Ben Stiller adalah satu-satunya alasan mengapa saya tertarik untuk menonton film arahan sutradara Shawn Levy ini. Lelaki kocak itu tak pernah mengecewakan untuk dinikmati di layar lebar. Tapi ternyata ada hal lain yang membuat film bertajuk The Heartbreak Kid ini tidak mengecewakan sama sekali. Dulu saya pernah menulis tentang soulmate alias belahan jiwa. Dan film ini sangat sehati dengan saya dalam hal itu. Mungkin si pemilik ide cerita memiliki kesamaan landasan pikiran dengan saya.
Sunday, December 09, 2007
Lagi-lagi Tentang Soulmate
Ben Stiller adalah satu-satunya alasan mengapa saya tertarik untuk menonton film arahan sutradara Shawn Levy ini. Lelaki kocak itu tak pernah mengecewakan untuk dinikmati di layar lebar. Tapi ternyata ada hal lain yang membuat film bertajuk The Heartbreak Kid ini tidak mengecewakan sama sekali. Dulu saya pernah menulis tentang soulmate alias belahan jiwa. Dan film ini sangat sehati dengan saya dalam hal itu. Mungkin si pemilik ide cerita memiliki kesamaan landasan pikiran dengan saya.
Saya Tidak Membenci Laki-laki
Akhirnya, setelah mampu memanage kesibukan yang agak luar biasa dan sejumlah euphoria akibat mampu menelurkan ide-ide yang bercokol di kepala, saya kembali mengu-update blog ini!
Beberapa teman ternyata merasa kehilangan tulisan satir saya mengenai feminisme. Hmm, saya awalnya menolak disebut feminis, sebab nyaris semua orang yang sudah membaca blog ini langsung menuduh saya feminis. Bahkan feminis radikal.
"Kamu masih benci laki-laki?" Tanya seorang teman perempuan dari Lombok sana di Yahoo Messenger.
Tidak, saya tidak membenci mahluk laki-laki. Sebagian besar teman baik saya adalah laki-laki. Proyek terbaru saya, Netsains.Com, mampu digulirkan justru karena dukungan teman saya yang mayoritas laki-laki. Untuk apa saya membenci mereka? Saya justru berterimakasih karena laki-laki selalu mampu menempatkan posisi saya sedemikian terhormat. Temah-teman lelaki selalu membantu saya berpikir jernih dalam menghadapi persoalan. Mereka bisa menghadirkan perspektif logika penuh rasio yang kadang saya tak punya.
Lantas, kenapa arsip blog ini penuh berisi cacian terhadap laki-laki? Bukan laki-laki yang saya caci, melainkan perilaku sebagian besar laki-laki yang menjijikan, tidak adil, dan cenderung meremehkan kaum Hawa. Perilaku itu kerap terjadi di bawah alam sadar lelaki. Dan saya ingin mereka memperbaikinya.
Saya ingin mereka melihat perempuan bukan sebagai objek, melainkan subjek yang setara dengan mereka. Bukan hanya karena kami memakai gincu, berpayudara dan berpantat lebih besar, maka syah saja digodai, disiuli, dikomentari seenak jidatnya. Kami sudah terlahir begini dan harap lelaki perlakukan kami dengan hormat, sama seperti mereka menghormati perempuan yang sudah melahirkannya.
"Tapi sudah bawaan naluri, Mer. Lelaki ngga bisa kontrol diri liat cewek cantik atau sexy," kata seorang teman lelaki.
Hahaha! Perempuan juga sering terpana melihat cowok ganteng dan tubuh tegap sempurna. Tapi kami tidak pernah menyiuli, mencolek-colek, bahkan memperkosa kalian bukan?
Beberapa teman ternyata merasa kehilangan tulisan satir saya mengenai feminisme. Hmm, saya awalnya menolak disebut feminis, sebab nyaris semua orang yang sudah membaca blog ini langsung menuduh saya feminis. Bahkan feminis radikal.
"Kamu masih benci laki-laki?" Tanya seorang teman perempuan dari Lombok sana di Yahoo Messenger.
Tidak, saya tidak membenci mahluk laki-laki. Sebagian besar teman baik saya adalah laki-laki. Proyek terbaru saya, Netsains.Com, mampu digulirkan justru karena dukungan teman saya yang mayoritas laki-laki. Untuk apa saya membenci mereka? Saya justru berterimakasih karena laki-laki selalu mampu menempatkan posisi saya sedemikian terhormat. Temah-teman lelaki selalu membantu saya berpikir jernih dalam menghadapi persoalan. Mereka bisa menghadirkan perspektif logika penuh rasio yang kadang saya tak punya.
Lantas, kenapa arsip blog ini penuh berisi cacian terhadap laki-laki? Bukan laki-laki yang saya caci, melainkan perilaku sebagian besar laki-laki yang menjijikan, tidak adil, dan cenderung meremehkan kaum Hawa. Perilaku itu kerap terjadi di bawah alam sadar lelaki. Dan saya ingin mereka memperbaikinya.
Saya ingin mereka melihat perempuan bukan sebagai objek, melainkan subjek yang setara dengan mereka. Bukan hanya karena kami memakai gincu, berpayudara dan berpantat lebih besar, maka syah saja digodai, disiuli, dikomentari seenak jidatnya. Kami sudah terlahir begini dan harap lelaki perlakukan kami dengan hormat, sama seperti mereka menghormati perempuan yang sudah melahirkannya.
"Tapi sudah bawaan naluri, Mer. Lelaki ngga bisa kontrol diri liat cewek cantik atau sexy," kata seorang teman lelaki.
Hahaha! Perempuan juga sering terpana melihat cowok ganteng dan tubuh tegap sempurna. Tapi kami tidak pernah menyiuli, mencolek-colek, bahkan memperkosa kalian bukan?
Subscribe to:
Posts (Atom)