Thursday, October 20, 2005

Menikah, Demi Status



Sebuah SMS datang. “PAKABAR? ADA GOSIP APA? KAPAN SEBAR UNDANGAN?” Lalu saya balas, “UNDANGAN SUNAT APA UNDANGAN PESTA ULTAH?” Dibalas lagi dari seberang sana, “UNDANGAN MARRIED LAH. BELAGAK BEGO LU!”

Pertanyaan “kapan married”, “kapan sebar undangan”, selalu menghantui perempuan usia menjelang 30 ke atas. Seorang teman sedemikian stresnya setiap kali menghadapi Lebaran. Bukan karena tak punya uang, tapi sebab dia akan bingung menjawab pertanyaan sanak famili yang bertandang ke rumah. Pernyataannya ya itu tadi, “kapan nikah”. “Boro-boro nikah, pacar aja ngga ada. Mau nikah ama kuda apa,” dengus si teman.

Sedemikian frustasinya sampai-sampai si teman minta saya menjadi mak comblang agar cepat dapat suami. Ada sekitar empat lelaki sudah saya perkenalkan dengannya, semua tereliminasi dengan suksesnya. Belum lagi calon-calon yang dinominasikan para kerabat. Tak ada yang masuk hitungan. Padahal teman saya itu tergolong good looking. Wajah manis, kulit putih mulus, porsi badan ideal, rambut hitam kelam lebat alami. Tipe idaman lelaki pokoknya. Lantas saya bertanya, apa iya dia sudah sebegitu kebelet kawin? Apa beul dia sudah bosan berkarir dan ingin jadi ibu rumah tangga? Apa ia dia rela menjadi istri dan ibu dari lelaki yang belum tentu ia cintai dan menikahinya hanya karena tuntutan keluarga? Ia hanya diam kemudian menggeleng perlahan.

Teman itu mengaku cukup bahagia dengan statusnya saat ini, melajang dengan karir dan penghasilan lebih dari cukup. Ia bisa bebas ingin makan di restoran mana saja, pergi nonton dengan siapa saja, membeli pakaian jenis apapun itu tanpa kekangan lelaki. Kehidupan sebagai anak kost cukup memuaskan sebab ia bisa langsung tertidur pulas begitu pulang kerja tanpa harus pusing melayani orang lain. Ia juga merdeka melangkahkan kaki kemana hati suka. Hanya satu yang membuatnya risi, pertanyaan kerabat dan teman-teman yang berbunyi sejenis, “kapan married?”.

Teman tadi hanya satu di antara begitu banyak perempuan usia menjelang 30 yang dihantui rasa takut. Sungguh rasa takut dibuat-buat yang timbul dari pandangan publik sekitar. Pandangan usang yang menganggap usia kepala 3 sudah harus nikah, hamil dan punya anak. Jangan terkejut, walau kita sudah pernah punya presiden perempuan dan banyak menteri perempuan, tetap saja pandangan macam itu menjadi momok menakutkan bagi mayoritas perempuan.

Akhirnya saya datangi teman tadi. Dengan tegas saya katakana padanya, “Apa kamu mau menikah demi status lalu kemudian merasa menyesal seumur hidup karena ternyata kamu menikah dengan orang yang salah? Ibarat naik bus, lebih baik duduk seorang diri di bus daripada harus bersebelahan dengan orang yang tak tahu diri, bau keringat, memonopoli tempat duduk dan kentut seenaknya.”

7 comments:

Anonymous said...

ah, ini pake belagak orang lain. Bilang aja kalo elo sendiri yang ngejalaninnya mer :p

amusing candygirl said...

Eh setuju banget !!
Memang rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau dari rumput halaman sendiri. Yang single pengen banget married. Yang dah married malah sibuk cari alasan supaya bisa tampil single he.he..
Yang lucu itu kalo single pengen married tapi ngga mau turunin status. Yah, mo cari cowo dengan fisik standar waktu SMA n kantong gaji lebih besar dari gaji sendiri mah ke laut aja. Kalaupun maksa ya optionnya jadi istri muda dengan risiko dikejar2 or dihajar istri tua he.he.
Kalau emang duit ada, fisik ada.. ya berbesar hati lah terima stok yang ada di pasaran. Mungkin si lelaki kerjaannya Cuma pegawai biasa, ngga mampu nyediain rumah, ya pake rumah elu. Siapa tau dia berbakat jadi bapak rumah tangga ya terimalah apa adanya toh duit elu dah banyak cukup buat membiayai hidup keluarga .. ya kan.. paling risikonya kalo si bapak ngga cocok di rumah aja eh main mata ama pembokat / istri tetangga he.he..
Jadi mumpung masih single, mumpung punya pendidikan tinggi, mumpung punya pekerjaan bagus (sayang kalo dilepas demi permintaan calon pacar/suami yang belum jelas).. semua opsi pemilihan calon harus dipertimbangkan baik2 .. n juga jangan sampe ketipu deeh… kasian banget…

cuma jangan pake viewpoint cewe aja dong.. mungkin cowo2 juga banyak yg belum nikah juga karena takut dijajah ama istrinya he.he. karena dah pada jadi boss di kantor.. takut jadi boss juga di rumah he.he

Anonymous said...

Setuju Mer. Enakan melajang, ngapain maksa menikah kalo cuma untuk tersiksa. Toh punya kerjaan sendiri, ga nyusahin orang, ga repotin orang... Bebbbasssss euy! Biarin aja orang2 pada komentar,toh akhirnya aku sering dapat komentar, "enak ya masih lajang" ???!!???! dari mereka yg udah pada menikah... dan tau umurku udah diatas 30.

Caya said...

Jadi ingat Lagu di Ally Mcbeal.... I know him by heart yg syairnya 'if I compromise I'll be living lies'...cuma lihat aja nasib Ally sampai the last season.....end up alone!

Anonymous said...

hahahahahaa....

gila, gue setuju banget ama merry...^_^

Anonymous said...

When commenting on blogs, news, or articles, I normally write in English. However, since this article concerns Indonesians --Indonesian women in particular, I decide to take the liberty to write in Bahasa instead.


Alright, here it goes:

Berdasarkan pengamatan saya, menikah karena cinta merupakan "budaya" dari generasi terdahulu; orang-orang yang hidup di masa lampau. Orang tua saya, misalnya, menikah di usia tiga puluhan; mereka tidak pernah merasakan adanya "tekanan" atau "paksaan" untuk menikah. Ibu saya adalah seorang pengajar yang senang menekuni pekerjaannya di bidang keilmuan, sedangkan ayah saya senang memanfaatkan waktu senggangnya untuk mendaki gunung, menembus rimba, atau menyelam. Mereka masing-masing berbahagia dengan hidupnya sebagai lajang, dan tidak merasakan adanya tekanan untuk menikah.

Dan saat mereka kebetulan bertemu, mereka betul-betul saling jatuh cinta satu sama lain, dan lalu menikah. Walaupun kadang bertengkar, tapi terlihat bahwa mereka memang menikah karena cinta. Sebagai contoh, walaupun mereka berdua sama-sama berkarir dan berinteraksi dengan bermacam lingkungan, tidak ada satu pun dari mereka yang pernah berselingkuh.

Itulah contoh pernikahan yang memang disebabkan oleh cinta, dan bukan karena social pressure, target usia, atau sebab-sebab lainnya.


Bagaimana dengan generasi sekarang?

Ada dua hal yang saya amati dari generasi saat ini (yang merupakan generasi saya juga). PERTAMA, saat ini banyak sekali orang Indonesia, terutama wanita, yang menikah karena "target". Saya sendiri tidak tahu apakah hal itu disebabkan oleh "social pressure", budaya lokal, atau hal-hal lainnya. Tetapi yang jelas, banyak sekali orang Indonesia yang berpikiran bahwa hidup ini hanyalah sekolah, kerja, dan lalu kawin --seolah-olah hidup ini hanya seperti itu saja.

Apakah ini budaya lokal orang Indonesia? Saya rasa tidak, karena orangtua saya sendiri (seperti yang saya ceritakan di atas) adalah orang Indonesia juga. Yang saya heran, kenapa budaya generasi terdahulu itu bisa lebih "liberal" daripada budaya generasi sekarang? Orangtua saya menikah pada umur tigapuluhan, dan mereka tidak punya masalah dengan hal itu. Sementara, pada masa-masa sekarang ini, seseorang yang sudah mencapai usia mapan tapi masih belum menikah akan menjadi bulan-bulanan oleh lingkungannya.

Mungkin Anda tidak akan percaya bahwa "social pressure" semacam itu masih sering terjadi di Jakarta yang (katanya) sudah menganut prinsip multikultural ini. Tadinya saya pun selalu menganggap bahwa "tekanan" semacam itu hanya mungkin terjadi di lingkungan-lingkungan yang masih undereducated dan traditional, tapi setelah mengalami sendiri, saya pun jadi percaya.


KEDUA, sekarang ini banyak sekali terjadi kasus perselingkuhan --terutama di tempat kerja. Saat ini, sepertinya berpacaran dengan wanita yang sudah bersuami sudah merupakan hal yang biasa saja --bahkan saya sendiri pernah beberapa kali melakukannya.

Saya tidak tahu bagaimana pengalaman orang lain, tapi dari pengalaman saya sendiri, alasan dari wanita-wanita itu untuk berselingkuh adalah karena mereka tidak memiliki "rasa" dengan suaminya; sebagian dari mereka bahkan ada yang pernah mengaku dengan sangat blatant, "ah, dari dulu alasan saya menikahinya memang bukan karena cinta kok."

Memang ada juga kasus dimana ada salah satu dari mereka yang benar-benar cinta kepada suaminya, hanya saja rumah tangga mereka memang sedang dalam masalah (dalam hal itu saya hanya sekedar menjadi pelarian), tapi sebagian besar memang menikah bukan karena cinta.

Saat sedang antri di bandara, saya pernah tidak sengaja mendengar percakapan dari beberapa orang gadis Indonesia yang sedang antri di depan saya. Sepertinya mereka adalah pelajar universitas (univesity students), dan berasal dari latar belakang yang cukup berpendidikan. Gadis-gadis muda ini tentunya memiliki potensi untuk menjadi wanita-wanita mandiri; mereka memiliki pendidikan yang baik, mereka dapat memperoleh pekerjaan yang baik, dan tentunya mereka tidak membutuhkan laki-laki untuk menghidupi mereka.

Betapa kagetnya saya saat mendengar salah seorang dari gadis-gadis itu berkata, "ah, gua sih sudah ada yang melamar; sudah ada laki-laki yang mau menghidupi gua. Gua sih sudah enak bo..."

Jadinya saya tertarik untuk terus mendengarkan. Ternnyata tidak ada satu pun dari gadis-gadis itu yang memiliki MINAT untuk mandiri, walaupun dengan pendidikan yang mereka miliki, mereka sebetulnya mampu untuk mandiri.

Mereka semua menginginkan satu hal yang sama, yaitu MENIKAH. Dan motivasinya pun bukan karena cinta, tapi "supaya ada yang menghidupi". Oh, mereka ingin tetap bekerja, tapi gaji yang mereka peroleh adalah betul-betul hanya untuk bersenang-senang, sedangkan untuk kebutuhan pokok, mereka mengharapkan ada seorang laki-laki yang menyediakannya.

Hmmm... Jadi benar juga, sepertinya menikah karena cinta adalah budaya generasi terdahulu.


Saya jadi ingat gerakan feminisme di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pada tahun 60 --an, yang disebut sebagai "wanita feminist" adalah betul-betul wanita mandiri yang menolak untuk menikah; mereka adalah orang-orang yang patut dikagumi, yang merasa mampu untuk mandiri, dan memang berjuang untuk hidup mandiri.

Dan pada masa itu, kalau ada wanita feminist yang menikah, maka alasannya adalah memang karena cinta. Ibu saya adalah contohnya.

Sedangkan, pada masa sekarang ini, sepertinya wanita-wanita feminists adalah perempuan yang ingin menikah untuk memperoleh kenyamanan hidup. Bahkan lebih parah lagi, di Amerika Serikat, ada budaya yang disebut sebagai "DIVORCE FOR PROFIT", yaitu sengaja memancing perceraian supaya memperoleh tunjangan hidup dari mantan suaminya. Hal ini disebabkan karena Undang-Undang Perceraian yang tidak adil, yaitu mewajibkan mantan suami untuk terus menghidupi mantan istrinya --tidak peduli siapa yang bersalah dalam perceraian itu.

Maka tidak heran kalau kaum feminist jaman sekarang berbeda dengan feminist jaman dahulu. Feminist generas sekarang adalah wanita-wanita yang senang memaki-maki kaum laki-laki yang tidak mau menikah. Laki-laki yang memutuskan untuk tetap bujangan akan menjadi "bulan-bulanan" dari kaum feminist tersebut. Lingkungan pekerjaan hanyalah salah satu contoh dimana laki-laki bujangan akan terus dibuat "merasa bersalah" oleh kaum wanita di sekitarnya.


Kalau melihat pengalaman saya saat mengantri di bandara tersebut, sepertinya wanita-wanita Indonesia sudah tertular oleh "budaya wanita Amerika".

Sayangnya, beban laki-laki Indonesia lebih berat daripada laki-laki Amerika. Di Amerika, "tekanan lingkungan" (social pressure) untuk menikah jauh lebih ringan daripada di Indonesia. Sementara di Indonesia, "budaya timur" dan "faktor agama" merupakan alasan-alasan yang sering digunakan untuk memberikan "tekanan" kepada laki-laki supaya mau menikah.

Walaupun saya termasuk orang kulit berwarna, tapi saya sendiri tidak menganut "budaya timur", dan saya sendiri tidak peduli kepada "tekanan lingkungan" yang menyuruh saya untuk menikah. Saya sudah terbiasa dengan wanita-wanita di sekeliling saya yang terus-menerus "mencela" saya, karena saya adalah laki-laki yang berprinsip tidak mau menikah.

Tapi saya merasa kasihan kepada sesama laki-laki Indonesia lainnya. Banyak dari mereka yang merasa bahwa hanya karena mereka termasuk golongan kulit berwarna, maka mereka menjadi wajib untuk "patuh" kepada "budaya timur". Salah satu akibatnya adalah mereka jadi merasa wajib untuk menyerah kepada tekanan lingkungan yang "memaksa" mereka untuk menikah.

Dan akhirnya, banyak dari mereka yang mengalami sakit hati saat mengetahui bahwa istri mereka sebetulnya tidak mencintai mereka --bahwa alasan dari istri mereka untuk menikah adalah BUKAN karena cinta.

Mungkin memang benar, bahwa menikah karena cinta merupakan budaya dari generasi jaman dahulu.

Bagaimanapun juga, alangkah sayang mengetahui bahwa masih banyak laki-laki Indonesia yang cukup bodoh untuk menikah.

Apakah alasannya karena seks? Padahal seks bisa diperoleh dengan mudah tanpa harus menikah. Apakah alasannya untuk mencapai kebahagiaan? Padahal kebahagiaan yang diperoleh dari kebebasan dan kemerdekaan hidup melajang adalah jauh lebih besar.

Apakah alasannya karena cinta? Nah, kalau memang demikian, maka waspadailah calon istri Anda, karena belum tentu dia juga mencintai Anda. Bersiaplah untuk sakit hati seandainya istri Anda nanti berselingkuh dengan laki-laki lain. Ingatlah bahwa wanita yang menikah karena cinta adalah wanita-wanita dari generasi jaman dahulu, bukan dari jaman ini. Lagipula, wanita-wanita yang jujur hanya ada di negeri dongeng. Ever seen a honest woman? Me neither.

Laki-laki di Indonesia harus lebih berani untuk memiliki pendirian sendiri, harus berani untuk tidak tunduk kepada tekanan-tekanan sosial yang memaksa untuk menikah. UNITED WE STAND, DIVIDED WE FALL. SAY NO TO MARRIAGE!!

Anonymous said...

Some words of wisdom:

“Ever seen a honest woman? ME NEITHER.”

“A man needs marriage just as much as a fish needs a bicycle.”

“I think, therefore I’m single.”

“The only reason why feminists are against legalizing prostitution is because they’re afraid of competition.”

“A woman always needs two types of man: the nice and responsible guy she’s married to, and the lovable guy she’s having affair with.”

“Prostitutes don’t cheat; wives do.”

“Prostitutes are honest women; wives aren’t.”