Monday, December 18, 2006

Teman atau Bukan Teman



Pertemanan, hubungan antar manusia, pada dasarnya memiliki degradasi sangat kompleks. Masalahnya, di Indoenesia ini kita kerap menyebut siapa saja yang kita kenal sebagai TEMAN. Padahal tidak sesederhana itu.

Seorang teman (yang ini teman sungguhan lho) pernah bilang, di negara tempat dia tinggal sekarang, Jerman, menjalin pertemanan tidak semudah di Indonesia. Ini sudah menjadi fenomena di Eropa, dimana orang sangat menjaga privasi. Memang, ini saya alami sendiri. Setahun silam waktu ke Perancis selama nyaris dua minggu, saya merasakan atmosfer berbeda dalam menjalin relasi dengan orang sana. Awalnya saya kira karena fisik saya yang Asia ini berbeda dengan mereka yang bule, maka saya mendapat perlakuan sedikit beda. Ternyata tidak.

“Biar muka gue rada bule gini, tetap aja beda kok suasana pergaulan di sini ama di Indonesia. Di sini orang sok akrab malah dicurigai, jangan-jangan mau nipu atau nyopet. Ketemu sekali dua kali ngga berarti langsung bias ngobrol. Dapet senyum aja udah bagus. Tapi kalo emang kita sudah bisa berteman dengan mereka, maka itu bukan sekadar teman basa-basi kayak kebanyakan orang munafik di Indonesia,” komentar seorang teman yang lama menetap di Jerman.

Seorang teman lain berkata bahwa di sana, orang mengkategorikan hubungan antar manusia. Tidak semua orang yang kita kenal langsung mendapat predikat teman. Ada istilahnya “kenalan”, “rekan kerja”, “tetangga”, “patner”. Kalau di sini kita akan menyebut mereka semua sebagai “teman”. Tapi di sana tidak. Memang di sini kita juga mengenal penggolongan itu, hanya tidak terlalu ketara. Bisa jadi karena orang Indonesia masih menjaga nilai “ngga enak ati” kalau hanya menyebut seseorang sebagai “kenalan”. Jadi walau sesungguhnya tidak terlalu akrab dan kenal baik, kita dapat dengan mudah menyebut seseorang sebagai “teman”. Padahal ini agak merugikan juga.

Bayangkan saja kalau seorang kenalan yang tak terlalu kita kenal baik mendadak melakukan perbuatan tercela. Akibat dari salah presepsi, orang akan berkomentar, “temen lu tuh, udah jadi maling,”. Wuih, temen apaan? Padahal jalan bareng aja ngga pernah. Cuma tau nama dan ngobol basa-basi aja.

Rekan kerja begitu juga. Jika mendadak si rekan ini ketahuan korupsi, orang dapat saja berkomentar, “Ooo dia ya temennya koruptor itu?”. Weks, padahal cuma kebetulan satu kantor saja, tahu-tahu dapat cap “teman koruptor”. Alangkah ruginya?
Tapi begitu seorang kenalan jauh atau rekan kerja berprestasi misalnya menjadi Indonesian Idol atau peraih Nobel, mendadak saja kita jadi ikutan bangga. “Saya temennya lho dia sekantor sama saya,” itu pengumuman kita ke banyak orang.

Hahaha. Itulah manusia. Barangkali tidak semua. Tapi yang jelas saya sendiri mulai berhati-hati dalam menggunakan terminologi “teman”. Bukan apa-apa, sebab kadang orang yang kita anggap teman, belum tentu memperlakukan kita sebagai teman. Jadi saya mengkategorikan orang yang saya kenal menjadi beberapa strata.

-Kenalan
-Kenalan di Internet
-Rekan kerja
-Rekan bisnis
-Klien
-Teman di Internet
-Teman di dunia nyata
-Teman gaul
-Teman baik
-Sahabat

Definisinya jelas beda-beda. Tapi tidak menutup kemungkinan seorang kenalan dapat naik pangkat jadi teman. Atau rekan kerja juga sekaligus teman baik. Atau rekan bisnis merangkap juga jadi teman gaul atau sahabat. Hanya kategori itu memang perlu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tak mengenakan. Jadi kalau ada seseorang yang melukai hati saya, saya tinggal mengurut dada, “Ah, dia kan hanya rekan bisnis, tak lebih. Jadi wajar kalau dia begitu,”. Atau kita dengan mudah mengganti status seseorang, “Hmm kalau teman baik, dia tak mungkin jahat begitu. Bagusnya dia saya anggap rekan kerja saja.”
Nah, silahkan berpikir, masuk kategori yang manakah anda? Hehehe.