Seorang teman memajang statusnya di Yahoo Messenger (YM), "My wife, my manager". Kutanya, "what's up?" Dia dengan bangga menjawab, "Istriku siapin semua keperluanku dalam rangka aku mau ke Ausiie. Pakaian, bekal makanan, semuanya deh, repot sekali dia, hehehe." Dengan tukas kujawab: "Istri apa babu tuh??". Dia diam, sepertinya tersinggung.
Tipikal egoistis suami. Mau serba dilayani, bangga kalau dilayani, tapi tidak sudi menerima fakta bahwa mereka memperlakukan istri seperti "babu". Bahkan babu alias pembantu rumah tangga masih lebih terhormat ketimbang istri, karena mereka tak perlu melayani kebutuhan seksual, masih digaji, bebas pacaran, dan masih punya jam kerja. Istri?? Jam 2 malam pun kalau suami ingin dilayani, harus pasrah. Menjijikan? Itulah faktanya. Bob Dylan pernah berujar dalam satu lirik lagunya: “Kita tidak bisa menjadi bijaksana dan jatuh cinta dalam waktu bersamaan.” Agaknya memang cocok sekali ujaran Paman Bob itu dengan keadaan para istri.
Dengan dalih cinta, kasih sayang, kadang perempuan rela diperlakukan sehina apapun oleh lelaki. Bahkan banyak kasus dimana istri dianiaya suami namun masih tetap terus ingin mempertahankan perkawinannya. Diselingkuhi ratusan kali, tetap berkeras mencintai suami. Dalihnya cinta atau "kasihan anak-anak". Sesederhana itukah? No way. Para istri terjajah sesungguhnya tidak mencintai suaminya. Mereka hanya terlanjur mengalami ketergantungan mental dan materi, tidak lebih. Kalau ada setitik saja keinginan untuk menjadi mendiri, indipenden, maka untuk keluardari lingkaran setan itu tidaklah teramat sulit.
Yang unik, di zaman dimana perempuan sudah bisa mencari nafkah sendiri, fanatisme terhadap pernikahan tiada habis-habisnya. Sinetron, film, novel, majalah, TV, koran, dan tentu manusia, selalu melukiskan bahwa pernikahan merupakan HAPPY ENDING. Kisah Cinderella dianggap mencapai klimaks kebahagiaan saat Cinderella menikah dengan sang pangeran. Hal serupa berlaku pada Snow White, Beauty and The Beast, Sleeping Beauty, Arok-Dedes, sampai sebagian besar sinetron cengeng di TV swasta kita.
Come on, guys...let’s see the all these facts! Dunia sudah kian padat dengan penduduk. Banyak anak kelaparan, tidak sekolah dan sebagainya. Angka kriminalitas juga kian melonjak. Belum lagi bencana yang tak ada habisnya. Akankah kita melahirkan manusia-manusia baru ke dunia yang tidak menyenangkan ini? Akankah kita tambah aneka kerumitan hidup itu dengan pernikahan yang hanya memperkaya konflik baru?
Saya tidak melarang orang untuk menikah. Sekadar menyadarkan bahwa menikah itu bukan suatu puncak kebahagian. Ada banyak kebahagiaan lain yang bisa direguk sebagai manusia. Berbagi dengan mereka yang kekurangan, membagi materi atau perhatian pada anak-anak yang tak diinginkan orangtuanya atau korban bencana. Itu jauh lebih membahagiakan daripada harus berkeras menjadi istri yang bernasib lebih buruk dari babu.
Thursday, September 08, 2005
Subscribe to:
Posts (Atom)