Tuesday, February 14, 2006

Like Mother Like Daughter




“Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah puetra-puteri alam. Mereka seperti anak panah yang kaulepaskan dari busurnya.” –Kahlil Gibran--

Buku harian pertama saya ditulis pada saya duduk di kelas 5 SD, usia 11 tahun. Puteri manisku Libby, sudah punya diary sejak usia 8 tahun. Dalam tempo satu tahun, bukunya sudah berserakan tak keruan, penuh dengan tulisan tangan warna-warni curahan hati. Buku gambarnya nyaris 3 lusin, berisikan komik dan gambar yang berkisah tentang dirinya. Komputer kami di rumah sebagian besar justru didominasi oleh folder Libby. Semuanya adalah cerita karangannya sendiri. Juga opini mengenai acara televisi yang dia suka. Saya sudah harus punya komputer pribadi sendiri agaknya.

Tulisan pertama saya dipublikasikan di majalah Hai, waktu saya kelas 3 SMP, usia 15 tahun. Sebuah cerita bersambung. Libby, pada usianya yang ke-9 mau 10, sudah berkeras ingin mengirim tulisan ke Bobo. “Harus belajar menulis yang bagus dulu, sesuai aturan guru bahasa. Lalu bikin cerita yang menarik,” tegas saya kepada Libby setiap kali ia merengek minta karyanya dikirim ke Bobo.

Buku bacaan pertama saya waktu SD adalah Lima Sekawan-nya Enid Blyton. Libby kini sudah tergila-gila pada karya Morris Gleitzman, yang bahkan saya pun belum sempat tahu. Ia juga melahap majalah Rolling Stones, chiklit koleksi saya, menonton semua kartun Nickoledeon, hapal lagu Peter Pan, suka semua acara MTV kecuali MTV Dangdut. Libby tahu bahwa Green Day lagunya bagus dan berisi protes. Mengidolakan Black Eye Peas. Menurutnya mamanya secantik Madonna (ehem!). Ia sangat ingin seperti Alicia Keys yang cantik dan pandai main piano serta menulis lagu.

Di akhir pekan, tidak ada hiburan yang paling mengasyikan kecuali ke toko buku, cari makanan enak, sesekali nonton film bagus. Kalau sedang bokek kami cukup puas terpaku di depan TV untuk meraup semua video klip MTV atau O Channel. Bosan dengan itu semua, kami akan bergantian memakai komputer untuk mengetik. Tak tik tak tik. Mengetikkan apa saja yang ada di kepala kami. Saya melanjutkan proyek buku, Libby sendiri dengan obsesinya sendiri. Entah apa.

Saya tidak pernah mengajarkan Libby untuk menulis atau menggambar atau mendengar musik. Saya tak pernah mendiktenya bahwa membaca itu bagus, menonton film itu mengasyikan. Tidak pernah. Si Kecil Manisku itu mengalir begitu saja. Mungkin ia melihat selama ini mamanya sangat bahagia berkutat dengan komputer, buku, musik dan film. Maka jadilah ia ikut menekuni bidang-bidang itu.


“Libby mau jadi pelukis yang jago main basket dan nulis buku,” itu selalu jawabnya tiap kali kutanya apa cita-citanya. Sungguh jawaban berbeda dari kebanyakan anak-anak lain yang akan menjawab ingin jadi dokter, insinyur, guru, pengusaha atau presiden. Libby kecilku tidak ingin jadi presiden, dokter, insnyur dan semua jabatan mentereng itu. Cukup jadi pelukis yang hobi basket dan bisa menulis buku. Sebuah cita-cita mulia yang sulit, nak. Tapi mama yakin kau bisa mendapatkannya. Sama seperti mamamu dulu yang memang bercita-cita ingin jadi jurnalis. Sebuah cita-cita yang dilecehkan orangtua dan saudara-saudaraku.

Kini, jurnalis yang dilecehkan keluarganya itu, masih bangga dengan profesinya. Dan ia tidak akan pernah melecehkan apapun cita-cita puterinya.

8 comments:

Anonymous said...

waktu kecil, cita cita gw jadi pengarang.

gedean dikit gw suka ngarang2 cerita.

karangan gw banyak banget, puisi n cerita... tapi hiks! gw orangnya ga apik... ga kekumpul n hilang begitu aja.

karangan pertama gw di muat di majalah dinding sekolah.

sekarang gw sulit banget utk nyisain waktu buat nulis semua yang di kepala gw, kecuali ngasih komen di blog elo... hiks.. thanks yah mer.. memancing semangat gw nulis lagi.

salam buat ur sweet libby...
she remind me when I was a little
cita-cita : pengarang
tp ga kesampean kecuali ngarang ngarang cerita, hiks!

:)
it's so nice to know person like you

Anonymous said...

Like Mother Like Daughter?
Kecian Libby kecil... bakalan jadi single parent yg dicerein laki-laki... ihiks.. ihiks..

Merry Magdalena said...

Hai anonymous, yg pasti seorang lelaki pengecut yg tak brani tampil. Bahkan menyebut namanya sendiri pun ngga brani. Apa anda banci?? impoten?
Inget yak, bukan laki gue yg nyerein gue, tapi gue yg ninggalin dia gitu aja. Sebab dia kayaknya sejenis sama elu. Pengecut, banci, impoten. Ngga layak deh manusia macam kalian hidup di muka bumi.
Libby juga akan kayak gue: ninggalin lelaki pengecut macam elu. Bahkan gue berdoa semoga dia jadi lesbian yg ngga perlu berhubungan dengan lelaki pengecut macam elu.
Hahaha!

Anonymous said...

jadi kaya gw donk mer...
the sweet lesbian :)

mau gabung di club gw mer?
say no to men
female only
peace club!

lesbian itu ngedepanin cinta bukan sex kaya laki laki!

kamu coba deh...!
hidup lesbian!

Anonymous said...

buat anonymous yang bilang jadi single parent itu menyedihkan....

hhhmmm kalo mikir pake otak laki laki yah itu adalah case menyedihkan... karena laki2 emang ga bakal mampu!

tapi kalo yang ngejalani wanita, maka itu adalah kenikmatan, case yang indah dan mudah!
sama sekali tak perlu dikasihani, malah perlu di kagumi dan membuat iri!!!

Myr said...

wish the best for the little angel libby. bukan dicere-in laki2, lesbian, or whatever you can name it. semoga dia bebas dari semua itu. she belongs on the future, the betterment.

Myr said...

the children belong to their own future, their own values. kita ngga akan pernah tau selain berharap yang terbaik aja.

Anonymous said...

ah.. gw gak ikut2an adu argumen ama kalian. otak gw blom nyampe!

gw cuma seneng aja baca tulisan ini, it reminds me the 'ol days when i was so young (4/5 yo, now i'm 19). apa yang gw lakukan mengikuti apa yang orang tua gw lakukan. dan kebanyakan dari nyokap yang kebetulan guru. tiap nyokap megang buku, gw ikut-ikutan.. dan akhirnya karena penasaran gw diajarin baca.. sweet memories.