Thursday, December 22, 2005

Ibu, Sini Kutonjok Wajahmu, Kata Anak Lelaki Itu


Di Hari Ibu, saya hanya bisa membeberkan fakta ini.
Sebuah kisah yang saya petik dari blog seorang teman. Teman ini adalah lelaki yang sadar bahwa tidak semua kaumnya bisa menjadi pelindung kaum perempuan. Justru sebaliknya, lelaki yang “gagah perkasa” bisa jadi boomerang bagi pasangan hidupnya. Bahkan menular ke anak lelaki yang berisiko bisa tumbuh jadi lelaki yang mencintai kekerasan terhadap lawan jenis.
Salut buat Iwan, si penulis . Sengaja saya copy paste di sini agar lelaki lain sudi membuka matanya.


(Sori Wan, gue edit ya tulisannya, abis puanjang buanget).

Jelang tengah hari itu (23/10/2005) di seputaran jalan gatsu bandung, saya, my queen, dan temennya my queen Intan baru mau masuk ke sebuah toko busana.

begitu pintu toko dibuka, keluar seorang bapak menggendong anak laki2nya yang nangis. tangisan anak itu kenceng sekali.

oleh sebab apa anak itu menangis? bila mengingat pengalaman sendiri, kemungkinan karena permintaan yang tidak dikabulkan, atau paling tidak kesel ama orang tuanya.

karena yang menggendong keluar toko si Bapak, kemungkinan anak itu lagi kesel sama ibunya. Anak laki2 itu berusia sekitar empat tahun. kakak laki2nya sekitar 7-8 tahun. Saat menghambur ke ibunya, Bapaknya bilang anak itu pengen digendong. Ibunya pun menggendong anak itu sambil berujar,"tapi jangan nonjok ya A?"

Anak kecil itu malah memekik, tangan kirinya yang kecil dan ringkih tapi sudah siap terkepal itu ia ayunkan ke belakang tubuh, dan berusaha menonjok ibunya di wajah.
Ibunya beberapa kali berusaha menangkis tonjokkan tangan terkepal yang kecil dan ringkih itu. berkali pula sia anak semakin memekik. karena upayanya terhalangi.

Kakak perempuannya yang menyaksikan terpana dan pilu hanya bisa meratap,"Udah atuh A, jangan..."

Si Ibu kemudian dengan setengah paksa menurunkan anak itu. dan menolak menggendongnya lagi. dan si Bapak yang sama sekali tak berusaha melerai upaya penonjokkan itu, membawa kembali anak itu ke luar toko.
Ada satu lagi saudara dari keluarga itu. Perempuan dewasa. Dia juga terlihat tidak ikut campur dengan keadaan tersebut. Sepertinya dia tidak tinggal serumah dengan keluarga itu
Saya yang hanya beberapa sentimeter ikut terpana. dan sempat mau ikut campur untuk menahan tangan yang kecil dan ringkih dari anak itu untuk menonjok ibunya. sedikit geram melihat si Bapak yang tak berusaha menahan anak laki2nya itu. malah jadi terkesan membiarkan. atau apakah karena adegan itu sudah biasa terjadi, di rumah mereka? Atau di mana saja ada pemantiknya hingga adegan seperti itu harus berulang?
Masih jadi misteri sebenarnya, apa yang menyebabkan anak itu menangis keras. dan tumpahan kekesalannya adalah harus menonjok ibunya, di wajah.

Belum berapa lama, masih dalam keadaan menangis anak laki2 itu kembali masuk toko. Rupanya si Bapak tak mampu menenangkan anak itu di luar. Si Ibu dan kakak perempuannya tengah berada di kamar pas. Si Bapak mengetuk pintu kamar pas, dan anak kecil itu pun ikut masuk ke kamar pas. Si Bapak kemudian kembali ke luar toko. Saat membuka pintu, ntah kenapa matanya sempat beradu pandang dengan saya.
Sorot matanya ke saya susah saya jelaskan. Yang jelas sosoknya tinggi besar. Biasa saja. Saya hanya bisa berujar dalam hati Bapak itu termasuk beruntung bisa mendapatkan istri yang cantik. Anak perempuannya juga cantik, mirip ibunya. Sedang anak laki2 itu mirip bapaknya. Biasa. Jadi terlihat menyebalkan meski masih anak-anak, karena menyaksikan gesturnya saat hendak menonjok ibunya.
Sambil jongkok Ibu itu bilang dengan pasrah, dengan wajah setengah disodorkan ke anak laki2nya yang berdiri di hadapannya,”Ya sok atuh A, tonjok.”
Dan Bukk!! Ternyata tangan yang kecil dan ringkih itu sangat cukup membuat si Ibu kesakitan. Sambil mengaduh serta merta si Ibu kedua tangan si ibu menutup wajahnya. Kakak perempuan anak laki2 itu kembali bilang,”Sudah atuh A, jangan.”
Si anak laki2, dia terdiam dan tangisnya terhenti karena objek tonjokannya tertutup. Tapi gesturnya tetap siap untuk menonjok. Sesaat kemudian si Ibu itu menghambur keluar kamar pas dengan wajah menahan nyeri dan tangis. “Sudah ah, moal bener.”
Dan saat itu juga si anak laki2 itu kembali memekik keras-keras. Saya yang terpana hanya bisa menduga-duga. Si anak laki2 itu kembali menangis karena dia belum puas menonjok ibunya. Si anak laki2 itu kembali menangis karena ibunya pergi dari hadapannya.
Dugaan saya, terdiamnya si anak laki2 itu tapi dengan gestur masih siap menonjok, hanya karena Ibunya langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. Andai si Ibu tidak kesakitan seperti itu, apa yang akan saya saksikan sepertinya si anak laki2 itu akan menonjoki ibunya. Tidak hanya menonjok.
Di mobil, setelah saya, my queen, dan Intan juga selesai berbelanja di toko itu dan menuju ke tempat lain, saya ceritakan apa yang saya saksikan tadi. Terutama kejadian di kamar pas itu ke my queen. My queen percaya, anak sekecil itu tidak mungkin bisa berbuat demikian tanpa ada yang mengajari. Atau paling tidak mendapat contoh yang ia saksikan sendiri.
Kalau pun ada yang mengajari, siapa? Kakak perempuannya seperti tidak mungkin. Karena dia dengan semampunya berusaha menghindarkan aksi penonjokkan itu. Dengan usaha hanya melalui ucapan, itu pun dengan nada yang terdengar meratap, selama ini pun (andai memang aksi itu kerap atau cukup sering terjadi), kakak perempaun itu memang juga tersiksa secara batin sebagai penyaksi aksi tersebut.

Kalau pun anak laki2 itu mendapat contoh (untuk menonjok dan menonjokki ibunya) dari contoh buruk teramat kejam yang ia saksikan sendiri, lalu siapa yang suka ia saksikan menonjok atau menonjokki ibunya itu?
Ingatan saya kembali ke detik2 ketika dua sorot mata itu beradu pandang dengan saya. saat sosok badan tinggi besarnya membuka pintu hendak keluar toko.
Wallahualam bisshawab. Ya Allah, tolong Ibu itu. selamatkan dirinya dari kehinaan manusia. Semoga keselamatan selalu menyertai Ibu itu. Semoga tidak lagi tonjokkan2 yang menerpa wajahnya. Semoga kekerasan (dan sudah mengakar itu) enyah dari raga dan batinnya. Amien.

17 comments:

Vendy said...

percaya karma ?

Anonymous said...

bisa aja si bapak itu tuh yg dicontoh si anak....

nah si bapak tadi pasti belajar dari bapaknya lagi, si kakek belajar dari bapaknya juga..dst dst nya sampe cerita adam n hawa...semenjak makan buah terlarang itulah mungkin mulai ada tonjok2an...gara2 emak2 juga kan yang makan "buah" itu...lho kok, nyambung ga seehhhh??

...terus begitu...emang emak2 pada ngapain sih? sampe anak2nya (anak laki2) bisa begitu???

Anonymous said...

untung anak gue cewek..dan ngga pernah nonjok.nyubit aja ngga pernah, apalagi nonjok!

Sang Matahari said...

Tetangga gue dulu mati jantungan, karena ternyata mendengar anak perempuannya yg kerja di kota lain, diam-diam pindah agama dan kawin dgn lelaki lain iman...

Cewe nya gak pake nonjok sih, cuma buat mati mendadak ibunya aja.... -:D

Anonymous said...

Saya suka mampir ke blog kamu, saya pikir kamu wanita berkarakter, hampir2 saya saya bilang kamu itu " intellectually sexy".

Pernah kamu dengar istilah "Tantrum" yg kerap di alami oleh anak2 yg menderita Autism? Judging from the description, i have strong reason to believe bahwa anak yg menjerit jerit tadi adalah anak yg mengalami "tantrum". Saya ngga perlu jelaskan panjang lebar apa itu tantrum, kamu cari sendiri aja, kalo dugaan saya tepat, maka semestinya kamu kasihan sama ibu dan bapaknya, bukan langsung mencurigai bapaknya ngajarin gitu.
Sometimes it's not what you saw, it's because you don't know. I think you'd better not jump into conclusion like that. Do not see things as simply black or white. The color of the world is grey.

Sang Matahari said...

Komentar bagus dari Anonymous di atas gue... Mungkin Mer perlu baca dulu spektrum gangguan anak-anak Autis, termasuk yang tantrum berat dan tak terkendali. I know this better because one of my children is autism child...

Satu hal yang gue liat dari posting-posting Merry, Ibu kita yang satu ini terlalu cepat men-generalisir sesuatu hanya dengan melihat suatu kejadian pada moment tertentu, lantas jump into conclusion "sepihak" tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan "positif" lainnya :D

But who cares?? Ini cuman blog kok... jadi suka-suka gue, donk... blognya blog gue, karimun karimun gue.. suka-suka gue donk .. gitu kali kata Merry dalam hati...hehe

Anonymous said...

Doh, ada lagi ya istilah intelectually sexy? Bisa dijelaskan, anonymous? Hehe.
Kalau saya bilang, merry ini hanye mencoba memaparkan apa yg ada di pikirannya dan perasaanya. gak lebih.
pendapat orang beda-beda. maka kalo mau punya pendapat beda ya bikin blog ndiri. Hihihi. Kenapa ngga pada bikin blog sendiri dan mencoba menuangkan pikirannya ndiri?
untuk bikin blog ngga harus jadi pakar kan? kalo mau dengerin omongan orang pakar ya baca buku atau nonton tipi aja. sorry, ngga cari musuh. cuma berusaha netral ajah.

Anonymous said...

Happy Mother's Day...

Cheers,
Soen

Kiath said...

Gambaran ceita seperti ini sering gua lihat sendiri. Perilaku anak bisa aja karena melihat "aksi" papanya atau karena terlalu banyak main game yang cukup brutal. Sayang sekali memang kalau kedua orang tuanya membiarkan anaknya sesuka hati menonjok, memukul. Apakah mungkin karena mereka hanya punya satu anak laki-laki ? Ga tau bagaimana kalau udah besar nanti. Orang tua gua sering bilang anak-anak ibarat rotan, masih bisa dibentuk karena masih lunak, tapi kalau udah remaja/dewasa ibarat bambu, sudah sulit dibentuk. Gua juga baru punya satu anak laki-laki. Sudah umur 6 tahun tapi kalau lagi nakal selalu gua hukum. Gua hanya berharap dia tau mana yang baik dan mana yang buruk. Selagi gua masih kuat untuk membimbingnya. Hopefully dia bisa tumbuh menjadi orang yang baik.

Anonymous said...

Yak..betul banget. Menanggapi komen soal teori tantrum, kalo emang anak itu mengidap tantrum, kok yg dipukul cuma ibunya? Kenapa ngga bapaknya atau kakaknya? Apa ada lagi penyakit baru selain oedipus komplek, yakni algojo komplek??

Anonymous said...

Warna dunia itu abu - abu, bener sekali. Anak itu mengidap tantrum, mungkin sekali. Anak itu belajar dari orang tuanya, pasti sekali. Apapun masalahnya, kesan saya, orang tuanya kurang memahami bagaimana mengarahkan anak tersebut. Hikmah dari cerita ini, bagaimanapun anak adalah Amanat Allah, meski lahir melalui kita, tapi seperti kata Gibran, bukan milik kita. Maka menurut saya: 1) wajib bagi ortu (& calon ortu) memahami psikologi perkembangan, karena ortu seharusnya menjadi paling tahu apa yang dirasa oleh anak, DAN mengarahkannya pada yang lebih positif. 2) wajib bagi ortu untuk konsultasi ke psikolog anak jika merasa ada yang di luar jangkauannya atau ragu - ragu. Saya sering berpikir, bekal saya jadi suami ketika menikah masih kurang, kurang memahami psikologi kaum venus, puji syukur berkat istri yang pengertian dan komunikasi yang lancar, saya bisa belajar banyak tentang kaum venus justru setelah menikah. Begitu juga tentang kehamilan dan anak, istri hamil baru kelabakan mencari informasi tentang perlakuan terhadap sang jabang bayi. Anak lahir baru kelabakan lagi. Padahal sudah jelas sekali, kesalahan perlakuan ketika sembilan bulan di kandungan, bisa berakibat menjadi cacat seumur hidup (meski sebagaian cacat anak adalah ujian bagi ortu). Dan kemampuan anak (delapan jenis kecerdasan) kalau tidak salah 70% didapat pada masa emas. Puji syukur berkat istri yang dari jurusan pendidikan dan kemauan kami beli buku dan belajar, kami bisa belajar banyak justru setelah menikah. Namun tetap saja, sedikit banyak ada penyesalan, seandainya bekal ini sudah kami dapat ketika pendidikan formal di sekolah, tentu jatuhnya selain lebih murah juga lebih maksimal. Saya merasa dari sekolah dapat banyak tentang mikro-kosmos, makro-kosmos, dan sejenisnya, tapi kenapa tentang rumah tangga nyaris NOL ? Harusnya pelajar PKK di-revitalisasi sebagai pelajaran bekal berumah tangga, bukan sekedar belajar memasak atau menjahit.

Anonymous said...

Barusan gw baca sebuah koran (pos kota apa warta kota gw ga tau pasti)
"seorang istri tukang sate keliling selingkuh ketika suaminya lagi keliling jualan sate"...
Hhmm...pasti suaminya ga bisa memenuhi kebutuhan istri...
Bagaimana menurutmu dengan judul ini "seorang lelaki kepergok lagi selingkuh ketika istrinya lagi hamil tua"
Uuaahh..!!! dasar ga punya otak...

beginilah selalu....

SinceYen said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said...

Hi,wah.. asik mbaca blogmu, 'gak bisa brenti di hanya satu cerita :-) Jadi sampe di sini deh.

Aku kok jadi bingunk ya, kenapa si ibu itu mesti bersikap "mengalah" begitu? Itu kan tidak mendidik. Sedikit jeweran toch tidak berarti mishandling. Si anak harus belajar tatakrama sejak dini kan?
Tatakrama? Di manakah dikau?
Apa karena si ibu itu berada di bawah "kekuasaan" lakinya ya?

Anonymous said...

betul komen yg diatas saya ne
emang harus tegas mendidik anak

salah kedua orang tuanya
'lembek"

Anonymous said...

Mungkin juga si anak belajar dari ayahnya. Tapi seharusnya sang ibu bisa bersikap lebih tegas terhadap anaknya sendiri. Karena, jika di masa mendatang sifat anak itu tidak berubah maka ibunya juga ikut bertanggungjawab. Iya lah... dia yang melahirkan dan dialah yang paling dekat dengan buah hatinya itu. Ini pelajaran bagi ibu-ibu yang laen. Supaya kalo anaknya memiliki bibit-bibit perilaku yang kurang pantas seperti bocah 4 tahun itu, mulailah mengikis perilaku itu sejak dini. Jangan tunggu anak Anda menjadi begundal jahanan baru menyesal dan mengatai dia sebagai ANAK DURHAKA.
Ya...jangan tunggu penyesalan datang. Cegahlah sedini mungkin dengan berbagai metode yang pas. Kan banyak psikolog, psikiater de-el-es-be.... iya tak..?

Anonymous said...

I honestly doubt that this story actually happened.