Lelaki memberikan cinta untuk mendapatkan seks. Perempuan memberikan seks untuk mendapatkan cinta.
Ironis? Itulah fakta. Dalam "Perempuan di Titik Nol", Nawal El Saadawi beropini bahwa lebih baik menjadi pelacur yang menukar seks dengan uang daripada harus menjadi istri yang menukar seks dengan cinta yang belum tentu ada.
Menjadi pelacur, seorang perempuan bisa mendapatkan harta berlimpah, kemewahan, sekaligus perhatian dan sanjung puja dari "penggemarnya". Harta itu bisa ditabung, diinvestasikan, dipakai untuk merawat diri hingga masa tua. Harta itu bisa dimanfaatkan untuk membantu orang kesusahan, diamalkan. Tak peduli kata orang itu uang haram atau apalah.
Menjadi istri, maka seorang perempuan hanya akan mendapat sedikit perhatian dari seorang lelaki yang belum tentu setia, sekian banyak anak-anak yang berlahiran dari selangkangannya, menyusu di payudaranya. Itu kalau mujur. Jika sial, maka seorang istri akan ditinggalkan suaminya dengan anak-anak yang bergelayut di pundaknya untuk diberi makan seorang diri.
Membuat anda mengernyitkan dahi membaca tulisan ini? Itulah fakta. Perempuan yang menjadi istri atau kekasih yang bernasib sial di muka bumi ini tak terhitung banyaknya. Atas nama cinta, mengabdikan diri pada lelaki yang disayanginya. Memberi seks, kasih sayang, perhatian, bahkan juga harta. Apakah mereka mendapat bayaran setimpal? Belum tentu.
Tapi dengan menjadi pelacur maka seorang perempuan bisa mendapat imbalan selayaknya. Seks dan nafsu berbalut cinta ditukar dengan uang atau harta yang setimpal. Itu baru adil.
Saya tidak pernah menjustifikasi pelacuran. Tidak. Apapun itu di mata etika dan moral tetaplah salah. Namun apakah pernah terpikir bahwa secara etika dan moral: menyelingkuhi istri, menelantarkan istri dan anak, meninabobokan perempuan dengan rayuan cinta demi mendapat seks adalah perilaku wajar?
Tidakkah perilaku semacam itu hanya setimpal jika dibalas dengan transaksi seks dan cinta oleh para pelacur?
Sekarang mari kita bandingkan, mana yang lebih pantas dari sisi etika dan moral.
A. Seorang pelacur yang mencari nafkah demi keluarganya.
B. Lelaki hidung belang yang menikahi banyak perempuan demi nafsu syahwatnya lalu pergi berlenggang dari tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah.
Keduanya sama-sama dikutuk moral dan etika, juga agama. Tapi A mendapat kecaman jauh lebih banyak dari B. Mengapa? Sebab kita adalah bangsa munafik yang memandang pernikahan atau status suami lebih luhur dari seorang perempuan tak menikah. Menjijikan?Itulah faktanya!
Monday, October 31, 2005
Friday, October 21, 2005
Institusi itu Bernama HTS, HTI, TTM...
Kalau kamu 'click' dengan seseorang, katanya jangan lagi tunda sampai malam menjelang.
Saya rindu rumah untuk bersarang.
Bersama dia yang menyejukkan.
Apakah dia sadar bahwa saya merasa dia adalah 'mentari pagi-ku'?
Puisi itu dibuat seorang teman yang tengah kasmaran. Menantikan belahan jiwa alias soulmate. Betapa indah kata-katanya. Saya sendiri terhanyut di dalamnya. Cinta memang membuat siapa saja menjadi pujangga.
Teman itu sangat merindukan komitmen, sebuah barang langka di masa kini. Suatu hal yang membuat para lelaki berpikir sejuta kali dan sebagian perempuan seribu kali. Apa pasal?
Komitmen memang pernah mengalami masa jaya, yakni zaman dulu kala saat saya masih pakai seragam putih abu-abu. Tambah kesini, komitmen hanya sebuah bingkai emas yang menghiasi potret pernikahan atau pertunangan atau perpacaran yang penuh pengkhianatan.
Kisah tentang dekadensi komitmen terlalu banyak beredar. Saya dan sejumlah teman pernah mengalaminya. Cinta setengah mampus, komitmen sehidup semati. Apapun itu namanya. Semua berakhir pengkhianatan. Sangat menyakitkan. Dan semua berlindung di balik kedok komitmen.
Dulu, saya pikir hanya perempuan bodoh yang mau terlibat dengan Hubungan Tanpa Status (HTS) atau Hubungan Tanpa Ikatan (HTI) atau istilah terbarunya Teman Tapi Mesra (TTM). Tapi seiring waktu berlalu, saya pikir justru sebaliknya. HTS atau HTI or whatever you name it, selama masih dalam batas wajar akan lebih baik daripada komitmen. Ibarat kata seperti orang menjalani hubungan tanpa janji-janji manis. Jadi saat semua tak berhasil maka kecewa tidak terlalu dalam. Bayangkan kalau kita terikat dalam komitmen sehidup semati, sepiring berdua (huek) dan sejenisnya namun hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Bayangkan betapa sakitnya itu.
So...memang sebaiknya semua dibiarkan berjalan apa adanya. Mengalir seperti air. Tanpa komitmen. Tanpa sumpah setia. Saya tidak melarang orang berkomitmen. Kalau memang siap sedia menanggung risiko, silakan saja.
Saya pribadi lebih berprinsip, nikmati saja yang ada. Puisi teman tadi, "Kalau kamu click dengan seseorang,katanya jangan lagi tunda sampai malam menjelang." maka versi saya adalah "Kalau memang kita click dengan seseorang, biar saja semuanya berjalan. Dan kita lihat bagaimana hasilnya."
Thursday, October 20, 2005
Membeli Anjing
Masih seputar buruk rupa kaum lelaki, saya punya cerita lain. Ada seorang teman seniman yang tak bisa disebut tampan (untuk tidak menyebutnya jelek). Ditambah lagi kondisi fisiknya tak sempurna. Saya sama sekali tidak menghina kondisi fisik manusia, begitu saya tegaskan sekali lagi. Tapi ini sebuah fakta. Teman tadi selalu didampingi seorang perempuan cantik di setiap momen ia tampil di publik. Begitu mesranya. Saya pikir pastilah perempuan itu kekasihnya.
Suatu ketika si teman lelaki buruk rupa tadi jatuh sakit. Saya dan beberapa teman menjenguknya di rumah sakit. Agak terkejut, saya melihat seorang perempuan mendampinginya, merawatnya dengan setia. Perempuan itu bukanlah perempuan cantik yang biasa mendampinginya. Itu perempuan lain. Bertambah terkejut, ternyata perempuan yang ini adalah istrinya.
Pulangnya saya terus berpikir. Alangkah hebatnya lelaki itu. Walau wajah jelek dan fisik tak sempurna, masih sedemikian percaya diri untuk berselingkuh, mempermainkan perempuan. Tidak tanggung-tanggung, perempuan yang dipermainkannya adalah yang berwajah cantik dengan fisik sempurna.
Kisah lain adalah seorang perempuan yang mengetahui di belakang hari bahwa pacarnya yang tidak tampan telah berselingkuh dengan banyak perempuan. Sungguh mengagumkan mahluk bernama lelaki. Mereka punya rasa percaya diri begitu tinggi sehingga wajah buruknya tak berpengaruh pada rasa percaya diri untuk mempermainkan lawan jenis.
Kesimpulan yang bisa diambil dari serangkaian kisah ini adalah, lelaki dengan wajah tampan atau jelek sama-sama berpotensi mempermainkan perempuan.
Wajah buruk bukanlah jaminan mereka akan setia. Sebagai perempuan saya sarankan kepada sesama kaumku, dengan risiko dipermainkan, lebih baik kita memilih lelaki berwajah tampan ketimbang yang buruk rupa. Toh keduanya sama-sama berpotensi mempermainkan perempuan. Ini sama saja membeli anjing peliharaan. Kalau ada anjing yang bertampang buruk dan bertampang manis, sebaiknya kita pilih yang manis saja. Sebab keduanya tetap saja anjing, sama-sama berpotensi mengencingi perabotan kesayangan kita. Atau bahkan buang air besar di atas spring bed mahal kita.
Menikah, Demi Status
Sebuah SMS datang. “PAKABAR? ADA GOSIP APA? KAPAN SEBAR UNDANGAN?” Lalu saya balas, “UNDANGAN SUNAT APA UNDANGAN PESTA ULTAH?” Dibalas lagi dari seberang sana, “UNDANGAN MARRIED LAH. BELAGAK BEGO LU!”
Pertanyaan “kapan married”, “kapan sebar undangan”, selalu menghantui perempuan usia menjelang 30 ke atas. Seorang teman sedemikian stresnya setiap kali menghadapi Lebaran. Bukan karena tak punya uang, tapi sebab dia akan bingung menjawab pertanyaan sanak famili yang bertandang ke rumah. Pernyataannya ya itu tadi, “kapan nikah”. “Boro-boro nikah, pacar aja ngga ada. Mau nikah ama kuda apa,” dengus si teman.
Sedemikian frustasinya sampai-sampai si teman minta saya menjadi mak comblang agar cepat dapat suami. Ada sekitar empat lelaki sudah saya perkenalkan dengannya, semua tereliminasi dengan suksesnya. Belum lagi calon-calon yang dinominasikan para kerabat. Tak ada yang masuk hitungan. Padahal teman saya itu tergolong good looking. Wajah manis, kulit putih mulus, porsi badan ideal, rambut hitam kelam lebat alami. Tipe idaman lelaki pokoknya. Lantas saya bertanya, apa iya dia sudah sebegitu kebelet kawin? Apa beul dia sudah bosan berkarir dan ingin jadi ibu rumah tangga? Apa ia dia rela menjadi istri dan ibu dari lelaki yang belum tentu ia cintai dan menikahinya hanya karena tuntutan keluarga? Ia hanya diam kemudian menggeleng perlahan.
Teman itu mengaku cukup bahagia dengan statusnya saat ini, melajang dengan karir dan penghasilan lebih dari cukup. Ia bisa bebas ingin makan di restoran mana saja, pergi nonton dengan siapa saja, membeli pakaian jenis apapun itu tanpa kekangan lelaki. Kehidupan sebagai anak kost cukup memuaskan sebab ia bisa langsung tertidur pulas begitu pulang kerja tanpa harus pusing melayani orang lain. Ia juga merdeka melangkahkan kaki kemana hati suka. Hanya satu yang membuatnya risi, pertanyaan kerabat dan teman-teman yang berbunyi sejenis, “kapan married?”.
Teman tadi hanya satu di antara begitu banyak perempuan usia menjelang 30 yang dihantui rasa takut. Sungguh rasa takut dibuat-buat yang timbul dari pandangan publik sekitar. Pandangan usang yang menganggap usia kepala 3 sudah harus nikah, hamil dan punya anak. Jangan terkejut, walau kita sudah pernah punya presiden perempuan dan banyak menteri perempuan, tetap saja pandangan macam itu menjadi momok menakutkan bagi mayoritas perempuan.
Akhirnya saya datangi teman tadi. Dengan tegas saya katakana padanya, “Apa kamu mau menikah demi status lalu kemudian merasa menyesal seumur hidup karena ternyata kamu menikah dengan orang yang salah? Ibarat naik bus, lebih baik duduk seorang diri di bus daripada harus bersebelahan dengan orang yang tak tahu diri, bau keringat, memonopoli tempat duduk dan kentut seenaknya.”
Sesobek Notes Perempuan Belia
Sesobek notes itu saya temukan di lantai sebuah kampus. Masih bisa terbaca jelas walau sudah ada bekas injakan kaki. Ditulis denggan pulpen merah, huruf berantakan. Sepertinya ditulis dengan emosi membara. Beginilah bunyinya.
Dulu, saya selalu menyesal mengapa terlahir sebagai perempuan. Terlebih ketika mulai memasuki masa puber, saat dimana fisik kita bermetamorfosa menjadi perempuan dewasa. Padahal masa itu saya tengah berada pada kondisi dimana ingin menunjukan diri bahwa perempuan sama hebatnya dengan lelaki. Tapi tiba-tiba saja dihadapkan pada fakta menyedihkan:
Harus mengalami menstruasi yang disertai kram perut setiap bulan.
.Terpaksa mengenakan mini-set demi menutupi buah dada yang baru tumbuh.
Lebih sadar kalau tenaga kita tak ada apa-apanya dibanding teman lelaki.
Ditekankan bahwa kita berbeda dari lawan jenis dan harus berhati-hati bergaul dengan mereka.
Tumbuh perasaan grogi kalau berhadapan dengan mahluk bernama lelaki.
Mendadak muncul kondisi “moody” yang cengeng dan mengesalkan.
Perlahan bertambah tahu tentang kisah-kisah kekuranajaran kaum Adam terhadap kaum Hawa, seperti kasus perkosaan, pelecehan dan penganiayaan.
Mulai merasakan sendiri apa itu pelecehan seks, seperti diraba-raba dalam kereta yang penuh sesak, dicolek kondektur bis atau digodai, disiuli oleh preman pinggir jalan.
Timbul larangan-larangan orang tua antara lain tak boleh keluar malam bersama teman lelaki, tak boleh bercelana pendek ke luar rumah dan sebagainya.
Kerap dianggap rendah hanya karena kita perempuan. Dicap wajib mencuci piring, mengepel, mencuci baju, memasak, menyiapkan minuman untuk tamu. Sementara saudara laki-laki kita boleh enak-enakan duduk santai.
Yah, sepuluh hal di atas tadi membuat saya geram dan tidak terima karena dilahirkan sebagai mahluk perempuan, wanita, cewek, putri, kaum hawa, dan berbagai sebutan lain. Saya benci diri sendiri yang kenyataannya adalah perempuan, identik dengan ketidakberdayaan. Sudah bertenaga lebih lemah dari laki-laki, masih dikaruniai perasaan cengeng , mudah menangis.
Ditambah lagi aneka norma-norma yang hanya berlaku bagi perempuan. Tak boleh keluyuran malam, bisa dianggap murahan. Jangan merokok, sebab identik dengan perempuan nakal. Dilarang terlalu sering bergaul dengan teman lelaki, bisa dicap sebagai perek. Saya marah sekali dengan kondisi seperti itu dan mencoba melanggar semuanya. Saat itu semester satu di bangku kuliah. Dengan berpakaian ala lelaki, T-shirt dan jeans belel, sepatu kets dan rambut pendek, saya selalu berteman dengan laki-laki. Hampir bisa dikatakan semua teman baik saya adalah cowok. Semuanya berlatar tak lain dari keinginan dari lubuk hati yang paling dalam untuk membuktikan bahwa walaupun saya perempuan tetap mampu disamakan dengan lelaki.
Sesaat saya enjoy dan puas dengan keadaan tersebut. Tapi tak bertahan lama. Sebab tetap saja sekitar kami mencap saya adalah peempuan nakal yang dijadikan piala bergilir oleh teman laki-laki itu. Gila bukan? Padahal hubunganku dengan semua teman cowok tadi 100 persen dilatari persahabatan murni tanpa pamrih apapun. Saya betul-betul frustasi, marah, kesal namun tak bisa berbuat apapun. Akhirnya semua teman cowok tadi pergi satu-satu karena merasa tak enak hati menjadi penyebab kehancuran reputasi saya sebagai perempuan.
Lalu sejak itu saya mulai belajar menerima fakta bahwa perempuan haruslah bersahabat dengan perempuan. Kalau ada teman cowok istimewa maka dia harsu dijadikan pacar. Sungguh tidak enak hidup dalam norma macam itu. Tapi itulah kenyataan yang ada. Dan kita harus menerimanya. Terpenjara atau dicap sebagai cewek murahan. Oh my God! Kenapa saya harus dilahirkan ke planet macam ini?
Menjadi Perempuan: Kehormatan atau Kehinaan?
Dan mulailah saya membuat judul-judul penuh pertanyaan yang menjijikan. Tidak juga, sebab dunia ini sendiri sarat dengan pertanyaan. Kontroversi tiada habis. Ironi yang tak kunjung usai. Judul di atas sendiri merupakan kalimat Tanya yang hingga etik ini belum terjawab dengan pasti oleh masyarakat kita.
Menurut Nawal El Saadawi, kalau di Mesir seorang anak perempuan lahir, maka si bapak akan pergi tidur setelah memukuli istrinya dengan penyesalan. Sedang kalau anak lelaki yang lahir, si bapak akan tersenyum bahagia dan pergi tidur dengan tenang. Pramoedya Ananta Toer mengisahkan dalam Gadis Pantai, para suami ningrat Jawa tak sudi melihat anaknya yang baru lahir kalau si anak berkelamin perempuan. Bahkan sampai berhari-hari atau selamanya sang bapak ningrat tadi tidak akan menjenguk anaknya walau tetap memberi nafkah materi. Dua contoh di atas berasal dari budaya berbeda, bahkan jutaan mil jauhnya terpisah. Namun ada satu garis lurus yang bisa ditarik persamaannya, sejak lahir perempuan tak dihargai.
Beranjak besar, seorang perempuan di keluarga Indonesia umumnya lebih banyak punya beban dibanding lelaki. Harus membantu ibu di dapur. Menghidangkan minuman untuk tamu yang datang. Menyapu, mengepel, cuci baju, cuci piring, beres-beres rumah, semuanya dianggap pekerjaan layak bagi anak perempuan. Anak lelaki bisa bebas tugas dari itu semua. Boleh pergi main hingga larut malam, makan, tidur, tanpa dibebani kerja apapun. Itulah potret mayoritas keluarga di Indonesia.
Setelah dewasa, seorang perempuan dilegalkan menjadi istri kedua, ketiga dan keempat bahkan juga simpanan. Acara berita kriminil di televisi selalu menyiarkan berita penggrebekan terhadap Wanitas Tuna Susila (WTS), tapi tak pernah mengekspos kinerja para Pria Tuna Susila alias gigolo. Iklan di media massa lebih kerap menyorot kecantikan dan tubuh sexy para perempuan, tapi pemandangan lelaki tampan sangatlah langka dijadikan nilai jual komersil. Seorang lelaki yang pulang kerja larut malam akan dipuji sebagai pekerja keras yang hebat dan cinta keluarga. Sedangkan perempuan yang pulang kerja malam hari akan dicap sebagai penjaja seks, cewek murahan, tak tahu waktu dan sejenisnya.
Dari semua fakta di atas, saya jadi bertanya-tanya, apakah menjadi perempuan itu sedemikian hina? Tapi ironisnya, kalau ada ilmuwan perempuan yang meraih penghargaan seperti Inez Loedin dengan beras transgeniknya, maka seluruh media massa akan bertempik sorak. Memuji-muji bahwa perempuan tak kalah dengan lelaki. Presiden perempuan awalnya sangat dihargai karena keperempuanannya. Bahkan Miss World yang jelas mengandalkan kelebihan fisikpun dipuja-puja seantero jagat raya.
Akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan. Semua pujian dan sanjungan media massa terhadap prestasi perempuan hanya sekadar kecap dapur belaka. Mengapa seseorang harus disanjung berdasar prestasi plus jenis kelaminnya? Kenapa seorang Inez Loedin tidak dipuji sebagai ilmuwan penemu beras transgenik saja. Mengapa harus ada embel-embel “ilmuwan perempuan”? Opini saya adalah, sanjungan dengan mengikutkan predikat gender bagi perempuan justru merupakan penghinaan. Menjadi presiden bagi seorang lelaki dianggap wajar saja, tapi luar biasa ketika presiden itu berkelamin perempuan. Berarti di mata dunia, perempuan tetap mahluk lemah yang patut mendapat tepukan tangan kalau sedikit berprestasi. Hinaan itu adalah dengan memberi embel-embel predikat “presiden perempuan”, “ilmuwan perempuan”, “penulis perempuan” dan seterusnya.
Uniknya, kaum perempuan sendiri kerap kali tidak menghargai kaumnya sendiri. Mereka terbawa arus patriarkis yang menganggap perempuan selalu lemah dan rendah dibanding lelaki. Mereka adalah perempuan yang ikut menyalahkan sesama kaumnya ketika menjadi korban chauvinisme lelaki. Mereka bisa saja seorang ibu yang mencibir anak peempuannya yang hamil di luar nikah dengan mengatainya “perempuan murahan”. Atau seorang ibu yang berusaha sekuat tenaga memenuhi keinginan suaminya untuk memiliki anak lelaki.
Kembali ke judul di atas, sebuah kehinaan atau kehormatankah menjadi perempuan? Bagi seseorang yang sangat menghargai harkat manusia, saya dengan tegas menjawab, menjadi apapun kita adalah sebuah kehormatan. Bahkan kalau ingin meminjam rasa chauvinisme kaum lelaki, saya ingin tegaskan perempuan jauh lebih terhormat daripada lelaki.
Perlakuan budaya yang mengharuskan kaum perempuan menjaga keperawanannya sebelum menikah adalah bukti dari kehormatan itu sendiri. Lelaki boleh saja meniduri jutaan perempuan sebelum beristri. Tapi kaum ortodok menginginkan darah perawan di malam pertama. Bagi sebagian orang itu adalah pelecehan perempuan, tapi tidak bagi saya. Kita balik saja pandangannya. Bukankah itu berarti harga diri lelaki jauh lebih murah ketimbang perempuan? Lelaki dilegalkan mengobral seks pada siapa saja, tapi tidak perempuan. Tidakkah itu sebuah budaya penghormatan bagi perempuan?
Perempuan Perayu: Hebat atau Murahan?
Kalau lelaki pandai merayu, mereka dibilang hebat. Don Juan, Cassanova, playboy jempolan, pantas dipuja-puji. Kalau perempuan pandai merayu, maka ia adalah perek, pelacur, cewek matre, tak punya harga diri dan pantas dicibiri.
Itu fakta. Sama tuanya dengan fakta lelaki pengejar cinta itu Romeo sejati, gentleman, pujaan hati dan pangeran perkasa. Perempuan pengejar cinta adalah tak punya harga diri, murahan, bodoh dan menjijikan. Saya menggelengkan kepala terus menerus tak bisa berhenti.
Rasanya sudah basi kalau kita baca dalam sebuah rubrik konsultasi cinta remaja kalimat yang kurang lebih begini, “Kak, apa pantas perempuan menyatakan cinta lebih dulu?” Kenyataannya pertanyaan semacam itu terus menggema di seantero jagat percintaan Indonesia. Lalu biasanya akan dijawab, “Wah, sekarang sudah modern. Cewek sudah bisa menyatakan cinta,kok.” Namun teori tinggalah teori. Walau prakteknya mulai banyak perempuan yang berani menyatakan cinta, tetap saja berlaku hukum purba tadi bahwa perempuan perayu adalah pelacur.
Selamat datang di dunia laki-laki! Itulah kalimat yang pantas kita luncurkan kepada setiap remaja putri yang mulai mengenal cinta. Boleh saja ribuan atau jutaan perempuan meninjakkan kaki di bulan. Silakan saja perempuan menjadi jendral atau perdana menteri atau presiden.
Namun tetap saja untuk urusan cinta, lelaki yang pegang kuasa. Pepatah “kejarlah maka kau kan dapatkan” tak berlaku bagi Kaum Hawa. Sebab sekali kau mengejar lelaki yang kau cinta dan menyatakan cionta padanya, maka kau akan direndahkan sebagai perempuan tak punya harga diri. Perek. Pelacur. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika si lelaki memanfaatkan kesempatan dengan berbohong bilang cinta, lalu hanya butuh seks saja. Selamat datang di dunia penuh kemunafikan, wahai anak-anak Hawa!
Hati-hati, Sedang PMS
Hati-hati, Sedang PMS
“Kau ingin jadi apa?” Tanya ibu peri.
“Aku ingin jadi orang yang easy going,” jawabku.
“Apa itu easy going?” Ibu peri melongo.
“Hmm..apa ya? Itu lho, orang yang selalu menganggap mudah segala hal. Selalu menerima keadaan tanpa stress,” jawabku.
Ibu peri mendesah. “Andaikan aku bisa, Nak.”
Ia berlalu.
Bukannya ibu peri yang tak bisa, melainkan aku. Karakter manusia memang sulit diubah. Sekali kita terlahir maka ada bersama kita kromosom yang membawa sifat genetik. Itu semacam cetak biru yang sudah digariskan. Sulit diubah dengan cara apapun.
Berdasar tes kepribadian yang pernah kuikuti, aku tergolong manusia melankolis. Jenis manusia yang sering terbawa perasaan, moody. Barangkali tes itu betul mengingat situasi perasaanku mudah sekali berubah-ubah. Seperti ombak laut bergelombang. Kadang tenang, kadang bergejolak.
Aku membenci diriku sendiri. Diri yang sungguh cengeng, emosionil, sentimental. Menurut tes kepribadian Cosmopolitan, aku masuk kategori pribadi Ally Mc Beal. Perempuan yang di saat suka akan ceria sekali mengekspresikan perasaan senangnya. Tapi di kala duka akan sungguh tercermin di wajah. Oh God, kenapa aku tercipta seperti ini?
Berkirim SMS tak dibalas, maka aku akan marah, merasa dicampakan, sedih dan sebagainya. Terikat janji pada seseorang namun dikecewakan, maka aku akan tidak keruan seperti kucing tersiram air panas. Atasan sedikit cerewet membuatku merasa hidup seperti di neraka. Sampai terpikir untuk berhenti kerja. Menggilai seorang lelaki tampan sampai seperti sapi berahi. Dan masih banyak lagi ketololan lain sebagai mahluk manusia tanpa otak dan rasio.
Yang paling memprihatinkan adalah semuanya sangat memuncak ketika mendekat pada tanggal-tanggal tertentu. PMS! Tiga huruf yang sudah jauh lebih popular sebelum ada SMS dan MMS. Sayangnya tiga huruf tadi sudah mulai dilupa banyak orang, baik perempuan maupun lelaki. Jangankan lelaki, kaum yang mengalaminya sendiri pun sudah lupa apa itu PMS. Tapi herannya aku masih amat mengingatnya, baik kepanjangan maupun arti harfiahnya.
PMS itu singkatan dari Pre-Menstrual Syndrome. Sebuah keadaan yang dialami kaum perempuan pada awal, sedang atau setelah menstruasi. Dalam kondisi ini biasanya hormon dalam tubuh perempuan mengalami ketidakseimbangan. Paparan ilmiahnya saya tak bisa menjelaskan. Yang pasti sebagian besar perempuan yang mengalami PMS akan menjadi emosionil lebih dari normal, rasa nyeri di sekitar perut, buah dada membengkak. Tentu saja keadaan ini sangat tidak nyaman sehingga yang bersangkutan bisa terganggu produktivitasnya.
Tidak semua perempuan mengalami PMS. Ada yang tetap normal saja walau ada badai sekalipun. Itu di luar kebiasaan dan kami menyebutnya perempuan super. Tapi sepengetahuanku, sejak mengalami menstruasi pertamakali sampai hari ini, sebagian besar teman perempuanku selalu menderita akibat PMS.
Sedemikian ingat dan cintanya aku pada tiga huruf tadi, sampai-sampai menulisnya dalam statusku di Yahoo Messenger (YM). Maksudnya agar setiap orang yang chatting denganku bisa sedikit waspada. Bahkan kalau perlu aku ingin mencetak kaos bertulis, “Hati-hati, sedang PMS!” dan dalam bahasa Inggris juga, “Beware, PMS Woman!”. Bukan karena ingin menarik perhatian atau membanggakan ke-PMS-anku. Sekadar peringatan terhadap sekeliling bahwa aku sedang dalam emosi tak terkendali yang bisa meledak kapan saja. Maka itu jangan sesekali mencari gara-gara dengan perempuan yang sedang PMS.
Jangankan saat PMS, saat tidak PMS saja saya sudah tergolong sebagai perempuan emosionil. Bagaimana saat PMS? Oh, itu penderitaan luar biasa. Bukan saya ingin menggarisbawahi kelemahan kaum Hawa satu ini. Bukan. Hanya saya mengakui amat teramat tak menyenangkan menjadi mahluk emosionil dengan tubuh lemah dan setiap bulan harus menanggung derita PMS. Sama sekali tidak menyenangkan. Jadi sebagai laki-laki, harap sedikit lebih simpati atau empati pada kami yang mengalami PMS. Bukan malah menyiuli atau melirik nakal kalau bertemu di jalan.
*suatu malam sehabis PMS usai*
Kali Ini, Tentang Cinta Platonis
Sahabat itu bisa lelaki, bisa perempuan. Alangkah indahnya kalau persahabatan sejati bisa terjalin antara lelaki dan perempuan. Tanpa ada kisah kasih menyek-menyek. Tanpa ada kecemburuan. Tanpa ada nafsu seks. Apapun itu.
Itu yang kata orang namanya cinta platonis. Cinta antar teman. Beda dengan cinta kepada kekasih alias cinta eros yang penuh nafsu, kecemburuan dan otoritas. Cinta platonis jauh lebih suci ketimbang cinta eros.
Perempuan butuh sahabat lelaki. Agar bisa mem-balancing pola pandangnya yang terlalu emosionil. Di saat tertentu kita perlu teman bicara yang tak melulu didominasi perasaan. Saya pribadi kalau ada masalah kerap curhat dengan teman lelaki. Mereka bisa memberi masukan yang rasional, logis, ketimbang teman perempuan. Tentu saja kita tetap butuh teman curhat perempuan kalau dalam keadaan luar biasa rapuh, memerlukan teman “senasib seperjuangan”.
Sejak SMA sampai kuliah, teman dekat saya mayoritas adalah lelaki. Berteman dengan mereka seolah menyuntikkan kekuatan tersendiri. Mereka seperti menulari saya dengan semangat untuk survive yang luar biasa. Tapi seiring dengan beranjaknya waktu, akhirnya saya lebih dekat dengan teman perempuan. Bukan berarti saya tak punya sahabat lelaki. Selalu saja ada.
Sahabat lelaki adalah teman kita yang bikin kita tak sungkan berkeluhkesah. Mereka juga tak dikotori pikiran kotor penuh nafsu. Tak ada kecemburuan.
Sahabat adalah orang yang bisa kita ganggu kapan saja, dimana saja. Tidak membuat kita sungkan untuk menyatakan GUE KANGEN ELU atau GUE BENCI ELU. Tidak malas membalas SMS. Tidak sayang membuang pulsa demi menelepon. Tidak ada kata CAPEK untuk membantu saat kesusahan. Juga bebas dari rasa gengsi demi menolong teman.
What a lovely friendship we have!!!
Wednesday, October 19, 2005
Sinonim Kata Janda: KUNTILANAK
F: Status kita mengerikan ya Mer?
M: Banget!
M: Janda…punya anak lagi…orang dengernya sama kayak denger kata KUNTILANAK..hahaha!
Itu tadi adalah petikan chatting antara aku dan seorang teman yang sama-sama single parent. Entah kenapa aku lebih suka disebut sebagai single parent ketimbang janda. Mungkin karena kata “janda” identik dengan istilah “janda kembang”, “janda penggoda”, “janda genit”, “janda gatel” dan sederetan panjang makian buat predikat satu itu.
Anehnya, duda justru tidak pernah mendapat “makian” yang sama. Justru duda dianugerahi gelar-gelar hebat seperti “duda keren”, “duda kaya” dan banyak lagi.
Ada apa dengan janda??? (bisa jadi sekuel film Ada Apa dengan Cinta..wakakakakak!)
Mari kita bikin studi kasus kecil-kecilan.
Saya dan teman sesama janda dengan anak tadi punya pengalaman mirip. Kami sama-sama pernah mencoba membina hubungan dengan lawan jenis setelah bergelar janda. Hubungan itu ke arah serius. Dan kami sama-sama terpuruk. Alasannya hanya simple saja: orang tua cowok tidak setuju anaknya menikah dengan janda. Punya anak lagi. Secara harfiah katakana saja begini: tidak ada orang tua yang rela anaknya menikah dengan cewek yang notabene BARANG BEKAS. Apalagi barang bekas itu punya momongan yang pasti akan jadi beban bagi si cowok.
Aneh? Itulah fakta. Jika digeber, maka akan lahir fakta bahwa memang nyaris semua orang tua tidak akan rela kalau anak lelakinya menikah dengan janda. Ada semacam gengsi atau arogansi yang terganggu seolah anaknya tidak laku atau tidak sanggup dapat jodoh perawan ting-ting.
Beda dengan para duda. Tau kenapa ada istilah “duren” alias duda keren? Karena lelaki walau berstatus duda tetap dipandang bagus. Orang tua yang punya anak gadis akan rela saja kalau dilamar duda asal duda itu kaya da keren. Jadi masalah status kedudaan tidaklah sehancur status janda.
Itu kasus pertama.
Kasus berikut. Apabila seorang janda memiliki anak yang kebetulan tidak sukses, maka semua orang akan menyalahkan si ibu yang janda. Akan ada kata-kata “Pantes anaknya rusak, ibunya janda sih. Ngga becus ngurus anak. Keluyuran mulu!”
Sebaliknya kalau seorang duda punya anak yang salah asuh, maka komentar yang muncul adalah,”Wajar deh anaknya begitu, kan bapaknya repot cari duit. Yang salah ya ibunya, kenapa mau cerai.”
Stereotip semacam ini sudah mendarah daging. Susah dilawan. Tidak mungkin malah. So..what we could do as a god damned widow??
Lawanlah dengan perbuatan. Buktikan bahwa janda juga bisa mandiri, tidak hanya menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain. Mampu mengukir prestasi dengan otak dan bakatnya. Ingat, revolusi ini hanya bisa berjalan dari diri kita sendiri, bukan orang lain. Maka kalau ada yang bilang status janda itu menyeramkan seperti kuntilanak, benarkan saja dan ucapkan saja: YA, SAYA KUNTILANAK DAN AKAN KUCEKIK KAMU SAMPE MATI, SEBAB AKU MEMANG TIDAK BUTUH UANG DAN RASA KASIHANMU!!!
Monday, October 17, 2005
Dicari: Gay yang Baik Hati
Gay is the girl's best friend.
Kalimat itu sedikit bikin merinding. Tapi ada benarnya. Zaman SD dulu saya punya teman cowok yang feminim. SMP kan masih pakai celana pendek, maka Agus (nama samaran) -kalau duduk akan merapatkan pahanya karena malu. Perilaku yang sama persis dengan anak perempuan kalau pakai celana pendek. Benar, Agus adalah gay. Dan dia sangat akrab dengan perempuan. Denganku juga.
Di kampus, ada lagi teman gay yang tak usah disebut namanya. Koleksi bajunya 10 kali lipat lebih banyak dari saya. Ia selalu dikelilingi teman cewek sebab memang punya segudang advis kecantikan bagi kaum cewek. Saya tidak akrab dengannya tapi dia pernah membantu saya beberapa kali. Hal materi dan tempat curhat.
Di film lawas bertajuk The Next Best Thing yang dibintangi Madonna dan Rupert Everett berkisah tentang persahabatan perempuan dan seorang gay. Si perempuan hamil tanpa suami, sang sahabat yang gay rela menjadi anak angkat di bayi. Tapi ditentang oleh pengadilan karena gay dianggap tak layak menjadi ayah. Padahal faktanya si gay jauh lebih baik ketimbang sang lelaki yang sesungguhnya adalah ayah biologis si anak.
Sudah dua orang teman berasumsi bahwa sosok seseorang yang saya kenal di dunia maya ini, katakanlah Mr.X adalah gay. Mr X memang punya semua ciri gay: berpenampilan bersih,terawat,trendi,tampan dan sangat peduli dengan bentuk tubuhnya. Dia saya kenal setahun lalu di chatroom dan baru-baru ini bertemu langsung.
Mr.X tipe lelaki yang banyak bicara,perfeksionis, dan tentu saja belum mengakui dirinya adalah gay. Namun kalau memang benar dia gay, maka saya bersyukur. Sebab ingin sekali membuktikan kebenaran kalimat di atas tadi.
Friday, October 14, 2005
Dolores Minus Silikon
“Perempuan yang melakukan operasi silikon pembesaran payudara itu, apakah tidak berpikir tentang dampak buruknya?”
“Saya senang kami dikenal bukan karena perilaku kami, tapi karena musik kami.”
“Menjadi ibu adalah pengalaman paling berharga yang pernah saya alami.”
Kalimat-kalimat itu bukan keluar dari mulut seorang aktivis perempuan. Tapi dari seorang Dolores Mary O’Riordan, vokalis The Cranberries yang lebih kita kenal dengan suara khas dan melengkingnya. Walau Dolores tidak seheboh Britney Spears, Gwen Stevani dari No Doubt atau Madonna, saya jauh lebih mengidolakan dia ketimbang nama-nama tadi. Why?
Pertama, Dolores yang satu-satunya perempuan dalam Cranberries adalah penulis sebagian besar lirik lagu mereka. Dua, ia punya kepedulian pada kemanusiaan yang sangat langka di masa kini. Sebut saja lagu Zombie, satu bestseller-nya di masa lalu. Lagu yang mengangkat group asal Irlandia tersebut berkisah ihwal seorang ibu yang melindungi anaknya dari lindungan bom sampai nyawanya melayang. Jauh dari lagu menyek-menyek tentang cinta yang dilantunkan Britney Spears.
Lalu, Dolores pribadi juga bukan personal yang suka aneh-aneh melakukan hal nyeleneh yang membuat dirinya lebih dikenal gosip tak sedap daripada kualitas vokalnya. Dia tak perlu suntik silikon memompa payudaranya. Tak ada berita selingkuh dengan sesama selebriti. Tak ada kecanduan narkoba, alkhol, sejenisnya.
Lebih dari itu, semua personil Cranberries tergolong group musik yang nyaris tak pernah membuat kehebohan atau gosip hot. Tak ada usaha menarik perhatian penggemar dengan aneka kontroversi seperti yang dilakukan kebanyakan musisi.
Bagi saya, mendengar vokal Dolores ditingkahi deru gitar listrik adalah pengalaman tersendiri. Kita seperti terbawa ke alam Irlandia yang penuh konflik politik. Mengapa musisi kita tak bisa melakukannya? Bukankah kondisi republik kita nyaris sama dengan negara asal U2 atau Sinead O’Connor tersebut? Sama-sama ricuh politik dan marak bom. Dol tak cuma memikirkan negaranya saja, namun juga dunia.
Simak saja betapa besar kepedulian Dol pada anak-anak Bosnia dalam lirik ini.
would like to state my vision, Life was so unfair
We live in our secure surroundings
And people die out there
Bosnia was so unkind, Sarajevo changed my mind
And we all call out in despair, all the love we need isn't there
And we all sing songs in our room, Sarajevo erects
another tomb
Sarajevo, Sarajevo, Sarajevo, Sarajevo
Bosnia was so unkind
Sarajevo, Sarajevo, Sarajevo, Sarajevo
Bosnia was so unkind
Sure things would change if we wanted them to
No fear for children anymore
There are babies in their beds, terror in their heads
Love for the love of life!
When do the saints go marching in?
(*Bosnia, WORDS BY D. O'RIORDAN. MUSIC BY D. O'RIORDAN *)
Friday, October 07, 2005
FILE NOT FOUND
The robot is fixed already
A new program is running
All viruses, worms, trojans, spywares had been removed
Input: How could I luv ma man who even never treat me as a good friend?
Output: What a STUPID idea!
Target: looking for a bad memories
Result: FILE NOT FOUND. FILE NOT FOUND. FILE NOT FOUND. FILE NOT FOUND. FILE NOT FOUND.
Thursday, October 06, 2005
Do U Luv Your Job?
Sore itu lumayan panas. Sangat panas malah. Di teras mesjid PT. INKAI, Madiun, saya bersama dua teman tergolek pasrah. Puasa hari pertama. Semestinya saya tidak puasa, tapi karena ikut rombongan protokol Menristek yang semuanya puasa, maka terpaksa saya puasa. Tapi masih nyolong-nyolong meneguk air.
Apa yang kami tunggu? Ibu Lucy, yang menyiapkan protokoler acara Menristek meresmikan Laboratoriun Dinamika Uji Kereta Api (Fudika) besok pagi. Perempuan beranak tiga itu masih sibuk rapat sedari pagi begitu kami tiba di Madiun. Sudah pukul 16.00 dan ia masih melayani "tantangan" para bapak, direksi PT INKAI untuk merembuk acara besok.
Begitu beduk bertalu, kami bertiga lega. Akhirnya bisa makan juga dan santai sejenak. Selesai buka bersama, kami berharap bisa segera kembali ke hotel untuk mandi dan rebahan.
"Kita kembali ke aula," suara Bu Lucy membuyarkan bayangan kami atas tempat tidur empuk dan kamar AC. Perempuan itu masih gegap gempita mengatur ruangan, jejeran kursi, kemana deretan tamu VIP harus menghadap, dan sebagainya. Sesekali ponselnya bercicicuit menerima SMS atau telpon. Hampir semua orang dis ekitarnya yang mayoritas lelaki selalu menuruti apa perintahnya. Dan Ibu Lucy tak canggung turun tangan menggeser-geser sendiri barisan kursi.
Yang bikin saya kagum pada perempuan satu itu adalah semangat kerjanya. Juga ketenangannya menghadapi masalah saat dihadapkan pada fakta bahwa Pak Menteri dapat panggilan mendadak rapat Wapres padahal ia juga harus ke Madiun di jam yang sama. Semua akhirnya bisa di-handle dengan baik.
Tidak setitikpun kelelahan tersirat di wajahnya. Sembari sibuk mengurusi protokoler acara, ia masih sempat menelepon suami dan anak-anaknya. Bahkan dengan santai ia berkisah bahwa menu sahur dan buka puasa di rumah sudah disiapkan semua di kulkas. Oleh ia sendiri!!! Sang asisten rumah tangga tinggal memasaknya saja.
Ini satu contoh pengejawantahan seorang superwoman. Setelah saya pikir, tak banyak yang dituntut untuk menjadi superwoman. Cukup cintailah pekerjaanmu. Kita bisa sangat peduli terhadap satu hal apabila kita mencintainya. Begitu pula pekerjaan. Dengan mencintai pekerjaan, maka kita melakukannya tanpa kenal lelah. Sama dengan anak dan keluarga. Kapan kita bisa berargumen "capek" terhadap orang yang kita cintai? Tidak pernah. Ibu Lucy, Marie Curie, Margareth Tatcher, Mother Teresha, Madonna, Frida kahlo, adalah contoh perempuan-perempuan yang mencintai pekerjaannya. Mereka bisa membagi cinta antara pekerjaan dan keluarga. Tanpa satu pun tersisihkan.
Maka ada satu kunci kesuksesan dalam hidup. Cintailah pekerjaanmu. Luv your job! Do i?
Monday, October 03, 2005
Superwoman Memerangi Badai Krisis
Memang dasarnya Superwoman, maka perempuan tidak boleh cengeng menghadapi krisis seperti saat ini. Ongkos silakan naik, BBM silakan melambung tinggi, tapi Superwoman harus tegar dan penuh kiat menghadapinya.
Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan Superwoman dalam memerangi badai krisis:
1. Beri senyum pada kondektur saat membayar, agar diberi keringanan. Kurang 500-1000 bisa dimaklumi.
2. Senyum tak mempan, ajak ngobrol saja dia, kasih alasan “Turunnya hanya di situ kok bang,” (tunjuk jarak terdekat).
3. Ganti kopi instan ala Nescafe yang mahal dengan kopi tubruk ala Kapal Api.
4. Kurangi kebiasaan kopi dengan teh.
5. Yang hobi teh, ganti teh celup dengan teh godok biasa. Hitung-hitung bernostalgia tempo doeloe zaman belum ditemukannya teh celup.
6. Yang sudah puas dengan teh godok ya ganti dengan air putih. Ingat, dokter menyarankan kita minum air putih minimal dua liter sehari! Jadi buat apa minum air “butek” sejenis teh dan kopi?
7. Ganti bedak compact dengan bedak tabur.
8. Kurangi kebiasaan curhat by SMS. Sebagai gantinya, curhat saja di buku harian, kembali ke masa silam. Jauhkan ponsel dari pandangan mata agar tidak tergoda.
9. Jarak terdekat angkot kabarnya Rp.1500. Kalau jaraknya tak lebih dari 300 meter ya alangkah baiknya jalan kaki saja. Olah raga. Sehat dan ramping, daripada harus fitnes?
10. Bagi yang bekerja, bawa bekal dari rumah. Ini bisa menekan biaya Rp. 5000-10.000. Lumayan kan?
11. Kurangi hobi nonton di Cineplex, ganti dengan sewa DVD atau VCD. Kalau tidak puas ya silakan ikuti program NOMAT.
12. Kurangi nongrong di kafe, restoran fast food dan sejenisnya. Untuk memuaskan selera makan, silakan belajar bikin french fries, garlic bread, burger dan sejenisnya sendiri di rumah. Sekalian mengisi waktu senggang week end.
13. Bongkar persediaan baju-baju lama. Yang masih layak bisa dipakai kembali. Atau bawa ke penjahit dalam porsi besar, dipermak disesuaikan gaya sekarang Bisa dapat diskon lho kalau sekaligus buanyak. Dengan begini tidak perlu beli baju baru.
14. Kurangi kebiasaan ke salon. Belajar potong rambut sendiri, krimbat sendiri, lulur sendiri. Bayangkan kita hidup di abad lampau dimana salon belum ditemukan.
15. Bawalah air putih kemanapun kita pergi. Mengurangi jajan soft drink dan air mineral.
16. Belajarlah menjadi vegetarian. Tidak perlu langsung ekstim, tapi perlahan saja. Telur dan susu tidak perlu dihilangkan dari daftar menu. Cukup menghilangkan daging dan ayam yang memang mahal dan rentan penyakit.
16. Silakan tambah sendiri dengan kreativitas anda.
Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan Superwoman dalam memerangi badai krisis:
1. Beri senyum pada kondektur saat membayar, agar diberi keringanan. Kurang 500-1000 bisa dimaklumi.
2. Senyum tak mempan, ajak ngobrol saja dia, kasih alasan “Turunnya hanya di situ kok bang,” (tunjuk jarak terdekat).
3. Ganti kopi instan ala Nescafe yang mahal dengan kopi tubruk ala Kapal Api.
4. Kurangi kebiasaan kopi dengan teh.
5. Yang hobi teh, ganti teh celup dengan teh godok biasa. Hitung-hitung bernostalgia tempo doeloe zaman belum ditemukannya teh celup.
6. Yang sudah puas dengan teh godok ya ganti dengan air putih. Ingat, dokter menyarankan kita minum air putih minimal dua liter sehari! Jadi buat apa minum air “butek” sejenis teh dan kopi?
7. Ganti bedak compact dengan bedak tabur.
8. Kurangi kebiasaan curhat by SMS. Sebagai gantinya, curhat saja di buku harian, kembali ke masa silam. Jauhkan ponsel dari pandangan mata agar tidak tergoda.
9. Jarak terdekat angkot kabarnya Rp.1500. Kalau jaraknya tak lebih dari 300 meter ya alangkah baiknya jalan kaki saja. Olah raga. Sehat dan ramping, daripada harus fitnes?
10. Bagi yang bekerja, bawa bekal dari rumah. Ini bisa menekan biaya Rp. 5000-10.000. Lumayan kan?
11. Kurangi hobi nonton di Cineplex, ganti dengan sewa DVD atau VCD. Kalau tidak puas ya silakan ikuti program NOMAT.
12. Kurangi nongrong di kafe, restoran fast food dan sejenisnya. Untuk memuaskan selera makan, silakan belajar bikin french fries, garlic bread, burger dan sejenisnya sendiri di rumah. Sekalian mengisi waktu senggang week end.
13. Bongkar persediaan baju-baju lama. Yang masih layak bisa dipakai kembali. Atau bawa ke penjahit dalam porsi besar, dipermak disesuaikan gaya sekarang Bisa dapat diskon lho kalau sekaligus buanyak. Dengan begini tidak perlu beli baju baru.
14. Kurangi kebiasaan ke salon. Belajar potong rambut sendiri, krimbat sendiri, lulur sendiri. Bayangkan kita hidup di abad lampau dimana salon belum ditemukan.
15. Bawalah air putih kemanapun kita pergi. Mengurangi jajan soft drink dan air mineral.
16. Belajarlah menjadi vegetarian. Tidak perlu langsung ekstim, tapi perlahan saja. Telur dan susu tidak perlu dihilangkan dari daftar menu. Cukup menghilangkan daging dan ayam yang memang mahal dan rentan penyakit.
16. Silakan tambah sendiri dengan kreativitas anda.
Subscribe to:
Posts (Atom)