut menyikut tak kenal urusan gender. Laki atau perempuan, sikat saja bleh yang penting dapat duduk. Hihihi. Dan hasilnya adalah sebuah bis penuh sesak manusia. Cewek-cowok berdesakan, gelantungan. Saya pribadi adalah pejuang tangguh, maka selalu jadi pemenang yang mendapatkan tempat duduk dengan posisi strategis, yakni dekat dengan jendela.

Tadi pagi, secara taks engaja saya duduk bersebelahan dengan lelaki yang bisa dibilang lumayan ganteng. Seperti kisah penumpang bis lain, pada awal bis berjalan kami masih duduk manis. Kelamaan badan melorot, kepala tersandar. Kian lama posisi ini tambah tak sedap dipandang mata. Ada yang kepala oleng kiri kanan karena kantuk.
Hal serupa berlaku pada cowok ganteng sebelah saya. Juga saya sendiri.

Perjalanan Depok-Sudirman bisa makan waktu 1,5 -2 jam. Jangan salahkan kami kalau tenggelam ke alam mimpi. Maka saya pun ikut terbawa ke alam kantuk yang memanggil. Begitu pula cowok ganteng di sebelah (kalau dengan Yahoo Messenger sudah pakai ikon senyum). Dan begitu terbangun di Komdak...uppsss kepala si ganteng sudah ada di pundak saya, kepala saya sudah ada di kepalanya yang cepak. Kontan saya terbangun. Karena masih macet, iseng saya berkirim SMS pada seorang teman. "GUE BARU AJA BOBO BARENG AMA COWOK GANTENG. ONE MORNING STAND NIH, SEBAB KITA NGGA SALING KENAL"

Tuesday, September 27, 2005

Jadi Minoritas, Siapa Takut?


Bayangkan dalam satu rombongan anda adalah satu-satunya perempuan. Lainnya adalah lelaki separuh baya yang sudah berkeluarga. Mereka melontarkan lelucon-lelucon esek-esek yang bikin telinga kita sebagai perempuan jadi panas. Tidak tanggung-tanggung, mereka kadang menyodorkan pada kita beberapa canda yang berkaitan dengan gender. Pelecehan perempuan. Tentang “jajan” pada PSK bertarif murah sampai obrolan perselingkuhan. Itu semua saya alami. Sering bahkan. Dan saya menghadapinya hanya dengan senyum tersungging, sesekali ikut tertawa lepas. Aneh?

Sebagai jurnalis perempuan, bukan sekali dua kali saya menjadi satu-satunya perempuan di rombongan sesama jurnalis. Menjadi minoritas. Yang terakhir saya alami di Cibodas, pekan silam. Menginap bersama di vila berhawa sejuk dengan tujuh laki-laki usia separuh baya yang sudah menikah semua. Saya paling muda dan cantik. Tercantik karena saya satu-satunya perempuan. Sepanjang waktu dari saat di perjalanan hingga tiba di vila san kembali pulang, mereka tak kehabisan bahan lelucon. Dari mulai yang paling intelek sampai paling jorok. Apakah saya harus tersinggung dan merasa dilecehkan? Tidak sama sekali. Saya justru ikut menimpali, berbaur, tanpa harus terbawa arus. Tanpa terkesan bahwa kita senang dilecehkan. Hasilnya lumayan, mereka merasa saya bukan tipe perempuan yang pantas dilecehkan seperti tokoh di guyonan mereka. Para lelaki yang jauh dari istri dan terpaksa berkumpul dengan sesama jenis di luar kota itu tetap respek pada saya.

“Ada kode etik yang aku jaga, Mer. Tidak boleh memangsa teman seprofesi,” ujar seorang teman jurnalis senior di kamar hotel Concorde de Lafayette, Paris, beberapa waktu lalu. Dia ayah empat anak, sudah berusia 50-an. Sangat kebapakan. Aku mengaggapnya abang. Di acara peliputan GSM World Forum yang jauhnya ribuan mil dari tanah air itu, aku satu-satunya jurnalis perempuan dari Indonesia. Persis seperti acara Cibodas kemarin, yang lain adalah para lelaki usia paruh baya. Apakah saya harus merasa tersisih, risih dan tersudut hanya karena perbedaan gender? Sama sekali tidak.

Bepergian dengan rombongan yang mayoritas lelaki bukan hal baru bagi saya. Sejak sebelum menjadi jurnalis saya sudah kerap mengalami. Masa SMA dan kuliah saya kerap kemping dan naik gunung dengan teman-teman lelaki. Tidak ada pelecehan seksual, tidak ada perilaku tidak senonoh. Semua baik-baik saja. Apa pasal? Sebab saya tidak pernah berlaku beda dari mereka. Tak perlu merasa minder atau justru lebih hebat sehingga memasang gap sedemikian rupa. Dengan begitu mereka juga akan respek pada kita.

Hal serupa juga berlaku pada minoritas bidang apapun. Kalau ditelaah, saya adalah minoritas dalam banyak hal. Minoritas sebagai pemeluk Nasrani di Indonesia. Minoritas sebagai single parent. Minoritas sebagai keturunan Cina. Minoritas sebagai jurnalis perempuan. Minoritas sebagai jurnalis dalam keluarga yang dominan pedagang dan wirastawan. Astaga, saya baru sadar betapa super duper minoritasnya saya. Namun itu semua tidak setitikpun membuat langkah terhambat. Tak ada alasan keminoritasan itu menjadi tekanan di lingkungan sekitar.

Lingkungan saya adalah Betawi dan Sunda muslim yang fanatik, taat beragama. Namun sampai hari ini saya tidak merasa diperlakukan beda hanya karena saya Nasrani, Jawa keturunan Cina, ditambah lagi single parent. Anak saya, Libby, belakangan senang bermain marawis (sejenis qasidah dengan rebana) dengan Riska, anak tetangga, sahabatnya. Semua tahu kami Nasrani, pergi ke gereja setiap hari Minggu. Yang sudah-sudah, tiap bulan puasa saya kerap menerima pemberian kolak dari tetangga. Tidak ada perlakuan khusus dari mereka. Mengapa?

Jawabannya sama dengan paragraph sebelumnya, yakni karena saya sendiri juga berperilaku seolah sama dengan mereka. Tak perlu merasa tersisih. Jadilah sebagai bagian dari mereka. Maka mereka pun akan menganggap kita serupa. Ada celah dimana sesama manusia akan selalu merasa sama dengan sesamanya kendati beda suku, agama atau kelamin. Apakah itu? Senyum, keramahan dan keakraban. Cukup dengan tiga hal itu maka seluruh umat manusia merasa senasib sepenanggungan. Maka, jangan takut menjadi minoritas.

Friday, September 23, 2005

From Nobody to be Somebody


If a man wants you, nothing can keep him away.

If he doesn't want you, nothing can make him stay.

Stop making excuses for a man and his behaviour. Allow your intuition
(or spirit) to save you from heartache.
Stop trying to change yourself for a relationship that's not meant to
be.
Slower is better.

Kata-kata bijak itu keluar dari mulut seorang Oprah Winfrey. Seorang teman baik mengirimkannya padaku melalui email. Siapa tidak kenal perempuan hitam manis dengan tubuh padat itu? Oprah saat ini memiliki acara talkshow-nya sendiri, studio pribadinya sendiri Harpo Studio (yang berasal dari nama Oprah dibalik), juga majalah O. Talkshownya disiarkan di 117 negara!

Majalah bisnis dunia Forbes tahun ini menjulukinya sebagai wanita Amerika asal Afrika terkaya di Amerika Serikat. Majalah mingguan internasional Time memasukkannya dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di abad ke-20. Perannya dalam film The Color Purple memberinya nominasi Oscar dan hadiah Golden Globe sebagai pemeran pembantu terbaik. Talk Show-nya ditonton lebih dari 150 juta penonton setia di seluruh dunia.

Siapa sangka Oprah bisa mencetak prestasi gemilang itu? Kalau ditelaah, perempuan ini sempat mengalami masa-masa kelam. Ia pernah membuka kisah hidupnya yang kelam. Mengalami pelecehan seksual di masa kecil. Belum lagi perlakukan rasis terhadap kaum kulit hitam di AS pada masa lalu. Oprah mengalami sejumlah perlakukan minoritas. Pertama, minoritas sebagai perempuan. Kedua, minoritas sebagai kulit hitam. Ditambah lagi wajahnya memang tidak cantik yang membuat sebagian besar lelaki kurang "menyambut". Singkatnya, sungguh tipe perempuan yang bukan apa-apa. Really nobody.

Tapi lihatlah apa yang terjadi dengan Oprah saat ini. Siapa tak kenal namanya? Apakah ia bermodalkan tampang cantik dan tubuh sexy untuk menggapai semuanya seperti yang dilakukan perempuan kebanyakan? Tidak sama sekali. Oprah bermodalkan otak, keuletan, kerja keras dan kreativitas. Bahkan ia mau men-share semua kunci kesuksesannya itu pada sesama perempuan.

Siapa ingin seperti Oprah? Tentu saja saya mau. Sangat mau!!!

Thursday, September 22, 2005

Wanna be A Robot



Tahu bagaimana rasanya membunuh satu rasa itu?
Ingin melupa tapi tak bisa
Ingin me-remove semua data di recycle bin otakku
Sayangnya aku bukan PC atau Mac yang bisa diprogram begitu..
Tahu bagaimana sakitnya membunuh satu rasa itu?
Seperti seorang sadistis menyiksa diri
Tapi itu harus dilakukan
Logika harus mengalahkan feelingAku ingin jadi robotyang dikendalikan akal sehat, bukan perasaan cengengsemata
Jadi ku restart saja semuanya
Delete all memories
Memang semestinya tidak pernah kupanggil namamu di YM
pinggiran jakarta, selasa, 15.30.

Kisah Perempuan yang Ingin Jadi Robot


Maka ia pun pergi ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang kebetulan memiliki anak perusahaan bioteknologi. Perusahaan ini memproduksi robot-robot yang menyerupai manusia dengan teknologi Artificial Intelligent (AI) alias kecerdasan buatan. Semua robot itu diprogram sedemikian rupa menyerupai manusia. Bahkan sedang dikembangkan bagaimana agar para robot bisa memiliki perasaan.
Ia bertemu seorang profesor pakar AI. “Jangan sesekali menciptakan robot dengan perasaan. Kasihan mereka akan tersiksa. Biarkan robot-robot itu seperti apa adanya,” ujarnya. Sang profesor tak habis pikir bagaimana perempuan itu bisa beropini demikian.
“Justru segala hal yang dilakukan manusia sudah berhasil ditiru oleh robot kreasi kami, kecuali satu hal, berperasaan,” tegas profesor.
“Apa bagusnya memiliki perasaan, prof. Hanya akan membuat mereka tak mampu diprogram lagi. Fungsi utama robot adalah menjalankan perintah sesuai program si pembuat. Kalau tak sanggup jalankan program, maka robot tak berguna. Hentikan proyek mengembangkan robot dengan perasaan ini,” si perempuan protes.
“Tidak mungkin, nona. Kesempurnaan AI adalah menciptakan robot yang mirip dengan manusia. Dan itu tak mungkin terjadi tanpa dilengkapi dengan feeling, perasaan. Itu target kami saat ini, mendesain robot dengan hati. Kalau ini sukses, berarti kami membuat terobosan fenomenal,” sang profesor tak mau kalah.
Si perempuan menggelengkan kepalanya. “Jangan, prof! Itu akan berarti kemunduran! Robot dengan perasaan justru merusak keseluruhan program pada CPU mereka. Antara perasaan dan logika tak bisa akur. Hasilnya adalah robot-robot yang emosionil, menolak perintah program, sangat jauh dari tujuan awal pembuatan robot.”
Kemudian profesor berceramah ihwal proyek AI yang sudah dirintisnya sejak lama, juga prospeknya ke masa depan jika robot bisa memiliki hati. Tapi semuanya tak dihiraukan oleh si perempuan. Ia justru memotong presentasi itu. “Sudahlah, prof. Tantangan bagi anda sekarang adalah, bagaimana membuat saya menjadi robot. Anda hebat bisa menciptakan robot mirip manusia. Bisakah anda membuat manusia menyerupai robot?”
Si prof terhenyak bingung. “Apa maksud nona?”
“Saya ingin jadi robot seutuhnya, bukan robot dengan hati, hanya logika saja. Ubah saya menjadi robot. Tanpa perasaan. Apabila itu berhasil, maka anda akan jadi tokoh abad ini. Saya akan mempublikasikan kehebatan Prof ke seantero dunia.”
“Itu tidak mungkin. Bukan bidang saya. Anda hanya berkhayal, nona. Tak satupun orang bisa mengubah manusia menjadi robot. Film Robocop itu hanya fantasi,” sang prof beargumen.
“Siapa yang sanggup melakukannya, prof? Saya sudah ke psikolog, psikiater, dokter ahli anatomi, sampai ke paranormal. Tak satupun yang bisa menghapus perasaan saya. Padahal saya tersiksa setengah mati oleh perasaan ini. Bikin hidup saya berjalan tidak sesuai dengan program yang sudah dibuat. Saya ingin melakukan A tapi karena gangguan feeling, jadinya justru meleset ke C. Juga sebaliknya. Hidup saya berantakan karena feeling. Sungguh tidak enak hidup dengan feeling. Maka saya sarankan jangan meciptakan robot dengan hati, prof. Jangan. Saya sudah mengalaminya dan itu merusak hidup saya.”
Profesor menatap perempuan itu dari atas ke bawah. “Anda perempuan. Wajar saja didominasi feeling. Bukankah memang sudah ditakdirkan demikian?”
Perempuan itu mendengus kesal, “Sejak kapan seorang profesor yang serba eksak seperti anda percaya takdir?”
Dan ia pun beranjak pergi. Entah siapa yang sanggup mengubahnya menjadi robot. Andai Tuhan mampu…