"Single parent? Wah, berat sekali ya?"
Kalimat itu banyak dilontarkan lawan bicara saya begitu tahu kondisi saya yang sesungguhnya. Dengan berbagai variasi pastinya. Saya jadi merasa aneh, hmm berat ya jadi single parent alias orang tua tunggal? Lantas saya mencoba menganalisa.
Ya, awalnya memang berat. Semua beban ditanggung sendirian. Pekerjaan yang overload setiap hari tanpa henti. Deadline tulisan, jumpa pers, meeting, tagihan listrik, pembantu sakit, undangan teman menikah, rapat redaksi, baju seragam anak kesempitan, beras habis, genteng bocor, keran air mampet, komputer rusak, laptop kena virus, undangan liputan ke luar kota, anak berantem di sekolah, bos bawel, klien agak rewel, tagihan SPP, ada tikus mati di kolong ranjang, dan seterusnya, dan seterusnya.
Awalnya saya serasa gila, kepala mau pecah, ingin menangis setiap detik mengingat betapa tuntutan tanggungjawab itu tak pernah henti datang silih berganti. Belum jika ada musibah tak terduga seperti Si Kecil kena sakit parah, harus opname, sementara pekerjaan tak mau tahu harus tetap berjalan, biaya yang tak terkira banyaknya, sedangkan asuransi kantor tak mau menanggung pengobatan Si Kecil. Air mata saya sudah kering.
Dan semua bisa saya atasi dengan lancar. Teman-teman saya adalah harta tak ternilai.
Kini pun saya masih dalam kondisi kesibukan gila luar biasa. Merenovasi rumah yang baru dibeli. Asisten rumah tangga melahirkan. Pekerjaan sehari-hari otomatis tertanggung oleh saya. Untung ada Mas Ojek baik hati yang mengantar jemput Si Kecil ke sekolah. Untung keluarga asisten saya tak jauh dari rumah. Untung saya masih punya energi berlebih untuk mencuci baju di malam hari sepulang kerja. Untung ada Internet yang membantu saya bekerja. Untung ada blog yng bisa jadi media curhat saya. Untung ada Yahoo Messenger yang bikin saya bisa tetap waras dengan terkoneksi ke teman-teman dekat saya. Untung ada ponsel yang bisa membuat saya merasa dekat dengan orang-orang terkasih. Untung Tuhan masih memberi saya fisik dan mental yang sehat.
Beratkah menjadi orang tua tunggal? Ya memang, tapi berkat semua itu saya menjadi sangat terbiasa dan mampu melaluinya sambil tetap tersenyum. Semua perempuan pun bisa melakukannya. Yakin itu!
Kalimat itu banyak dilontarkan lawan bicara saya begitu tahu kondisi saya yang sesungguhnya. Dengan berbagai variasi pastinya. Saya jadi merasa aneh, hmm berat ya jadi single parent alias orang tua tunggal? Lantas saya mencoba menganalisa.
Ya, awalnya memang berat. Semua beban ditanggung sendirian. Pekerjaan yang overload setiap hari tanpa henti. Deadline tulisan, jumpa pers, meeting, tagihan listrik, pembantu sakit, undangan teman menikah, rapat redaksi, baju seragam anak kesempitan, beras habis, genteng bocor, keran air mampet, komputer rusak, laptop kena virus, undangan liputan ke luar kota, anak berantem di sekolah, bos bawel, klien agak rewel, tagihan SPP, ada tikus mati di kolong ranjang, dan seterusnya, dan seterusnya.
Awalnya saya serasa gila, kepala mau pecah, ingin menangis setiap detik mengingat betapa tuntutan tanggungjawab itu tak pernah henti datang silih berganti. Belum jika ada musibah tak terduga seperti Si Kecil kena sakit parah, harus opname, sementara pekerjaan tak mau tahu harus tetap berjalan, biaya yang tak terkira banyaknya, sedangkan asuransi kantor tak mau menanggung pengobatan Si Kecil. Air mata saya sudah kering.
Dan semua bisa saya atasi dengan lancar. Teman-teman saya adalah harta tak ternilai.
Kini pun saya masih dalam kondisi kesibukan gila luar biasa. Merenovasi rumah yang baru dibeli. Asisten rumah tangga melahirkan. Pekerjaan sehari-hari otomatis tertanggung oleh saya. Untung ada Mas Ojek baik hati yang mengantar jemput Si Kecil ke sekolah. Untung keluarga asisten saya tak jauh dari rumah. Untung saya masih punya energi berlebih untuk mencuci baju di malam hari sepulang kerja. Untung ada Internet yang membantu saya bekerja. Untung ada blog yng bisa jadi media curhat saya. Untung ada Yahoo Messenger yang bikin saya bisa tetap waras dengan terkoneksi ke teman-teman dekat saya. Untung ada ponsel yang bisa membuat saya merasa dekat dengan orang-orang terkasih. Untung Tuhan masih memberi saya fisik dan mental yang sehat.
Beratkah menjadi orang tua tunggal? Ya memang, tapi berkat semua itu saya menjadi sangat terbiasa dan mampu melaluinya sambil tetap tersenyum. Semua perempuan pun bisa melakukannya. Yakin itu!