Friday, September 30, 2005
Setiap Perempuan Adalah Superwoman
Sudah agak lama, seorang teman lelaki curhat tentang anaknya yang sakit. “Aku ngga tidur semalaman. Jagain anak yang demam. Kasihan istriku, seharian dia yang jaga kalau aku kerja,” keluhnya. “Malam dia masih begadang juga kadang. Ngga kebayang pas anakmu sakit Kamu kan single parent.”
“Iya, aku malem begadang, tidur-tidur ayam, paginya kerja. Hehehe,” jawabku santai.
“Gimana kamu bisa tahan?” Ia bertanya bingung. “Aku yang lihat istriku kecapaian aja sudah ikut stress.”
Aku hanya tertawa. “Tuhan memberi EXTRA POWER pada setiap perempuan, khususnya para ibu. Jadi ya santai saja,” jawabku.
Istilah EXTRA POWER itu bukan mengada-ngada. Bayangkan saja, para ibu di seantero dunia. Ada banyak ibu yang punya anak 3,4 5 bahkan 10, dapat terus bertahan hidup dengan senyuman di bibir walau harus berkutat dengan kesibukan luar biasa. Bangun dini hari, menyiapkan sarapan, mengantar anak sekolah, belanja ke pasar, memasak, mencuci, menjemput anak, membantu bikin PR, menyapu, mengepel, menyetrika, melayani suami, memanjakan si kecil, dan saat malam tiba mereka hanya terlelap beberapa jam. Tidak ada tidur siang. Bahkan di akhir pekan pun pekerjaan mereka justru bertambah sebab keuarga butuh perhatian lebih dari biasa.
Tak banyak beda dengan perempuan karir. Pulang kerja mereka tak bisa ongkang-ongkang kaki rileks seperti para suami. Sehebat apapun karir perempuan, begitu menginjakkan kaki di rumah, mereka akan kembali ke kodratnya, menjadi ibu rumah tangga. Jadi jangan heran kalau ada perempuan karir yang di kantor tampil anggun berwibawa, keren, begitu sampai rumah berubah jadi bluwek –istilah teman saya-, hehehe.
Lagi, seorang teman, perempuan yang lumayan sukses karirnya sempat berkeluhkesah. “Kalo suami gue enak, pulang kerja tinggal nyantai aja, minta kopi. Duduk deh dia baca Koran, nonton TV, main PS, atau langsung molor. Nah gue tiap pulang kerja ada aja yang harus dilakonin. Yang anak rewel, berantem, ngga mau bikin PR, rumah berantakan, macem-macem. Ribet.”
Kalau dipikir dengan logika, semua itu jelas sulit dilakukan. Semua orang juga tahu, kekuatan fisik perempuan tidak seberapa dibanding lelaki. Belum lagi kemampuan berpikirnya yang kata kaum pria, perempuan tak ada apa-apanya. Lalu, bagaimana kaum Hawa khususnya para ibu bias terus survive dengan beban itu?
Menristek Kusmayanto Kadiman pernah bersaksi di depan anak buahnya dan wartawan. “Perempuan itu lebih pintar dari lelaki. Mereka bisa nonton TV sambil ngobrol, nyiapin makanan, baca buku, ngurus anak dan macam-macam. Kita lelaki kalau nonton TV diajak ngobrol aja suka ngga ngerti.”
Itu dia jawabannya, EXTRA POWER. Maka berbanggalah jadi perempuan. Sebab setiap kita adalah SUPERWOMAN.
Thursday, September 29, 2005
Nothing To Lose
Lelaki atau perempuan, kalau sudah kasmaran bias bahaya. Ibarat PC yang terserang virus, semua kinerja jadi terganggu. Bedanya, secara mitos lelaki lebih diuntungkan. Mereka dilegalkan mengejar cewek idamannya dengan bersikap agresif. Sedangkan cewek, dianggap harus menunggu. “Tidak baik air mendatangi gayung,” begitu pepatah orang dulu. Detail tentang ini sudah saya singgung pada entry terdahulu, “Perempuan Perayu: Hebat atau Murahan?”.
Sayangnya mitos ini sangat merugikan kaum Hawa. Seperti PC yang kena virus tadi, perempuan yang kasmaran sulit konsentrasi pada pekerjaan dan banyak hal. Seorang teman malah mengaku tidak doyan makan karenanya. Apa pasal? Saat virus cinta menyerang, seorang perempuan jadi super duper lemah. Pertama, mitos tadi yang membuat cewek harus menahan perasaannya. Kedua, bawaan kaum cewek yang memang didominasi emosi dan sensitif. Terombang ambing kegalauan antara he loves me, he loves me not. Ada sedikit perhatian saja dari lelaki idaman, langsung terbang melayang. Namun saat si idaman hati mengecewakan, jadi terpuruk luar biasa. Sungguh tersiksa.
Ada solusi bagus bagi kaum cewek yang dilanda problem ini. Tapi solusi ini hanya berlaku apabila cowok idaman benar-benar seorang cowok yang sudah lama kita kenal, baik dan tidak mungkin melakukan hal negatif.
Pertama, bersikaplah apa adanya. Kalau memang ingin memberi perhatian, berikan saja sejauh itu dalam batasan normal. Berkirim SMS, menelepon atau kirim email. Kalau dia memberi respon, jangan terlalu berharap dulu.
Kedua, jangan ragu untuk mengajaknya bertemu. Mengungkap perasaan secara spontan juga bagus. Seperti, “Gue kangen elo, tau!” Atau, “Belom makan? Nanti sakit lho.” Saat diucapkan pada waktu yang tepat, hal-hal seperti itu tak menjadi tabu.
Ketiga, setelah sekian lama kenal pribadinya dengan baik, mulailah menggalang kekuatan untuk mengekspresikan perasaan. Ini berlaku apabila sudah cukup lama kita kenal dia tapi dia tak kunjung “nangkep” feeling kita.
Keempat, istilah anak mudanya “tembak!”. Apapun responnya, akan berdampak positif pada kita. Mengapa? Katakan cinta ditolak, kita justru akan terbebas dari perasaan ketidakpastian yang menyiksa. Jika ia memang lelaki baik, maka hubungan bisa berlanjut ke persahabatan. Tidak ada ruginya, kan? Nothing to lose.
Nah, para perempuan sekalian, sudah bukan zamannya lagi kita menunggu dan menunggu seperti sapi ompong. Tembak saja, nothing to lose!! Or you want to be a looser?? No way, maaaan!
One "Morning" Stand
Sejak ada perubahan jalur kendaraan umum, para wanita karir Depok harus berjibaku setiap pagi. Bukan apa-apa, kami di terminal Depok yang notabene bau pesing oleh urine kaum Adam yang dibuang sembarangan, berjuang keras berebut tempat duduk di Patas AC. Rute Damri AC yang semua melewati Thamrin, kini hanya sampai Cassablanca. Jadi hanya ada satu bis AC yang sampai ke Thamrin, yakni Bianglala 102 rute Depok-Tanah Abang.
Maka jangan heran kalau di terminal Depok, bis satu itu selalu disambut dengan gegap gempita pada jam berangkat kerja. Termasuk saya dan banyak perempuan lain.
Yang namanya berebut bis, sodok menyodok dan sikut menyikut tak kenal urusan gender. Laki atau perempuan, sikat saja bleh yang penting dapat duduk. Hihihi. Dan hasilnya adalah sebuah bis penuh sesak manusia. Cewek-cowok berdesakan, gelantungan. Saya pribadi adalah pejuang tangguh, maka selalu jadi pemenang yang mendapatkan tempat duduk dengan posisi strategis, yakni dekat dengan jendela.
Tadi pagi, secara taks engaja saya duduk bersebelahan dengan lelaki yang bisa dibilang lumayan ganteng. Seperti kisah penumpang bis lain, pada awal bis berjalan kami masih duduk manis. Kelamaan badan melorot, kepala tersandar. Kian lama posisi ini tambah tak sedap dipandang mata. Ada yang kepala oleng kiri kanan karena kantuk.
Hal serupa berlaku pada cowok ganteng sebelah saya. Juga saya sendiri.
Perjalanan Depok-Sudirman bisa makan waktu 1,5 -2 jam. Jangan salahkan kami kalau tenggelam ke alam mimpi. Maka saya pun ikut terbawa ke alam kantuk yang memanggil. Begitu pula cowok ganteng di sebelah (kalau dengan Yahoo Messenger sudah pakai ikon senyum). Dan begitu terbangun di Komdak...uppsss kepala si ganteng sudah ada di pundak saya, kepala saya sudah ada di kepalanya yang cepak. Kontan saya terbangun. Karena masih macet, iseng saya berkirim SMS pada seorang teman. "GUE BARU AJA BOBO BARENG AMA COWOK GANTENG. ONE MORNING STAND NIH, SEBAB KITA NGGA SALING KENAL"
Maka jangan heran kalau di terminal Depok, bis satu itu selalu disambut dengan gegap gempita pada jam berangkat kerja. Termasuk saya dan banyak perempuan lain.
Yang namanya berebut bis, sodok menyodok dan sikut menyikut tak kenal urusan gender. Laki atau perempuan, sikat saja bleh yang penting dapat duduk. Hihihi. Dan hasilnya adalah sebuah bis penuh sesak manusia. Cewek-cowok berdesakan, gelantungan. Saya pribadi adalah pejuang tangguh, maka selalu jadi pemenang yang mendapatkan tempat duduk dengan posisi strategis, yakni dekat dengan jendela.
Tadi pagi, secara taks engaja saya duduk bersebelahan dengan lelaki yang bisa dibilang lumayan ganteng. Seperti kisah penumpang bis lain, pada awal bis berjalan kami masih duduk manis. Kelamaan badan melorot, kepala tersandar. Kian lama posisi ini tambah tak sedap dipandang mata. Ada yang kepala oleng kiri kanan karena kantuk.
Hal serupa berlaku pada cowok ganteng sebelah saya. Juga saya sendiri.
Perjalanan Depok-Sudirman bisa makan waktu 1,5 -2 jam. Jangan salahkan kami kalau tenggelam ke alam mimpi. Maka saya pun ikut terbawa ke alam kantuk yang memanggil. Begitu pula cowok ganteng di sebelah (kalau dengan Yahoo Messenger sudah pakai ikon senyum). Dan begitu terbangun di Komdak...uppsss kepala si ganteng sudah ada di pundak saya, kepala saya sudah ada di kepalanya yang cepak. Kontan saya terbangun. Karena masih macet, iseng saya berkirim SMS pada seorang teman. "GUE BARU AJA BOBO BARENG AMA COWOK GANTENG. ONE MORNING STAND NIH, SEBAB KITA NGGA SALING KENAL"
Tuesday, September 27, 2005
Jadi Minoritas, Siapa Takut?
Bayangkan dalam satu rombongan anda adalah satu-satunya perempuan. Lainnya adalah lelaki separuh baya yang sudah berkeluarga. Mereka melontarkan lelucon-lelucon esek-esek yang bikin telinga kita sebagai perempuan jadi panas. Tidak tanggung-tanggung, mereka kadang menyodorkan pada kita beberapa canda yang berkaitan dengan gender. Pelecehan perempuan. Tentang “jajan” pada PSK bertarif murah sampai obrolan perselingkuhan. Itu semua saya alami. Sering bahkan. Dan saya menghadapinya hanya dengan senyum tersungging, sesekali ikut tertawa lepas. Aneh?
Sebagai jurnalis perempuan, bukan sekali dua kali saya menjadi satu-satunya perempuan di rombongan sesama jurnalis. Menjadi minoritas. Yang terakhir saya alami di Cibodas, pekan silam. Menginap bersama di vila berhawa sejuk dengan tujuh laki-laki usia separuh baya yang sudah menikah semua. Saya paling muda dan cantik. Tercantik karena saya satu-satunya perempuan. Sepanjang waktu dari saat di perjalanan hingga tiba di vila san kembali pulang, mereka tak kehabisan bahan lelucon. Dari mulai yang paling intelek sampai paling jorok. Apakah saya harus tersinggung dan merasa dilecehkan? Tidak sama sekali. Saya justru ikut menimpali, berbaur, tanpa harus terbawa arus. Tanpa terkesan bahwa kita senang dilecehkan. Hasilnya lumayan, mereka merasa saya bukan tipe perempuan yang pantas dilecehkan seperti tokoh di guyonan mereka. Para lelaki yang jauh dari istri dan terpaksa berkumpul dengan sesama jenis di luar kota itu tetap respek pada saya.
“Ada kode etik yang aku jaga, Mer. Tidak boleh memangsa teman seprofesi,” ujar seorang teman jurnalis senior di kamar hotel Concorde de Lafayette, Paris, beberapa waktu lalu. Dia ayah empat anak, sudah berusia 50-an. Sangat kebapakan. Aku mengaggapnya abang. Di acara peliputan GSM World Forum yang jauhnya ribuan mil dari tanah air itu, aku satu-satunya jurnalis perempuan dari Indonesia. Persis seperti acara Cibodas kemarin, yang lain adalah para lelaki usia paruh baya. Apakah saya harus merasa tersisih, risih dan tersudut hanya karena perbedaan gender? Sama sekali tidak.
Bepergian dengan rombongan yang mayoritas lelaki bukan hal baru bagi saya. Sejak sebelum menjadi jurnalis saya sudah kerap mengalami. Masa SMA dan kuliah saya kerap kemping dan naik gunung dengan teman-teman lelaki. Tidak ada pelecehan seksual, tidak ada perilaku tidak senonoh. Semua baik-baik saja. Apa pasal? Sebab saya tidak pernah berlaku beda dari mereka. Tak perlu merasa minder atau justru lebih hebat sehingga memasang gap sedemikian rupa. Dengan begitu mereka juga akan respek pada kita.
Hal serupa juga berlaku pada minoritas bidang apapun. Kalau ditelaah, saya adalah minoritas dalam banyak hal. Minoritas sebagai pemeluk Nasrani di Indonesia. Minoritas sebagai single parent. Minoritas sebagai keturunan Cina. Minoritas sebagai jurnalis perempuan. Minoritas sebagai jurnalis dalam keluarga yang dominan pedagang dan wirastawan. Astaga, saya baru sadar betapa super duper minoritasnya saya. Namun itu semua tidak setitikpun membuat langkah terhambat. Tak ada alasan keminoritasan itu menjadi tekanan di lingkungan sekitar.
Lingkungan saya adalah Betawi dan Sunda muslim yang fanatik, taat beragama. Namun sampai hari ini saya tidak merasa diperlakukan beda hanya karena saya Nasrani, Jawa keturunan Cina, ditambah lagi single parent. Anak saya, Libby, belakangan senang bermain marawis (sejenis qasidah dengan rebana) dengan Riska, anak tetangga, sahabatnya. Semua tahu kami Nasrani, pergi ke gereja setiap hari Minggu. Yang sudah-sudah, tiap bulan puasa saya kerap menerima pemberian kolak dari tetangga. Tidak ada perlakuan khusus dari mereka. Mengapa?
Jawabannya sama dengan paragraph sebelumnya, yakni karena saya sendiri juga berperilaku seolah sama dengan mereka. Tak perlu merasa tersisih. Jadilah sebagai bagian dari mereka. Maka mereka pun akan menganggap kita serupa. Ada celah dimana sesama manusia akan selalu merasa sama dengan sesamanya kendati beda suku, agama atau kelamin. Apakah itu? Senyum, keramahan dan keakraban. Cukup dengan tiga hal itu maka seluruh umat manusia merasa senasib sepenanggungan. Maka, jangan takut menjadi minoritas.
Friday, September 23, 2005
From Nobody to be Somebody
If a man wants you, nothing can keep him away.
If he doesn't want you, nothing can make him stay.
Stop making excuses for a man and his behaviour. Allow your intuition
(or spirit) to save you from heartache.
Stop trying to change yourself for a relationship that's not meant to
be.
Slower is better.
Kata-kata bijak itu keluar dari mulut seorang Oprah Winfrey. Seorang teman baik mengirimkannya padaku melalui email. Siapa tidak kenal perempuan hitam manis dengan tubuh padat itu? Oprah saat ini memiliki acara talkshow-nya sendiri, studio pribadinya sendiri Harpo Studio (yang berasal dari nama Oprah dibalik), juga majalah O. Talkshownya disiarkan di 117 negara!
Majalah bisnis dunia Forbes tahun ini menjulukinya sebagai wanita Amerika asal Afrika terkaya di Amerika Serikat. Majalah mingguan internasional Time memasukkannya dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di abad ke-20. Perannya dalam film The Color Purple memberinya nominasi Oscar dan hadiah Golden Globe sebagai pemeran pembantu terbaik. Talk Show-nya ditonton lebih dari 150 juta penonton setia di seluruh dunia.
Siapa sangka Oprah bisa mencetak prestasi gemilang itu? Kalau ditelaah, perempuan ini sempat mengalami masa-masa kelam. Ia pernah membuka kisah hidupnya yang kelam. Mengalami pelecehan seksual di masa kecil. Belum lagi perlakukan rasis terhadap kaum kulit hitam di AS pada masa lalu. Oprah mengalami sejumlah perlakukan minoritas. Pertama, minoritas sebagai perempuan. Kedua, minoritas sebagai kulit hitam. Ditambah lagi wajahnya memang tidak cantik yang membuat sebagian besar lelaki kurang "menyambut". Singkatnya, sungguh tipe perempuan yang bukan apa-apa. Really nobody.
Tapi lihatlah apa yang terjadi dengan Oprah saat ini. Siapa tak kenal namanya? Apakah ia bermodalkan tampang cantik dan tubuh sexy untuk menggapai semuanya seperti yang dilakukan perempuan kebanyakan? Tidak sama sekali. Oprah bermodalkan otak, keuletan, kerja keras dan kreativitas. Bahkan ia mau men-share semua kunci kesuksesannya itu pada sesama perempuan.
Siapa ingin seperti Oprah? Tentu saja saya mau. Sangat mau!!!
Thursday, September 22, 2005
Wanna be A Robot
Tahu bagaimana rasanya membunuh satu rasa itu?
Ingin melupa tapi tak bisa
Ingin me-remove semua data di recycle bin otakku
Sayangnya aku bukan PC atau Mac yang bisa diprogram begitu..
Tahu bagaimana sakitnya membunuh satu rasa itu?
Seperti seorang sadistis menyiksa diri
Tapi itu harus dilakukan
Logika harus mengalahkan feelingAku ingin jadi robotyang dikendalikan akal sehat, bukan perasaan cengengsemata
Jadi ku restart saja semuanya
Delete all memories
Memang semestinya tidak pernah kupanggil namamu di YM
pinggiran jakarta, selasa, 15.30.
Kisah Perempuan yang Ingin Jadi Robot
Maka ia pun pergi ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang kebetulan memiliki anak perusahaan bioteknologi. Perusahaan ini memproduksi robot-robot yang menyerupai manusia dengan teknologi Artificial Intelligent (AI) alias kecerdasan buatan. Semua robot itu diprogram sedemikian rupa menyerupai manusia. Bahkan sedang dikembangkan bagaimana agar para robot bisa memiliki perasaan.
Ia bertemu seorang profesor pakar AI. “Jangan sesekali menciptakan robot dengan perasaan. Kasihan mereka akan tersiksa. Biarkan robot-robot itu seperti apa adanya,” ujarnya. Sang profesor tak habis pikir bagaimana perempuan itu bisa beropini demikian.
“Justru segala hal yang dilakukan manusia sudah berhasil ditiru oleh robot kreasi kami, kecuali satu hal, berperasaan,” tegas profesor.
“Apa bagusnya memiliki perasaan, prof. Hanya akan membuat mereka tak mampu diprogram lagi. Fungsi utama robot adalah menjalankan perintah sesuai program si pembuat. Kalau tak sanggup jalankan program, maka robot tak berguna. Hentikan proyek mengembangkan robot dengan perasaan ini,” si perempuan protes.
“Tidak mungkin, nona. Kesempurnaan AI adalah menciptakan robot yang mirip dengan manusia. Dan itu tak mungkin terjadi tanpa dilengkapi dengan feeling, perasaan. Itu target kami saat ini, mendesain robot dengan hati. Kalau ini sukses, berarti kami membuat terobosan fenomenal,” sang profesor tak mau kalah.
Si perempuan menggelengkan kepalanya. “Jangan, prof! Itu akan berarti kemunduran! Robot dengan perasaan justru merusak keseluruhan program pada CPU mereka. Antara perasaan dan logika tak bisa akur. Hasilnya adalah robot-robot yang emosionil, menolak perintah program, sangat jauh dari tujuan awal pembuatan robot.”
Kemudian profesor berceramah ihwal proyek AI yang sudah dirintisnya sejak lama, juga prospeknya ke masa depan jika robot bisa memiliki hati. Tapi semuanya tak dihiraukan oleh si perempuan. Ia justru memotong presentasi itu. “Sudahlah, prof. Tantangan bagi anda sekarang adalah, bagaimana membuat saya menjadi robot. Anda hebat bisa menciptakan robot mirip manusia. Bisakah anda membuat manusia menyerupai robot?”
Si prof terhenyak bingung. “Apa maksud nona?”
“Saya ingin jadi robot seutuhnya, bukan robot dengan hati, hanya logika saja. Ubah saya menjadi robot. Tanpa perasaan. Apabila itu berhasil, maka anda akan jadi tokoh abad ini. Saya akan mempublikasikan kehebatan Prof ke seantero dunia.”
“Itu tidak mungkin. Bukan bidang saya. Anda hanya berkhayal, nona. Tak satupun orang bisa mengubah manusia menjadi robot. Film Robocop itu hanya fantasi,” sang prof beargumen.
“Siapa yang sanggup melakukannya, prof? Saya sudah ke psikolog, psikiater, dokter ahli anatomi, sampai ke paranormal. Tak satupun yang bisa menghapus perasaan saya. Padahal saya tersiksa setengah mati oleh perasaan ini. Bikin hidup saya berjalan tidak sesuai dengan program yang sudah dibuat. Saya ingin melakukan A tapi karena gangguan feeling, jadinya justru meleset ke C. Juga sebaliknya. Hidup saya berantakan karena feeling. Sungguh tidak enak hidup dengan feeling. Maka saya sarankan jangan meciptakan robot dengan hati, prof. Jangan. Saya sudah mengalaminya dan itu merusak hidup saya.”
Profesor menatap perempuan itu dari atas ke bawah. “Anda perempuan. Wajar saja didominasi feeling. Bukankah memang sudah ditakdirkan demikian?”
Perempuan itu mendengus kesal, “Sejak kapan seorang profesor yang serba eksak seperti anda percaya takdir?”
Dan ia pun beranjak pergi. Entah siapa yang sanggup mengubahnya menjadi robot. Andai Tuhan mampu…
No More Mr Top Guy
Sebut saja namanya Mr. Top. Sebab memang dia ngetop di komunitas profesinya. Sekali klik namanya di Google, maka akan banyak sekali hasil pencarian yang keluar. Dia memang bukan selebriti, tapi lumayan sukses di bidangnya hingga banyak penggemar.
Secara pribadi aku tak mengenalnya pasti. Bahkan kata seorang teman aku sempat tak mengacuhkannya saat ia menyapa di dunia maya. Walau kabarnya cukup top, aku sendiri baru tahu siapa dia setelah meng-add-nya dalam portal Friendster dan membaca biodata dalam situs pribadinya. Terlebih kian banyak teman yang ternyata kenal dia. Semuanya memberi referensi bagus. “Oh Si Mr.Top , ya aku kenal dia waktu di kota Anu dulu. Bagaimana kabarnya?” atau “Kamu enal Mr.Top? Wow, asik sekali. Dia itu hebat..dia itu bla bla bla…” Bahkan seorang teman berkomentar, “Kalau situs bagus macam punya dia sih sudah kuresensi sejak lama. Salam ya buat Mr.Top. Dimana kau ketemu dia?” Atau suara seperti , “Dia memang aktivis sejati, saya salut sama dia. Masih muda sudah sukses. Sangat hebat untuk ukuran seusianya.”
Singkatnya, ia adalah seorang lelaki yang nyaris tanpa cela. Idealis tapi sukses di bisnis, berhasil dalam bidang hobi yang ditekuni. Wajar saja kalau Mr. Top tak malu membeberkan biodatanya di situs pribadi yang banyak diakses orang.
Mau tak mau jatuh hati juga saya dengan sosok menarik itu. Perjumpaan langsung dengan Mr.Top hanya sekilas saja di tengah keramaian, sehingga kesan yang saya dapat, Mr. Top terlalu sibuk dengan dunianya. Entah apa kesannya tentang saya, mungkin sama sekali tak ada mengingat saya tak sehebat dirinya.
Hingga suatu ketika saya sedang ada acara ke kota Anu, tempatnya berdomisili. Sebelum berangkat saya memberitahunya kalau saya mau datang. Tanpa maksud minta dijamu atau apa lho, sekadar “apa salahnya menjumpai kenalan di suatu kota yang kebetulan kita singgahi?”. Di situlah saya bertemu Mr. Top. Kesan pertama begitu menggoda (mirip iklan parfum). Ramah, familiar, tidak banyak basa-basi. Sempat sedikit tergoda, mengkhayalkan betapa sempurnanya dia sebagai manusia. Sukses di karir, bisnis, dan entah apa lagi.
Begitu terpesonanya sampai saya tak melihat sedikit cela pada Mr.Top. Sampai tersipu malu ketika seorang teman menggodai kedekatan saya dengannya. Wow, saya jadi melambung ke langit ke tujuh. Saya dengan Mr. Top? Terlalu muluk memang, namun lumayan indah sebagai fantasi.
Semua berjalan indah sampai suatu ketika kenyataan menyadarkan saya. “Bumi kepada Merry….Bumi kepada Merry!” Begitu seolah ada yang berteriak di telinga, menyerukan agar kaki saya segera menjejak bumi. Setelah acara mabuk kepayang itu usai, fantasi itu tamat, baru segala keburukan Mr.Top bisa kasat mata. Baru saya sadar bahwa selama mengobrol dengan lelaki serba perfect itu, justru banyak sekali ketidaksempurnaannya. Saya jadi ingat betapa ia sering meng-under estimate-kan teman sendiri. Teman kami yang sebenarnya sudah ia kenal lama jauh sebelum kenal saya. Tanpa sungkan Mr. Top membuka semua keburukan teman tadi di depan telinga saya.
Baru saya sadari pula bahwa Mr. Top lebih banyak bicara tentang dirinya sendiri daripada lawan bicara. Ia sungguh tipe dominan dengan objek pembicaraan “aku-sentris” tanpa pernah menanyakan pendapat lawan ngobrol.
Apakah itu salah? Tidak sama sekali. Adalah hak tiap manusia untuk menetapkan hendak seperti apa dia.
Hanya, mendadak saja segala “kesempurnaan” si Mr.Top tadi pupus sudah. Seorang idola yang dipuja-puja ternyata tak luput dari kekurangan. Dan musnah sudah rasa kagum saya padanya. Ia hanya pantas dikagumi dalam hal karyanya, bukan kepribadian. Jadi para perempuan sekalian, jangan cepat jatuh hati pada lelaki yang menjadi idola. Sebab tak selamanya selebriti atau idola bisa dijadikan idola pribadi.
Secara pribadi aku tak mengenalnya pasti. Bahkan kata seorang teman aku sempat tak mengacuhkannya saat ia menyapa di dunia maya. Walau kabarnya cukup top, aku sendiri baru tahu siapa dia setelah meng-add-nya dalam portal Friendster dan membaca biodata dalam situs pribadinya. Terlebih kian banyak teman yang ternyata kenal dia. Semuanya memberi referensi bagus. “Oh Si Mr.Top , ya aku kenal dia waktu di kota Anu dulu. Bagaimana kabarnya?” atau “Kamu enal Mr.Top? Wow, asik sekali. Dia itu hebat..dia itu bla bla bla…” Bahkan seorang teman berkomentar, “Kalau situs bagus macam punya dia sih sudah kuresensi sejak lama. Salam ya buat Mr.Top. Dimana kau ketemu dia?” Atau suara seperti , “Dia memang aktivis sejati, saya salut sama dia. Masih muda sudah sukses. Sangat hebat untuk ukuran seusianya.”
Singkatnya, ia adalah seorang lelaki yang nyaris tanpa cela. Idealis tapi sukses di bisnis, berhasil dalam bidang hobi yang ditekuni. Wajar saja kalau Mr. Top tak malu membeberkan biodatanya di situs pribadi yang banyak diakses orang.
Mau tak mau jatuh hati juga saya dengan sosok menarik itu. Perjumpaan langsung dengan Mr.Top hanya sekilas saja di tengah keramaian, sehingga kesan yang saya dapat, Mr. Top terlalu sibuk dengan dunianya. Entah apa kesannya tentang saya, mungkin sama sekali tak ada mengingat saya tak sehebat dirinya.
Hingga suatu ketika saya sedang ada acara ke kota Anu, tempatnya berdomisili. Sebelum berangkat saya memberitahunya kalau saya mau datang. Tanpa maksud minta dijamu atau apa lho, sekadar “apa salahnya menjumpai kenalan di suatu kota yang kebetulan kita singgahi?”. Di situlah saya bertemu Mr. Top. Kesan pertama begitu menggoda (mirip iklan parfum). Ramah, familiar, tidak banyak basa-basi. Sempat sedikit tergoda, mengkhayalkan betapa sempurnanya dia sebagai manusia. Sukses di karir, bisnis, dan entah apa lagi.
Begitu terpesonanya sampai saya tak melihat sedikit cela pada Mr.Top. Sampai tersipu malu ketika seorang teman menggodai kedekatan saya dengannya. Wow, saya jadi melambung ke langit ke tujuh. Saya dengan Mr. Top? Terlalu muluk memang, namun lumayan indah sebagai fantasi.
Semua berjalan indah sampai suatu ketika kenyataan menyadarkan saya. “Bumi kepada Merry….Bumi kepada Merry!” Begitu seolah ada yang berteriak di telinga, menyerukan agar kaki saya segera menjejak bumi. Setelah acara mabuk kepayang itu usai, fantasi itu tamat, baru segala keburukan Mr.Top bisa kasat mata. Baru saya sadar bahwa selama mengobrol dengan lelaki serba perfect itu, justru banyak sekali ketidaksempurnaannya. Saya jadi ingat betapa ia sering meng-under estimate-kan teman sendiri. Teman kami yang sebenarnya sudah ia kenal lama jauh sebelum kenal saya. Tanpa sungkan Mr. Top membuka semua keburukan teman tadi di depan telinga saya.
Baru saya sadari pula bahwa Mr. Top lebih banyak bicara tentang dirinya sendiri daripada lawan bicara. Ia sungguh tipe dominan dengan objek pembicaraan “aku-sentris” tanpa pernah menanyakan pendapat lawan ngobrol.
Apakah itu salah? Tidak sama sekali. Adalah hak tiap manusia untuk menetapkan hendak seperti apa dia.
Hanya, mendadak saja segala “kesempurnaan” si Mr.Top tadi pupus sudah. Seorang idola yang dipuja-puja ternyata tak luput dari kekurangan. Dan musnah sudah rasa kagum saya padanya. Ia hanya pantas dikagumi dalam hal karyanya, bukan kepribadian. Jadi para perempuan sekalian, jangan cepat jatuh hati pada lelaki yang menjadi idola. Sebab tak selamanya selebriti atau idola bisa dijadikan idola pribadi.
Wednesday, September 21, 2005
Teori Tentang Cowok Baik
Teori saya tentang cowok baik:
Dari semua cowok di muka bumi ini, 50% baik, 50% jahat. Yang jahat ngga usah dibahas sebab memang ngga penting. Kita bahas yang baik saja.
Dari 50% yang baik itu, sebanyak 25 persen sudah menikah. Sedangkan sisanya 25% lagi belum. Tapi dari angka itu, sebanyak 10 % nya masih anak-anak dan 10 % lagi suda manula. Sisanya tinggal 5%. Sayangnya yang 5% ini adalah para homoseksual dan pastor.
Kesimpulannya: Tidak ada cowok baik yang avalible di dunia ini.
Dari semua cowok di muka bumi ini, 50% baik, 50% jahat. Yang jahat ngga usah dibahas sebab memang ngga penting. Kita bahas yang baik saja.
Dari 50% yang baik itu, sebanyak 25 persen sudah menikah. Sedangkan sisanya 25% lagi belum. Tapi dari angka itu, sebanyak 10 % nya masih anak-anak dan 10 % lagi suda manula. Sisanya tinggal 5%. Sayangnya yang 5% ini adalah para homoseksual dan pastor.
Kesimpulannya: Tidak ada cowok baik yang avalible di dunia ini.
Thursday, September 08, 2005
Maaf, Saya Tidak Berbakat Jadi Istri
Seorang teman memajang statusnya di Yahoo Messenger (YM), "My wife, my manager". Kutanya, "what's up?" Dia dengan bangga menjawab, "Istriku siapin semua keperluanku dalam rangka aku mau ke Ausiie. Pakaian, bekal makanan, semuanya deh, repot sekali dia, hehehe." Dengan tukas kujawab: "Istri apa babu tuh??". Dia diam, sepertinya tersinggung.
Tipikal egoistis suami. Mau serba dilayani, bangga kalau dilayani, tapi tidak sudi menerima fakta bahwa mereka memperlakukan istri seperti "babu". Bahkan babu alias pembantu rumah tangga masih lebih terhormat ketimbang istri, karena mereka tak perlu melayani kebutuhan seksual, masih digaji, bebas pacaran, dan masih punya jam kerja. Istri?? Jam 2 malam pun kalau suami ingin dilayani, harus pasrah. Menjijikan? Itulah faktanya. Bob Dylan pernah berujar dalam satu lirik lagunya: “Kita tidak bisa menjadi bijaksana dan jatuh cinta dalam waktu bersamaan.” Agaknya memang cocok sekali ujaran Paman Bob itu dengan keadaan para istri.
Dengan dalih cinta, kasih sayang, kadang perempuan rela diperlakukan sehina apapun oleh lelaki. Bahkan banyak kasus dimana istri dianiaya suami namun masih tetap terus ingin mempertahankan perkawinannya. Diselingkuhi ratusan kali, tetap berkeras mencintai suami. Dalihnya cinta atau "kasihan anak-anak". Sesederhana itukah? No way. Para istri terjajah sesungguhnya tidak mencintai suaminya. Mereka hanya terlanjur mengalami ketergantungan mental dan materi, tidak lebih. Kalau ada setitik saja keinginan untuk menjadi mendiri, indipenden, maka untuk keluardari lingkaran setan itu tidaklah teramat sulit.
Yang unik, di zaman dimana perempuan sudah bisa mencari nafkah sendiri, fanatisme terhadap pernikahan tiada habis-habisnya. Sinetron, film, novel, majalah, TV, koran, dan tentu manusia, selalu melukiskan bahwa pernikahan merupakan HAPPY ENDING. Kisah Cinderella dianggap mencapai klimaks kebahagiaan saat Cinderella menikah dengan sang pangeran. Hal serupa berlaku pada Snow White, Beauty and The Beast, Sleeping Beauty, Arok-Dedes, sampai sebagian besar sinetron cengeng di TV swasta kita.
Come on, guys...let’s see the all these facts! Dunia sudah kian padat dengan penduduk. Banyak anak kelaparan, tidak sekolah dan sebagainya. Angka kriminalitas juga kian melonjak. Belum lagi bencana yang tak ada habisnya. Akankah kita melahirkan manusia-manusia baru ke dunia yang tidak menyenangkan ini? Akankah kita tambah aneka kerumitan hidup itu dengan pernikahan yang hanya memperkaya konflik baru?
Saya tidak melarang orang untuk menikah. Sekadar menyadarkan bahwa menikah itu bukan suatu puncak kebahagian. Ada banyak kebahagiaan lain yang bisa direguk sebagai manusia. Berbagi dengan mereka yang kekurangan, membagi materi atau perhatian pada anak-anak yang tak diinginkan orangtuanya atau korban bencana. Itu jauh lebih membahagiakan daripada harus berkeras menjadi istri yang bernasib lebih buruk dari babu.
Tipikal egoistis suami. Mau serba dilayani, bangga kalau dilayani, tapi tidak sudi menerima fakta bahwa mereka memperlakukan istri seperti "babu". Bahkan babu alias pembantu rumah tangga masih lebih terhormat ketimbang istri, karena mereka tak perlu melayani kebutuhan seksual, masih digaji, bebas pacaran, dan masih punya jam kerja. Istri?? Jam 2 malam pun kalau suami ingin dilayani, harus pasrah. Menjijikan? Itulah faktanya. Bob Dylan pernah berujar dalam satu lirik lagunya: “Kita tidak bisa menjadi bijaksana dan jatuh cinta dalam waktu bersamaan.” Agaknya memang cocok sekali ujaran Paman Bob itu dengan keadaan para istri.
Dengan dalih cinta, kasih sayang, kadang perempuan rela diperlakukan sehina apapun oleh lelaki. Bahkan banyak kasus dimana istri dianiaya suami namun masih tetap terus ingin mempertahankan perkawinannya. Diselingkuhi ratusan kali, tetap berkeras mencintai suami. Dalihnya cinta atau "kasihan anak-anak". Sesederhana itukah? No way. Para istri terjajah sesungguhnya tidak mencintai suaminya. Mereka hanya terlanjur mengalami ketergantungan mental dan materi, tidak lebih. Kalau ada setitik saja keinginan untuk menjadi mendiri, indipenden, maka untuk keluardari lingkaran setan itu tidaklah teramat sulit.
Yang unik, di zaman dimana perempuan sudah bisa mencari nafkah sendiri, fanatisme terhadap pernikahan tiada habis-habisnya. Sinetron, film, novel, majalah, TV, koran, dan tentu manusia, selalu melukiskan bahwa pernikahan merupakan HAPPY ENDING. Kisah Cinderella dianggap mencapai klimaks kebahagiaan saat Cinderella menikah dengan sang pangeran. Hal serupa berlaku pada Snow White, Beauty and The Beast, Sleeping Beauty, Arok-Dedes, sampai sebagian besar sinetron cengeng di TV swasta kita.
Come on, guys...let’s see the all these facts! Dunia sudah kian padat dengan penduduk. Banyak anak kelaparan, tidak sekolah dan sebagainya. Angka kriminalitas juga kian melonjak. Belum lagi bencana yang tak ada habisnya. Akankah kita melahirkan manusia-manusia baru ke dunia yang tidak menyenangkan ini? Akankah kita tambah aneka kerumitan hidup itu dengan pernikahan yang hanya memperkaya konflik baru?
Saya tidak melarang orang untuk menikah. Sekadar menyadarkan bahwa menikah itu bukan suatu puncak kebahagian. Ada banyak kebahagiaan lain yang bisa direguk sebagai manusia. Berbagi dengan mereka yang kekurangan, membagi materi atau perhatian pada anak-anak yang tak diinginkan orangtuanya atau korban bencana. Itu jauh lebih membahagiakan daripada harus berkeras menjadi istri yang bernasib lebih buruk dari babu.
Subscribe to:
Posts (Atom)