Thursday, June 29, 2006
Pelipur Lara itu Bernama Embroideries
Iya! Aku punya sepupu laki-laki yang selalu bilang dia hanya mau menikah dengan gadis yang masih perawan. Kemarin dia meneleponku, katanya dia mau berubah pikiran. Waktu aku mengucap selamat karena kupikir dia sudah sadar, dia bilang “Marji, aku berubah pikiran karena tidak ada lagi gadis-gadis yang masih perawan.”Itu petikan percakapan Marji, tokoh dalam buku Embroideries karya Marjanne Satrapi. Sebuah buku komik dewasa tentang percakapan khas perempuan. Gambarnya sederhana tapi lucu, mampu menggambarkan semua adegan secara pas.
Buku itu sudah menarik hati sejak pertama melihatnya di toko. Dan akhirnya seorang sahabat memberikannya sebagai kado pelipur lara setelah saya kena musibah seminggu silam. Dan manjur! Saya betul-betul terhibur karenanya!
Ada kisah tentang istri yang takut suaminya selingkuh. Ia menjalani operasi memindahkan daging di pantatnya yang besar ke payudaranya. Sang suami jadi tergila-gila padanya lagi. “Si tolol itu tidak sadar bahwa tiap kali ia mencium payudaraku sesungguhnya ia mencium pantatku!”
Tidak ketinggalan kisah sarkas perempuan-perempuan Iran yang dipaksa kawin muda dengan lelaki tua kaya raya berkedudukan tinggi. “Begitu aku melihat punggungnya yang berkerut, aku baru sadar aku tak mau menikah dengannya,”ungkap seorang tokoh tentang kisahnya yang menikah pada usia 13 tahun dengan lelaki yang 56 tahun lebih tua.
Selintas komik dewasa ini hanya hiburan pelepas stress. Tapi bagi saya, ada banyak hal tersirat dalam goresan tangan perempuan Iran yang menetap di Paris ini. Semua berkutat seputar perbincangan kaum Hawa tentang cinta, lelaki, uang dan seks. Tentang betapa hidup dan masyarakat serta tradisi seringkali tidak berpihak pada mereka.
Satu lagi adegan favorit saya: ketika sang nenek mengacungkan jari berteriak ,” BRAVO!” saat berkomentar tentang kebodohan suami yang menciumi pantat istrinya yang berpindah ke payudara tadi!
Hahaha!
Thanks berat, Ajeng!
Tuesday, June 20, 2006
Tamara sebagai Manusia
Wajah cantik yang biasanya tampil cool tersebut mendadak saja penuh ekspresi. Tidak biasanya seorang Tamara Blezinsky tampil emosionil di depan umum. Bahkan pada saat kasus perceraiannya, perempuan indo Cheko itu masih mampu “jaga image”.
“Kalau untuk urusan lain, saya masih bisa tahan. Tapi untuk urusan anak, saya tak tahan lagi,” ungkap Tamara diiringi isak tangis di sebuah acara infotainmen. Kemudian ia mengisahkan bagaimana kronologi pengusiran dirinya oleh mantan mertua saat ingin menemui anaknya Rasya.
Melihat Tamara saat itu, saya baru melihat artis sebagai manusia biasa. Tamara bukan sosok cantik nan ayu dengan peran-peran menawannya di sinetron. Ia hanya perempuan biasa. Ibu dari seorang anak yang coba dipisahkan. Saya seperti melihat diri saya sendiri beberapa tahun lalu, ketika Libby coba dipisahkan dari saya. Kisah yang saya alami mirip sekali dengan Tamara. Dilarang menemui anak kandung. Itu merupakan sisi terkelam dari hidup saya. Rasanya lebih baik mati daripada harus terpisah dari darah daging sendiri. Serasa kiamat dunia akherat.
Jadi ketika saya menyaksikan Tamara yang cantik itu tersedu sedan di layar televisi, saya amat sangat dapat paham sekali posisinya. Hal serupa terjadi ketika saya melihat Zarima yang anaknya diculik oleh lelaki yang bukan ayahnya.
Pembaca yang belum pernah memiliki anak, tentu menganggap tulisan ini terlalu mendramatisir, berlebihan, norak, kampungan, cengeng. Namun bagi para ibu sejati, tentu dapat memahami.
Memisahkan seorang ibu dari anaknya adalah perbuatan paling biadab di muka bumi. Lebih dari fitnah atau pembunuhan.
Para lelaki bisa saja dengan mudah tidak mengakui anak kandungnya. Lelaki gampang saja menelantarkan darah dagingnya. Lelaki silakan saja menyuruh pasangannya melakukan aborsi demi menjaga nama baik. Atau bahkan menjual atau membunuh bayinya. Bisa juga pelakunya perempuan.
Tapi bagi seorang ibu sejati, lebih baik mati ketimbang harus berpisah dengan anaknya!
“Kalau untuk urusan lain, saya masih bisa tahan. Tapi untuk urusan anak, saya tak tahan lagi,” ungkap Tamara diiringi isak tangis di sebuah acara infotainmen. Kemudian ia mengisahkan bagaimana kronologi pengusiran dirinya oleh mantan mertua saat ingin menemui anaknya Rasya.
Melihat Tamara saat itu, saya baru melihat artis sebagai manusia biasa. Tamara bukan sosok cantik nan ayu dengan peran-peran menawannya di sinetron. Ia hanya perempuan biasa. Ibu dari seorang anak yang coba dipisahkan. Saya seperti melihat diri saya sendiri beberapa tahun lalu, ketika Libby coba dipisahkan dari saya. Kisah yang saya alami mirip sekali dengan Tamara. Dilarang menemui anak kandung. Itu merupakan sisi terkelam dari hidup saya. Rasanya lebih baik mati daripada harus terpisah dari darah daging sendiri. Serasa kiamat dunia akherat.
Jadi ketika saya menyaksikan Tamara yang cantik itu tersedu sedan di layar televisi, saya amat sangat dapat paham sekali posisinya. Hal serupa terjadi ketika saya melihat Zarima yang anaknya diculik oleh lelaki yang bukan ayahnya.
Pembaca yang belum pernah memiliki anak, tentu menganggap tulisan ini terlalu mendramatisir, berlebihan, norak, kampungan, cengeng. Namun bagi para ibu sejati, tentu dapat memahami.
Memisahkan seorang ibu dari anaknya adalah perbuatan paling biadab di muka bumi. Lebih dari fitnah atau pembunuhan.
Para lelaki bisa saja dengan mudah tidak mengakui anak kandungnya. Lelaki gampang saja menelantarkan darah dagingnya. Lelaki silakan saja menyuruh pasangannya melakukan aborsi demi menjaga nama baik. Atau bahkan menjual atau membunuh bayinya. Bisa juga pelakunya perempuan.
Tapi bagi seorang ibu sejati, lebih baik mati ketimbang harus berpisah dengan anaknya!
Saturday, June 10, 2006
My "Weird" Point of View about Handsome Guy
Setiap orang mengalami perubahan cara pandang. Bahkan dalam hitungan menit dan detik. Demikian pula saya.
Cara pandang saya terhadap seseorang atau sesuatu selalu berubah dari waktu ke waktu. Berikut adalah cara pandang saya mengenai cowok ganteng, keren, kaya lagi pintar. Tipikal cowok idola sepanjang masa. Dan sayangnya, ternyata my point of view terhadap spesies ini sangat berbeda dengan mayoritas perempuan di muka bumi. Mungkin itu yang bikin saya "aneh".
Usia 10-15: Huh, Si Aji, cowok idola sekolah itu selalu cari perhatian dimana-mana. Gue juga dijadiin ajang TP (tebar pesona). Menjijikan. Memang keren sih, cuma kalo centilnya ngalahin cewek, mending gue pacaran sama tukang ojek kali!
Usia 16-20: Wow, tuh cowok keren abis. Pinter, ganteng, tajir, ngga ada matinya. Tapi malah makan hati kali ya kalo pacaran ama dia. Yang ada gue malah jadi “public relation” dia kali. Rugi!
Usia 21-25: Lumayan buat cuci mata, dijadiin temen buat dongkrak popularitas gue, sekalian bisa nebeng mobilnya, plus nyontek tugas-tugas kuliah. Sempet sih “ditembak” sama cowok model begituan, tapi kok gue malah ngeri ya. Jangan-jangan gue cuma mau dijadiin salah satu “piaraannya”.
Usia 25-30: Cowok ganteng, pinter dan tajir? Nggak penting banget deh. Yang penting sekarang adalah gimana gue dapat hidup tenang, tenteram, tanpa perlu merisaukan banyak hal, termasuk urusan cowok.
Sunday, June 04, 2006
Si Miskin Menyantuni Si Kaya?
“Saya adalah bandit. Saya hidup dari merampok orang kaya.”
“Saya seorang jentelmen, Saya hidup dari merampok orang miskin.”
(Man and Superman, A Comedy and Philosophy, Bernard Shaw)
Sadarkah anda bahwa orang kaya bisa hidup berkat orang miskin? Fakta menyakitkan itu saya alami baru-baru ini.
Akhir pekan kemarin saya mendapat SMS menyedihkan. Seorang bos side job saya menghentikan kontrak kerja. Alasannya tidak kuat lagi meng-hire saya. Telusur punya telusur, kebutuhannya membengkak karena seorang anaknya akan bersekolah di luar negeri. Hebat.
Di satu sisi saya bangga karena anak bos saya bisa sekolah di luar, sebuah kemampuan yang tak dapat dinikmati sembarang orang. Tapi di lain sisi, saya miris. Kenapa? Pendapatan yang saya dapat dari side job saya itu sangat membantu kepulan periuk nasi rumah saya. Berkat income tambahan tersebut, saya dapat sedikit menabung untuk kuliah anak saya kelak. Apa daya, income itu akan segera terputus.
Di obrolan dengan seorang teman saya mengeluh, “Demi anak bos sekolah di luar negeri, anak gue terancam ngga bisa kuliah..hiks!”
Si teman tertawa. Saya juga. Tawa sarkastis.
Orang miskin menyantuni orang kaya? Itulah yang terjadi di muka bumi ini. Rakyat kelaparan demi anak pejabat bisa belanja-belanji di Eropa. Pegawai kecil mengencangkan ikat pinggang agar istri bos besar dapat ke butik memborong gaun mahal dan emas berlian. Jadi ingat kasus Raja Louis ke berapa entah yang memaksa rakyatnya puasa agar ia selalu punya persediaan tepung buat dijadikan bedak.
Maaf, kali ini postingan saya bukan soal gender.
“Saya seorang jentelmen, Saya hidup dari merampok orang miskin.”
(Man and Superman, A Comedy and Philosophy, Bernard Shaw)
Sadarkah anda bahwa orang kaya bisa hidup berkat orang miskin? Fakta menyakitkan itu saya alami baru-baru ini.
Akhir pekan kemarin saya mendapat SMS menyedihkan. Seorang bos side job saya menghentikan kontrak kerja. Alasannya tidak kuat lagi meng-hire saya. Telusur punya telusur, kebutuhannya membengkak karena seorang anaknya akan bersekolah di luar negeri. Hebat.
Di satu sisi saya bangga karena anak bos saya bisa sekolah di luar, sebuah kemampuan yang tak dapat dinikmati sembarang orang. Tapi di lain sisi, saya miris. Kenapa? Pendapatan yang saya dapat dari side job saya itu sangat membantu kepulan periuk nasi rumah saya. Berkat income tambahan tersebut, saya dapat sedikit menabung untuk kuliah anak saya kelak. Apa daya, income itu akan segera terputus.
Di obrolan dengan seorang teman saya mengeluh, “Demi anak bos sekolah di luar negeri, anak gue terancam ngga bisa kuliah..hiks!”
Si teman tertawa. Saya juga. Tawa sarkastis.
Orang miskin menyantuni orang kaya? Itulah yang terjadi di muka bumi ini. Rakyat kelaparan demi anak pejabat bisa belanja-belanji di Eropa. Pegawai kecil mengencangkan ikat pinggang agar istri bos besar dapat ke butik memborong gaun mahal dan emas berlian. Jadi ingat kasus Raja Louis ke berapa entah yang memaksa rakyatnya puasa agar ia selalu punya persediaan tepung buat dijadikan bedak.
Maaf, kali ini postingan saya bukan soal gender.
Friday, June 02, 2006
Proficiat, Halimah!
Saya pernah mencintai atau jatuh cinta dengan suami orang, pacar orang, kekasih orang, tunangan orang. Teman saya juga. Beberapa kawan pun demikian. Bahkan saudara saya demikian halnya. Yakin sekali, nyaris semua perempuan pernah mencintai lelaki beristri atau bertunangan.
Apakah dilarang mencintai, jatuh cinta, mengagumi lelaki yang sudah menjadi suami, kekasih, pacar, tunangan perempuan lain? Tidak. Sebab perasaan tak mampu dibendung. Cinta itu sama dengan benci. Bisa muncul tanpa alasan logis. Menghilangkan rasa cinta sama susahnya dengan menghapus rasa benci. Tidak ada perasaan yang salah.
Yang menjadi pokok masalah adalah, apakah kita akan melanjutkan perasaan itu ke tahap selanjutnya: mewujudkanya. Pada kasus Mayang Sari, ia mencintai Bambang Tri yang jelas sudah berkeluarga. Itu tidak salah. Yang salah adalah ketika Mayang tidak berusaha "tahu diri" menahan diri, menahan perasaannya dan berusaha mewujudkan rasa cinta itu. Kelamaan rasa itu berkobar, menjelma jadi rasa ingin memiliki. Muncullah niat buruk itu : merebut si lelaki dari empunya yang syah.
Sekali lagi saya ulangi, saya pernah mencintai lelaki beristri. Lucky me, saya tidak kebablasan seperti Mayang Sari. Saya tahu diri, bisa mengendalikan rasa itu dengan logika. Bayangkan saja kalau saya ada di posisi Halimah.
Kini yang menjadi masalah adalah apakah si empunya lelaki yang syah akan mempertahankan si lelaki atau tidak. Bukan tentang cemburu, otoritas dan sejenisnya, namun lebih kepada mempertahankan apa yang sudah dimiliki.
Walau saya pernah mencintai lelaki beristri, saya tetap menyerukan : PROFICIAT, HALIMAH! Pertahankan apa yang sudah kau miliki!
Subscribe to:
Posts (Atom)