Thursday, October 19, 2006

Kali ini, tentang Soulmate



“Percaya soulmate?”
“Ngga!”
“Hmm, aku masih percaya.”
“Udah deh, ngga ada itu soulmate. Kamu mana pernah tahu siapa soulmate-mu. Kalau ternyata tukang ojek ujung gang itu adalah soulmate-mu, kamu mau nikah ama dia?”
“Ah, ya ngga lah. Soulmate itu mestinya ya sepadan sama kita. Orang yang cocok, pas sama kita, sejiwa.”
“Lho, emang kamu pernah tahu tukang ojek itu cocok ngga sama kamu, wong belum pernah ngobrol. Siapa tau kalau ngobrol dan pendekatan, cocok.”
“Ah ngga deh. Ngga mungkin.”
“Nah, berarti soulmate itu ngga ada. Yang ada adalah kecocokan, nyambung. Soulmate hanya mitos.”
“Ngga, aku masih tetap percaya soulmate.”
“Ya silakan aja nunggu soulmate-mu jatuh dari langit.”

Itu percakapan aku dan kakak perempuanku beberapa bulan lalu. Aku pihak yang kontra teori soulmate, sedangkan ia yang berkeras bahwa soulmate memang ada. Kakakku sudah 38 tahun, masih lajang. Dia cantik. Waktu kecil dulu, aku selalu berpikir bahwa ia mirip sekali dengan Melissa Gilbert dalam film Litttle House on The Praire, tepatnya peran Laura Ingalls Wilder (apa bener ya spellingnya?) kecil. Apalagi pada adegan pembukaan film dimana semua anak perempuan keluarga Ingalls berlari-lari di rerumputan.

Selain rambutnya sama-sama panjang bergelombang , kakakku dan Laura juga berkulit putih, kulit muka mulus, mata bentuk almon. Puncak kemiripan mereka terletak pada rambut panjangnya yang dikepang dua dan senyum lebarnya. Pendek kata, kalau kau berpikir bahwa ia belum menemukan pasangan hidup karena fisiknya buruk, kau salah besar. Lebih tepat barangkali karena ia terlalu independen, mandiri dan tentu saja pintar.

Dia tipikal perempuan sangat mandiri, suka petualangan dan keras hati. Sejumlah kota dan negara sudah dilintasinya. Hari ini, kakakku tetap cantik walau rambutnya dipangkas pendek. Terakhir kudengar kabar dari ponselnya ia sudah di Ubud, Bali. Bekerja di sana. Saat menelepon beberapa hari lalu, suaranya masih ceria dan renyah. Aku hanya berharap semoga ia segera menemukan soulmate-nya, kendati aku sama sekali tidak percaya mitos itu.

17 comments:

Restituta Arjanti said...

gue percaya soul mate itu ada mer. tapi dia belum tentu pasangan kita sekarang atau yg akan datang.

'_' said...

kalo abis nonton bollywood gw jadi percaya sama yang namanya "soul mate" :D

Anonymous said...

Dear mer,

Ini pemikiran (subyektif) gue semata, jangan dimasukin ke ati ya.

Menurutku soulmate itu ada, tapi tidak untuk di benarkan keberadaannya sekarang. Bukan berarti pasangan kita saat ini adalah soulmate atau bukan, tapi hanya kita tidak bisa menyimpulkan saat ini bahwa dia adalah soulmate kita. Perasaan memang perlu ditumbuhkan dan diyakini bahwa memang dia adalah soulmate kita, dengan demikian diharapkan cinta dan kasih selalu tumbuh dan terjaga. Tetapi keyakinan yang terlalu mutlak bahwa memang dia adalah soulmate kita hanya akan (dikawatirkan) menimbulkan kekecewaan dan ujung-ujungnya menumbuhkan sikap skeptis dan apatis bahwa "ternyata" memang soulmate itu tidak ada, manakala kita menemukan kegagalan dalam berumahtangga (percintaan).

Berbicara keyakinan termasuk meyakini (tidak meyakini) keberadaan soulmate sudah memasuki ruang rahasia Illahi. (Maaf) sebagai muslim, hanya ada 4 takdir yang sudah ditentukan jauh sebelum kita ada (bahkan ditentukan bersamaan dg Allah menciptakan alam semesta):

1. Umur
2. Rejeki
3. Jodoh
4. Kematian

Kita tidak bisa meraba ke-4 hal tersebut karena itu sudah menjadi ketentuan-Nya dan kita tidak bisa merubahnya.

Nah karena sudah menjadi ketentuan-Nya, maka kita tidak bisa mengambil kesimpulan hari ini, saat ini, detik ini bahwa salah satu dan atau ke-4-nya adalah sesuai dengan kesimpulan kita sendiri.

Jawaban itu semua (menurut pendapatku, dan Insya Allah benar menurut keyakinan yg kuanut) akan terjawab saat kita mati. Dan jawaban itu bukan untuk orang yang ditinggalakn tapi justru utk kita.

Umur. Sampai berapa umur kita di dunia? No body knows...dan akan terjawab saat kita mati...oohhh ternyata saya hanya di kasih jatah hidup oleh Allah sampai umur sekian.

Termasuk kematian, kapan dan bagaimana kita mati, baru terjawab saat bersamaan datangnya kematian.

Rejeki? Kita tidak bisa bilang bahwa, ternyata Allah sudah mentakdirkan kita kaya. Saat ini kita bisa bilang mungkin kita kaya, tetapi saat mati bagaimana kondisi kita? Masih kaya atau miskin? Nah saat mati itulah kita baru tahu oohhh ternyata Allah mencukupkan rejeki saya sampai segini. Tapi...itu dari sisi materi, bukankah rejeki tidak melulu materi, kesehatan, kebahagaiaan, ketenangan juga adalah rejeki. Nah siapa yg bisa mengukur nilai kesehatan, dan semua rejeki yg sifatnya non materi? Artinya rejeki memang juga termasuk takdir Allah yg sudah ditentukan.

Now...we talking about soulmate (jodoh).

Apakah pacar/istri saya saat ini berarti adalah jodoh saya yang sudah di takdirkan oleh Allah? (saya berdoa semoga demikian), tetapi saya tidak berani menyimpulkan bahwa memang dia adalah soulmate saya karena soulmate merupakan salah satu takdir allah yg sudah ditentukan, jadi saya tidak tahu.

Namun demikian, saya selalu berusaha menumbuhkan cinta dan kasih kepada istri/pacar saya dan berharap memang dia adalah soulmate saya, sehingga ada perasaan "hidup" dalam kehidupan saya, bahwa ada keyakinan yg saya pupuk bahwa dia adalah soulmate saya (tanpa bermaksud mendahului kehendak-Nya).

Dan saya tidak akan kecewa jika (I hope not it will happen to me) ternyata di tengah jalan saya gagal mengarungi bahtera percintaan kami. Semua saya kembalikan sebagai kehendak-Nya karena itu berarti memang bukan soulmate saya.

Lalu siapa soulmate saya? Hanya Allah yang tahu, tetapi (saya meyakini) saat datang ajal menjemput saya, siapakah wanita tercinta terakhir yang ada disisiku? Dialah berarti soulmate saya. Mengapa?...karena perpisahan kami semata-mata terjadi karena kematian...bukan karena urusan duniawi.

Adakalanya, pengalaman hidup yang pahit, kegagalan, dsb membuat manusia lupa akan hakiki keberadaannya dan merasa angkuh bahwa "aku ada karena memang kehendakku". Kegagalan sering dipandang sebagai antitesa atas impian, cita2, keinginan, kondisi ideal dan keluhuran proses hidup dan kehidupan. Padahal kegagalan, pengalaman pahit dsb justru membuat manusia belajar bahwa tidak semua masalah yang ada di dunia ini adalah peran kita melainkan juga ada campur tangan kekuasaan yang lebih dahsyat yaitu Allah...agar kita selalu ingat dan belajar dari-Nya.

(Maaf), ada sebuah penjelasan simple yang justru saya dapat dari umat kristiani. Jika memang Tuhan Maha Kasih dan Sayang, mengapa umatnya dibiarkan terjadi kesedihan, peperangan, penyakit dan kematian? Berarti Tuhan tidak punya Kuasa atas dirinya dong...buktinya membiarkan umatnya sakit atau berarti Tuhan mendua dong, kadang kasih kadang jahat? Masak Tuhan Maha jahat juga?

Apa penjelasan pendeta tersebut? Begini, apakah kamu punya anak? Saya jawab ya, saya punya anak. Apakah kamu sayang dengan anak kamu? Saya jawab tentu saja saya sayang sekali dengan anak saya. Apakah kamu mau berkorban apa saja demi anak kamu? Saya jawab tentu saja untuk menunjukkan sayangku aku rela berbuat apa saja demi kebahagiaannya.

Nah sekarang, kata si pendeta, jika anakmu ingin sekali bermain naik sepeda dan dia akan sangat bahagia jika naik sepeda, apa kamu tidak takut jika kamu belikan dia sepeda demi kebahagiaanya tapi disisi lain anakmu bisa celaka karena kasihmu yaitu jika dia jatuh dari sepedanya?

Apakah kamu tetap belikan sepeda atau tidak jadi belikan sepeda?

Begitulah sifat Tuhan, meskipun dia sayang dengan umatnya, tapi dia ingin memberikan pelajaran kepada manusia. Sama dengan si anak kecil kita, meski kita sayang tetapi kita akan tetap memberikan peluang bahwa dia akan celaka jika jatuh dari sepedanya, agar anak kita belajar, untuk selanjutnya semakin mahir naik sepeda.

raharjo@muktiwibowo.net

Anonymous said...

Dear Merry,
Kakak yang luar biasa yang lu punya. Di umurnya yang ke-38, dia masih berpegang pada harapan kalau soulmate-nya suatu saat nanti akan datang menjemputnya. Luar biasa!
Terlepas dari ada atau tidak dan percaya atau tidak elu akan soulmate itu, gua pikir tindakan terbijak yang bisa lu lakukan sebagai adik yang sayang ke dia adalah terus mendukungnya. Jangan menyurutkan semangatnya.
Orang yang bermimpi dan berharap dengan segenap hati adalah orang yang bahagia, in a way, we should envy them :)
Tentu saja dengan melogikakan semuanya (kutip : “Nah, berarti soulmate itu ngga ada. Yang ada adalah kecocokan, nyambung. Soulmate hanya mitos.”), tidak perlu ada yang namanya harapan. Semuanya akan terlihat more simple...... but less magical.

ps : hope that you'll find your own dream someday and become a more less cynical person :p

'_' said...

what's wrong if women DON'T believe in bullcrap wishy wishy dreams and myths?

not everybody has a soulmate, and not all soulmates are in a form of a spouse. a very good friend/sibling can be a true soulmate.

'_' said...

i'm disappointed that your comment here is as bad as your last comment in merry's previous post.

'_' said...

judging from your prvious comments, i was disappointed cuz lately your comments only resort to name callings (like the rest of the readers here who can't handle cookie cutter opinions), not smart like your comments from months ago.

'_' said...

judging from your previous comments, i was disappointed cuz your comments only resort to name calling (like the rest of the readers here who can't handle opinions that are not cookie cutter).

Anonymous said...

sorry typo, ^^ ralat insert *NOT*

'_' said...

hahahah nacho libre... i just knew you'd love getting "personal" comments.

anyway, would you please tell me where in the Bible (the holy book for christians) can i find that bicyle story that you got from umat kristiani?

'_' said...

gotcha!

i gotta give credit to that pendeta/pastor/priest for being so creative... making up story about father-son-bicycle, then implying his own belief that god is just like the father in that bicycle story.

Anonymous said...

mbbbekkkkkk.....!!!

Anonymous said...

soulmate oh soulmate. kalo mungkin pake perasaan bisa ada kali mer. tapi tiap kali pake rasio soulmate akan terkikis dengan sendirinya. tinggal elo sendiri mau ngikutin kata hati elo atau sepenuhnya elo bakal menggunakan rasio? gw yakin deep down inside your heart terbersit pertanyaan itu :p

Anonymous said...

perasaan oh perasaan. lupain rasio, biarkan laki2 saja yg menggunakan rasio utk memperdaya perempuan [/sarcasm]

gak ada gunannya perempuan "mikir" pake perasaan kalo laki2 sendiri gak pake perasaan.

Anonymous said...

dear Mer....

gue percaya soulmate. selama ini gue beberapa kali pacaran, pernah satu kali gue ngerasa cocok banget ama seorang cewe...n akhirnya untuk pertama kalinya gue punya keinginan untuk serius ma dia.
believe it or not, beberapa minggu kemudian gue kehilangan dia...
jadi, gue percaya tuh cewe bukan soulmate gue, makanya gue ga langgeng ma dia...
tahts all

abbie said...

baca deh

http://abimono.blogspot.com/2006/11/soulmate.html

http://abimono.blogspot.com/2007/09/soulmate-20.html

http://abimono.blogspot.com/2007/12/rationale.html

Kica-Kica said...

@ Nacho Libre

Menarik ya, paradoks antara Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Yang Maha Kuasa...masih ada lagi...Yang Maha Menyiksa, Maha Membalas, Maha Menghukum, dan beberapa yang lain yang saya tidak pernah hapal :)

Saya mungkin tidak bisa menjelaskan paradoks itu (wong saya juga masih suka bertanya-tanya pada-Nya, meraba-raba diri-Nya), tapi hati saya merasa hangat ketika membaca ilustrasi yang menurut Anda tidak terlalu tepat di atas :) Saya yakin 'nadia' is nadia juga, bukan? Untuk itu, bolehlah saya dan dia memberi kredit. Mungkin saya bodoh atau tidak logis, tapi tidak ada yang bisa mengambil apa yang saya rasakan tadi itu.

Kekritisan Anda sangat..hmmm..apa ya, intriguing...dan membuat diskusi jadi menantang. Saya juga maklum kalau banyak yang merasa terusik atas kekritisan Anda itu. Tapi yah, no interesting life without discontent and some degree of discomfort, bukan?

Salam,

Anne

P.S: Maaf Mbak Mer, malah mengomentari komennya, bukan tulisannya. Hehehe...percaya atau tidak, saya juga dulu sangat skeptis, bitter, masam terhadap berbagai konsepsi tentang romance, "cinta," soulmate, dan sebagainya, justru karena saya saat itu sedang berada dalam masa-masa awal jatuh cinta :) Aneh ya...tapi tidak percaya akan konsep soulmate kadang-kadang bisa membuat percintaan menjadi lebih baik dan lebih langgeng. Karena saya tidak percaya "cinta," pada mulanya saya mendahulukan fungsionalitas dan utilitarianisme (the greatest happiness for the greatest number) yang tidak pernah menyimpan "taking for granted" dalam kamusnya...itu justru membuka ruang bagi akal sehat dan kompromi. Untuk saat ini, saya merasa content dengan makna cinta untuk saya, yaitu "the maximun display of kindness and minimum exercise of conditional acceptance" di samping prinsip "tolerance" and "compromise" yang saya bisa paksakan kepada diri saya sebelumnya.

Love your inspiring, daring writings :)