Sad but true. Sebuah eksperimen dilakukan. Anak-anak berkulit hitam dihadapkanp ada dua jenis boneka, hitam dan putih. Lantas ditanyakan: "Boneka mana yang menurut kamu cantik?"
Si anak usia 4 tahun menunjuk boneka putih. "Lalu boneka mana yang mirip denganmu?" Si anak menunjuk boneka hitam dengan ragu dan ekspresi sedih.
Semua anak yang terlibat dalam riset tersebut berpendapat bahwa boneka kulit putih itu cantik, boneka hitam itu jelek. Yang memilukan adalah anak-anak Balita itu sadar diri bahwa dirinya jelek dan harus menerima kenyataan pahit itu.
Yang menohok hati saya adalah, usia belia yang masih polos itupun sudah mampu membedakan mana cantik dan mana jelek hanya berdasarkan warna kulit. Usia yang begitu muda, baru mengenal dunia, tapi sudah bisa paham bahwa berkulit hitam adalah kutukan. Saya menangis menonton acara Oprah Show hari minggu kemarin itu. kenapa anak-anak yang begitu muda sudah menjadi rasis terhadap dirinya sendiri? Bagaiman jika sudah dewasa? Apakah mereka akan jadi Michael Jackson yang berusaha keras memutihkan kulitnya dan memancungkan hidungnya?
Saya barus sadar bahwa saya pun pernah menjadi korban rasis diri sendiri, dan sejumlah teman saya juga. Di saat SD, masih ingat betul bagaimana teman-teman saya menggesek-gesekkan ujung kerah baju seragam ke dagu mereka. Ada yang sampai luka dan berdarah. Tujuannya? Agar dagunya berbelah cantik. Buset. Untung saya ngga kena demam gila itu. Paling saya pernah berusaha keras memencet-mencet tulang hidung agar lebih mencuat mancung. Yang ada tulang hidung saya jadi sakit dan memerah. Lantas saat puber, saya dan beberapa teman dekat perempuan sempat mengutuki diri kenapa terlahir jadi orang Indonesia yang pesek, hitam, dan bermata biasa saja.
"Coba kita jadi orang bule, kan cantik. Rambut pirang menyala, kulit putih, hidup mancung, mata biru indah. Bete gue jadi orang Indonesia!"
Ditambah saat itu kalau tak salah dunia film dan sinetron sedang dilanda demam artis indo seperti Tamara Blezinsky, Sophia Lacuba, dan sejenisnya. Kalaupun ada wajah Indonesia asli, tetap dengan stereotip cantik yang berkiblat ke luar, yakni rambut panjang, hidung mancung, tubuh langsing.
Saya juga pernah mengutuki kenapa wajah saya sensitif, selalu berjerawat, dan bekas jerawatnya tak bisa hilang. Lantas rambut saya itu pernah jelek sekali, kucai, susah diatur. Saya sempat menyiksa diri dengan rol rambut, hair dryer, obat jerawat super keras, memenceti jerawat sampai berdarah, sudah mirip perilaku sado masokis saja. Intinya adalah, saya pernah membenci tubuh dan wajah saya sendiri sebab tidak dianugerahi wajah cantik, kulit mulus dan proporsi tubuh indah. Saya juga selalu cemburu pada teman-teman saya yang cantik dan memandang mereka dengan penuh kebencian seolah mereka punya salah besar telah dilahirkan sempurna.
Saya ingat juga pernah tak mau sekolah sebab rambut saya dipotong kependekan dan saya merasa diri saya adalah monster buruk rupa yang lebih baik mati saja daripada harus keluar rumah dengan rambut hancur lebur itu.
Dengan mengingat semua kegilaan di masa muda itu, saya baru sadar kenapa suntik botox laku keras, operasi plastik terus dikejar-kejar walau menghabiskan uang tak terkira.
Thanks God, kegilaan saya sudah berakhir. Hari ini saya sangat bersyukur dilahirkan sempurna sebagai perempuan sehat jasmani rohani, dengan organ tubuh yang bisa berfungsi baik. Terima kasih saya sudah dianugerasi senyum manis, wajah ekspresif, mata yang tak perlu memakai kaca mata atau lensa kontak, bibir yang tak butuh disuntik agar lebih sexy, kulit yang membalut daging dengan baik sehingga tidak kena infeksi, kaki yang kuat untuk mengejar bis kota, dan otak lumayan berisi sehinngga hidup saya bisa terus berjalan baik.
Saya memang bukan Barbie atau Miss Universe, tapi saya cinta pada tubuh dan wajah saya sendiri. Semoga semua perempuan di dunia juga merasa begitu. Amin!
Si anak usia 4 tahun menunjuk boneka putih. "Lalu boneka mana yang mirip denganmu?" Si anak menunjuk boneka hitam dengan ragu dan ekspresi sedih.
Semua anak yang terlibat dalam riset tersebut berpendapat bahwa boneka kulit putih itu cantik, boneka hitam itu jelek. Yang memilukan adalah anak-anak Balita itu sadar diri bahwa dirinya jelek dan harus menerima kenyataan pahit itu.
Yang menohok hati saya adalah, usia belia yang masih polos itupun sudah mampu membedakan mana cantik dan mana jelek hanya berdasarkan warna kulit. Usia yang begitu muda, baru mengenal dunia, tapi sudah bisa paham bahwa berkulit hitam adalah kutukan. Saya menangis menonton acara Oprah Show hari minggu kemarin itu. kenapa anak-anak yang begitu muda sudah menjadi rasis terhadap dirinya sendiri? Bagaiman jika sudah dewasa? Apakah mereka akan jadi Michael Jackson yang berusaha keras memutihkan kulitnya dan memancungkan hidungnya?
Saya barus sadar bahwa saya pun pernah menjadi korban rasis diri sendiri, dan sejumlah teman saya juga. Di saat SD, masih ingat betul bagaimana teman-teman saya menggesek-gesekkan ujung kerah baju seragam ke dagu mereka. Ada yang sampai luka dan berdarah. Tujuannya? Agar dagunya berbelah cantik. Buset. Untung saya ngga kena demam gila itu. Paling saya pernah berusaha keras memencet-mencet tulang hidung agar lebih mencuat mancung. Yang ada tulang hidung saya jadi sakit dan memerah. Lantas saat puber, saya dan beberapa teman dekat perempuan sempat mengutuki diri kenapa terlahir jadi orang Indonesia yang pesek, hitam, dan bermata biasa saja.
"Coba kita jadi orang bule, kan cantik. Rambut pirang menyala, kulit putih, hidup mancung, mata biru indah. Bete gue jadi orang Indonesia!"
Ditambah saat itu kalau tak salah dunia film dan sinetron sedang dilanda demam artis indo seperti Tamara Blezinsky, Sophia Lacuba, dan sejenisnya. Kalaupun ada wajah Indonesia asli, tetap dengan stereotip cantik yang berkiblat ke luar, yakni rambut panjang, hidung mancung, tubuh langsing.
Saya juga pernah mengutuki kenapa wajah saya sensitif, selalu berjerawat, dan bekas jerawatnya tak bisa hilang. Lantas rambut saya itu pernah jelek sekali, kucai, susah diatur. Saya sempat menyiksa diri dengan rol rambut, hair dryer, obat jerawat super keras, memenceti jerawat sampai berdarah, sudah mirip perilaku sado masokis saja. Intinya adalah, saya pernah membenci tubuh dan wajah saya sendiri sebab tidak dianugerahi wajah cantik, kulit mulus dan proporsi tubuh indah. Saya juga selalu cemburu pada teman-teman saya yang cantik dan memandang mereka dengan penuh kebencian seolah mereka punya salah besar telah dilahirkan sempurna.
Saya ingat juga pernah tak mau sekolah sebab rambut saya dipotong kependekan dan saya merasa diri saya adalah monster buruk rupa yang lebih baik mati saja daripada harus keluar rumah dengan rambut hancur lebur itu.
Dengan mengingat semua kegilaan di masa muda itu, saya baru sadar kenapa suntik botox laku keras, operasi plastik terus dikejar-kejar walau menghabiskan uang tak terkira.
Thanks God, kegilaan saya sudah berakhir. Hari ini saya sangat bersyukur dilahirkan sempurna sebagai perempuan sehat jasmani rohani, dengan organ tubuh yang bisa berfungsi baik. Terima kasih saya sudah dianugerasi senyum manis, wajah ekspresif, mata yang tak perlu memakai kaca mata atau lensa kontak, bibir yang tak butuh disuntik agar lebih sexy, kulit yang membalut daging dengan baik sehingga tidak kena infeksi, kaki yang kuat untuk mengejar bis kota, dan otak lumayan berisi sehinngga hidup saya bisa terus berjalan baik.
Saya memang bukan Barbie atau Miss Universe, tapi saya cinta pada tubuh dan wajah saya sendiri. Semoga semua perempuan di dunia juga merasa begitu. Amin!