Monday, December 19, 2005
Are You an Undomestic Goddes?
Hari minggu kemarin seharian menghabiskan waktu di rumah. Jadi orang rumahan. Melalap habis satu buku, Undomestic Goddes karangan Sophie Kinsella. Kisahnya simpel tapi menohok. Samantha, seorang lawyer hebat dengan kesibukan luar biasa. Tak pernah sempat bersantai karena selalu memikirkan karir. Sejak kecil ditempa oleh ibunya untuk jadi wanita karir sukses. Tak bisa masak, mencuci, menyetrika apalagi menisik.
Mendadak saja karirnya hancur dan ia terperangkap menjadi pelayan sebuah keluarga kaya. Ternyata...abrakadabra, dengan kemauan keras, ia bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sama cemerlangnya dengan karirnya sebagai lawyer!
Selesai membaca buku itu, saya bertanya: apakah saya undomestic goddes? Bukan orang rumahan? Tak berbakat mengerjakan tuga-tugas rumah? Jawabannya adalah: tidak. Walau sejak kecil tak pernah diajari memasak, menjahit, mencuci piring, menyapu, menyetrika, faktanya saya tetap bisa melakukan semuanya dengan mulus. Minimal masakan itu dibilang lezat oleh anak saya seorang.
Saya yakin, hampir setiap orang punya kemampuan untuk melakukan tugas domestik. Sehebat apapun karirnya, sejarang apapun mereka menginjakkan kaki ke dapur. Lelaki atau perempuan. Sebab tugas domestik adalah pekerjaan alami setiap manusia. Apa yang dilakukan manusia saat lapar dan tidak ada makanan di rumah atau rumah makan yang buka? Membuat makanan sendiri.
Sayangnya, kaum lelaki banyak yang merasa gengsi atau harga dirinya terinjak jika harus melakukan tugas domestik. Jadi begitu sampai di rumah, mereka mengandalkan anggota keluarga lain yang berjenis kelamin perempuan untuk melakukannya. Memang tidak semua. Namun mayoritas. Apalagi lelaki Indonesia yang biasa menganut azaz patriarki. Merasa dirinya hebat karena bergender lelaki. Merasa sudah melindungi keluarga, mencari nafkah, jadi beranggapan dirinya bisa terhina oleh tugas domestik.
Kalau sudah begini, saya merasa amat sangat bangga menjadi perempuan. Bisa mencari nafkah sendiri, melindungi keluarga sendiri, tapi juga mampu melakukan semua tugas domestik dengan baik. Apalagi seorang single parent, menjadi ayah sekaligus ibu bagi anaknya. Menjadi bos sekaligus babu di rumahnya sendiri. Alangkah hebatnya perempuan!!!Go to hell laki-laki sok gangsi!!!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
14 comments:
apa yang bisa diajarkan dari blog ini buat anak perempuan saya bila ia membacanya nanti?
kebencian.......
ah.. nggak juga sih.. (kata gw ya)
soalnya lingkungan di sekitar gw jauh banget dari apa yang ditulis di blog ini. disini laki perempuan sama saja, yang bisa masak (dan "buah tangan"nya enak) ya masak. yang gak enak masakannya tau diri, bantuin motong-motong aja.. :P
mbak merry punya saran untuk saya yang baru aja menikah ? biar dihargai sama perempuan, bagaimana perasaan perempuan saat menghadapi lelaki ? Istri saya juga wanita karir (bukan karyawan) yang mampu melakukan tugas domestik, dan saat ini dia berusaha mencintai saya (sesuai janjinya dulu waktu saya lamar, karena dia tidak mau mencintai sebelum menikah)
lelaki atau perempuan semestinya saling mendukung. Maka kalo ketemu laki yg cuma mau dilayani, wah enaknya kita lempar piring aja kali ya palanya? Hehehe. Suruh masak ndiri. Sekali2 dikerjain aja cowok begituan...ya ngga?
Dan bagaimana dengan perempuan gengsi ?
unfair judgement...
nyengir sendiri baca yang satu ini :D
Tanpa bermaksud menyombongkan diri, gue lelaki yang mau bangun malam buat gantiin popok atau cebokin anak gue. Gue tanpa gengsi memandikan anak dan menyuapi mereka bila memang situasi menuntut untuk demikian. And sometimes, I will be cooking for my lovely wife and eating together with all happiness...
Rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Susah dan senang, adalah situasi yang harus anda bangun bersama.
Jika Merry ternyata mengalami kejadian yang berbeda..... emang go to hell dengan lelaki yg sok gengsi, sama seperti kita harus menyumpahi kenapa perempuan bisa memilih lelaki yang salah dalam hidupnya :D
@surya : karena jarang sekali ada lelaki seperti itu [yang mau membagi tanggung jawab rumah tangga bersama-sama]. Kalau dirunut ke belakang, sistem yang ada secara tidak langsung mendidik anak laki-laki untuk menjadi lebih superior ketimbang anak perempuan. Dan sayangnya, hal itu sangat pintar disembunyikan hingga saatnya tiba.
Gue setuju. Rasanya sistem patrilinial sudah merupakan budaya (khususnya di negara Asia, timur tengah dan afrika) yang sudah berlaku ratusan dan mungkin ribuan tahun. Padahal menurut gue, prinsip dasar suatu hubungan dua manusia, adalah kesetaraan yang produktif dan sinergis. Itu berlaku untuk jenis hubungan apapun, apakah pertemanan, kerja, rumah tangga, pacaran, dll.
Cuma situasinya kerap kali kontekstual, dimana kondisi-kondisi take & give itu bisa jadi berubah dari waktu ke waktu, dan perlu fleksibilitas supaya hubungan tetap harmonis.
Anyway, kembali ke point - menurut gue itu bukan semata-mata soal gengsi, tapi soal bagaimana kita menegosiasikan peran-peran yang menuntut kebersamaan, seperti misalkan mengasuh dan mendidik anak.
lama2 blog ini gak mutu...gak ada kerjaan kalau gak memojokkan kaum laki2..kalau pernah di kecewakan oleh laki2 jg jadi gini dong!!
lama2 blog ini gak mutu...gak ada kerjaan kalau gak memojokkan kaum laki2..kalau pernah di kecewakan oleh laki2 jg jadi gini dong!!
lama2 blog ini gak mutu...gak ada kerjaan kalau gak memojokkan kaum laki2..kalau pernah di kecewakan oleh laki2 jg jadi gini dong!!
Andai kalimat paling akhir tidak ada...
Salam,
Soen
akhir posting yang nggak asik.
Moga moga ndak nular ke anakmu.
Post a Comment