Thursday, December 15, 2005

Sepotong Kisah Sobat Perempuanku


Masih ingat betul bagaimana nada suaranya begitu panik dari seberang sana. Sobatku selama bertahun-tahun itu setengah berteriak dari ujung gagang teleponnya. "Alamatnya palsu, Mer. Dia ngasih alamat palsu. Ngga ada yang kenal nama dia di sini," begitu ia terisak. Padahal perempuan itu sudah menempuh jarak Jakarta-Bali dengan uang pas-pasan. Kondisi fisiknya pun lemah. Hamil 5 bulan.

Siapa gerangan yang dicarinya di Bali, pulau dimana ia tak punya kenalan seorang pun itu? Ayah dari bayi yang dikandungnya. Tak lama kemudian telepon tadi terputus. Pesanku terakhir saat itu adalah, "Buruan balik ke Jakarta!! Buruan!"

Beberapa hari kemudian aku bertemu dengannya di Jakarta dalam kondisi mengenaskan. Kurus, pucat, mata cekung kebanyakan menangis. Dia berkisah setelah meneleponku dirinya langsung jatuh pingsan. Beruntung ditolong penjaga wartel yang baik hati.

Hari ini, bayinya sudah berusia 2 tahun. Mengidap kelainan paru-paru. Temanku harus menanggung biaya pengobatannya seumur hidup. Dengan gaji pas-pasan. Tanpa suami yang mengirim uang sepeserpun. Bahkan menengok si bayi pun tidak.

Sobatku tadi hanya satu dari jutaan perempuan yang harus menanggung beban atas kebebalannya mempercayai cinta. Mempercayai lelaki. Kalau sudah begini, layakkah kita percaya cinta itu ada???