Thursday, September 22, 2005

No More Mr Top Guy

Sebut saja namanya Mr. Top. Sebab memang dia ngetop di komunitas profesinya. Sekali klik namanya di Google, maka akan banyak sekali hasil pencarian yang keluar. Dia memang bukan selebriti, tapi lumayan sukses di bidangnya hingga banyak penggemar.
Secara pribadi aku tak mengenalnya pasti. Bahkan kata seorang teman aku sempat tak mengacuhkannya saat ia menyapa di dunia maya. Walau kabarnya cukup top, aku sendiri baru tahu siapa dia setelah meng-add-nya dalam portal Friendster dan membaca biodata dalam situs pribadinya. Terlebih kian banyak teman yang ternyata kenal dia. Semuanya memberi referensi bagus. “Oh Si Mr.Top , ya aku kenal dia waktu di kota Anu dulu. Bagaimana kabarnya?” atau “Kamu enal Mr.Top? Wow, asik sekali. Dia itu hebat..dia itu bla bla bla…” Bahkan seorang teman berkomentar, “Kalau situs bagus macam punya dia sih sudah kuresensi sejak lama. Salam ya buat Mr.Top. Dimana kau ketemu dia?” Atau suara seperti , “Dia memang aktivis sejati, saya salut sama dia. Masih muda sudah sukses. Sangat hebat untuk ukuran seusianya.”
Singkatnya, ia adalah seorang lelaki yang nyaris tanpa cela. Idealis tapi sukses di bisnis, berhasil dalam bidang hobi yang ditekuni. Wajar saja kalau Mr. Top tak malu membeberkan biodatanya di situs pribadi yang banyak diakses orang.
Mau tak mau jatuh hati juga saya dengan sosok menarik itu. Perjumpaan langsung dengan Mr.Top hanya sekilas saja di tengah keramaian, sehingga kesan yang saya dapat, Mr. Top terlalu sibuk dengan dunianya. Entah apa kesannya tentang saya, mungkin sama sekali tak ada mengingat saya tak sehebat dirinya.
Hingga suatu ketika saya sedang ada acara ke kota Anu, tempatnya berdomisili. Sebelum berangkat saya memberitahunya kalau saya mau datang. Tanpa maksud minta dijamu atau apa lho, sekadar “apa salahnya menjumpai kenalan di suatu kota yang kebetulan kita singgahi?”. Di situlah saya bertemu Mr. Top. Kesan pertama begitu menggoda (mirip iklan parfum). Ramah, familiar, tidak banyak basa-basi. Sempat sedikit tergoda, mengkhayalkan betapa sempurnanya dia sebagai manusia. Sukses di karir, bisnis, dan entah apa lagi.
Begitu terpesonanya sampai saya tak melihat sedikit cela pada Mr.Top. Sampai tersipu malu ketika seorang teman menggodai kedekatan saya dengannya. Wow, saya jadi melambung ke langit ke tujuh. Saya dengan Mr. Top? Terlalu muluk memang, namun lumayan indah sebagai fantasi.
Semua berjalan indah sampai suatu ketika kenyataan menyadarkan saya. “Bumi kepada Merry….Bumi kepada Merry!” Begitu seolah ada yang berteriak di telinga, menyerukan agar kaki saya segera menjejak bumi. Setelah acara mabuk kepayang itu usai, fantasi itu tamat, baru segala keburukan Mr.Top bisa kasat mata. Baru saya sadar bahwa selama mengobrol dengan lelaki serba perfect itu, justru banyak sekali ketidaksempurnaannya. Saya jadi ingat betapa ia sering meng-under estimate-kan teman sendiri. Teman kami yang sebenarnya sudah ia kenal lama jauh sebelum kenal saya. Tanpa sungkan Mr. Top membuka semua keburukan teman tadi di depan telinga saya.
Baru saya sadari pula bahwa Mr. Top lebih banyak bicara tentang dirinya sendiri daripada lawan bicara. Ia sungguh tipe dominan dengan objek pembicaraan “aku-sentris” tanpa pernah menanyakan pendapat lawan ngobrol.
Apakah itu salah? Tidak sama sekali. Adalah hak tiap manusia untuk menetapkan hendak seperti apa dia.
Hanya, mendadak saja segala “kesempurnaan” si Mr.Top tadi pupus sudah. Seorang idola yang dipuja-puja ternyata tak luput dari kekurangan. Dan musnah sudah rasa kagum saya padanya. Ia hanya pantas dikagumi dalam hal karyanya, bukan kepribadian. Jadi para perempuan sekalian, jangan cepat jatuh hati pada lelaki yang menjadi idola. Sebab tak selamanya selebriti atau idola bisa dijadikan idola pribadi.

1 comment:

Anonymous said...

Sapa yak mr top guy ini??penasaran gue...