Tuesday, June 20, 2006

Tamara sebagai Manusia

Wajah cantik yang biasanya tampil cool tersebut mendadak saja penuh ekspresi. Tidak biasanya seorang Tamara Blezinsky tampil emosionil di depan umum. Bahkan pada saat kasus perceraiannya, perempuan indo Cheko itu masih mampu “jaga image”.

“Kalau untuk urusan lain, saya masih bisa tahan. Tapi untuk urusan anak, saya tak tahan lagi,” ungkap Tamara diiringi isak tangis di sebuah acara infotainmen. Kemudian ia mengisahkan bagaimana kronologi pengusiran dirinya oleh mantan mertua saat ingin menemui anaknya Rasya.

Melihat Tamara saat itu, saya baru melihat artis sebagai manusia biasa. Tamara bukan sosok cantik nan ayu dengan peran-peran menawannya di sinetron. Ia hanya perempuan biasa. Ibu dari seorang anak yang coba dipisahkan. Saya seperti melihat diri saya sendiri beberapa tahun lalu, ketika Libby coba dipisahkan dari saya. Kisah yang saya alami mirip sekali dengan Tamara. Dilarang menemui anak kandung. Itu merupakan sisi terkelam dari hidup saya. Rasanya lebih baik mati daripada harus terpisah dari darah daging sendiri. Serasa kiamat dunia akherat.

Jadi ketika saya menyaksikan Tamara yang cantik itu tersedu sedan di layar televisi, saya amat sangat dapat paham sekali posisinya. Hal serupa terjadi ketika saya melihat Zarima yang anaknya diculik oleh lelaki yang bukan ayahnya.

Pembaca yang belum pernah memiliki anak, tentu menganggap tulisan ini terlalu mendramatisir, berlebihan, norak, kampungan, cengeng. Namun bagi para ibu sejati, tentu dapat memahami.

Memisahkan seorang ibu dari anaknya adalah perbuatan paling biadab di muka bumi. Lebih dari fitnah atau pembunuhan.

Para lelaki bisa saja dengan mudah tidak mengakui anak kandungnya. Lelaki gampang saja menelantarkan darah dagingnya. Lelaki silakan saja menyuruh pasangannya melakukan aborsi demi menjaga nama baik. Atau bahkan menjual atau membunuh bayinya. Bisa juga pelakunya perempuan.

Tapi bagi seorang ibu sejati, lebih baik mati ketimbang harus berpisah dengan anaknya!

15 comments:

Anonymous said...

Ya begitulah hati seorang ibu, ingatlah pepatah "Kasih Ibu Sepanjang Jalan Kasih Anak Sepanjang Galah"
Saya aja yang baru dikaruniai anak berusia 7,5 bulan, emang bener perasaan/kasih sayang saya pada anakku gimana gitu ... jadi bener-bener merasakan kasih sayang orang tuaku terutama ibuku.
Dialah(anakku) yang mengikat kasih sayang yang mulai retak diantara orang tuanya, ketika berpikir kesenangan sendiri jadi kepikiran juga kesenangan/kebahagiaan anakku.
Anakku akan berada diantara orang-orang yang menyayanginya dan yang memberikan kebahagian hari ini dan masa depannnya.
Kalaupun terjadi hal-hal yang tidak pernah kepikiran/diharapkan, semoga anakku tetap merasakan keluarganya/kehidupannya tetap utuh.
Sesungguhnya anak itu hanya titipan Yang Kuasa, kita sekedar memelihara titipan-Nya, seandainya titipan itu diambil oleh-Nya apapun caranya semoga kita sabar dan tabah, yang terpenting kita benar-benar memelihara dan menjaga titipan itu sehingga ketika diambil-Nya, tetap seperti keadaan semula dan semoga pemeliharaan dan penjagaan kita dibalas dan diterima oleh Yang Maha Kuasa, Amiin

Anonymous said...

mbak .. mo nanya ... khan sekarang banyak orang tua - terutama ibu-ibu - yang mati-matian mengorbitkan anaknya dalam dunia entertain ... itu eksploitasi bukan?

sorry agak oot ... mungkin kalau ditarik lebih jauh, posisi ibu banyak juga yg "tega" thd anaknya .....

Anonymous said...

my 2 cents : by default seorang anak itu harus nya mutlak "milik" biological parents nya. milik di sini bukan berarti si anak jadi seperti pet/properti ortu nya tapi ortu nya lah yg paling berhak mengarahkan & membimbing bagaimana si anak will best live his/her life.

kalo masalah siapa di antara bapak ato ibu yg lbh berhak atas anak bila terjadi perceraian, saya cenderung setuju kalo by default si ibu yg lbh berhak karena "investasi2" si ibu lbh banyak --> 9 bulan mengandung, mengalami sakit waktu bersalin, menyusui si anak.
tapi seyogya nya dilihat case by case supaya tidak membabi-buta & membabi-budeg , dalam kasus tamara dia yg memulai pengin cerai sehingga (barangkali) masyarakat awam ber-opini bahwa tamara bukan seorang ibu "baik2" yg harus nya mencoba mempertahan kan keutuhan rumah tangga nya demi kebahagiaan sang anak. apalagi kesan yg timbul adalah tamara pengin cerai sebab suami nya itu tak mampu memberikan nafkah lahir yg memadai menurut standard nya si tamara --> terkesan si tamara ber-azas "fulus uber alles" dan bukan nya "liebe uber alles".

Anonymous said...

cobain deh.....

pagi-pagi makan pisang goreng dicocol mentega plus coklat meses dan secangkir kopi panas

slurrrrrrppppppp.....nikmat!

ame said...

*cengar cengir ngga jelas trus ngeloyor....* :P

Anonymous said...

johnny, sewaktu aku kasi tau bhw aku mo buat pisang goreng , temen2 british and chinese ku terheran2, "how could you fry banana???". n waktu mrk melihat wujud pisang goreng itu , salah satu temen ku bilang sambil mengamati pisang goreng ku lekat2 ,"well, next time I can fry apple !"

Anonymous said...

kekekekek...nenas goreng udah pernah denger belon?... ada tuh di bandung + bandrek!

walah penggunaan kata "lekat-lekat" udah lama tuh ga pernah gue denger...

Anonymous said...

wah apa hubungannya tamara ama pisang gorang...? yak

Anonymous said...

Loh apa gak salah mbak Merry?
Setahu saya yang gak bisa ketemu ma Rasya (anak) kan si Rafli (bpknya) bukan Tamara (ibunya).

Anonymous said...

kalo ga salah...Maimunah (nenek dari bpknya rasya (rafli))

Anonymous said...

Jadi ketika saya menyaksikan Tamara yang cantik itu tersedu sedan di layar televisi, saya amat sangat dapat paham sekali posisinya. Hal serupa terjadi ketika saya melihat Zarima yang anaknya diculik oleh lelaki yang bukan ayahnya.

comments:
Mbak, bukannya si Zarima itu sempat mau menggugurkan kandungan? Apa itu pertanda ibu yang baik?

Memisahkan seorang ibu dari anaknya adalah perbuatan paling biadab di muka bumi. Lebih dari fitnah atau pembunuhan.

comments:
Kalau memisahkan ayah dari anaknya seperti yang dilakukan Tamara itu perbuatan macam apa? Bukankah ayahnya juga berhak bertemu anaknya?

Anonymous said...

Satu :
Mbak Mer, kok ga ulas kisah Ibu Aniek lulusan planeologi ITB yg sengaja membunuh, ulangi lagi : SENGAJA MEMBUNUH 3 (TIGA!) anaknya dalam waktu yg berbeda?

(sebab kalo satu waktu, bisa alasan khilaf, kerasukan bla-bla-bla)

Dua :
Mbak Mer ga cape mendiskreditkan pria? Enggak ada maksud "berbaikan" (padahal logika sederhana dunia hancur tanpa pria lho!)? Masih seneng liat membayangkan pria dilecehkan perempuan?

Tiga :
Kalo sempet, tengok jendela sebelah, kali ja udaranya lebih segerr...!

Anonymous said...

Sebagai ibu dari anak yang akan berusia 2 tahun 20 juli nanti, he, he. Gw mah gak tega, Mer, misahin Laras dari bapaknya. Sama seperti gw gak mau pisah dari Laras, apalagi denger dia bangun tidur, kadang manggil bapaknya, kadang ibunya, ga tentu. Tapi artinya, ibu ama bapak, punya kedekatan sendiri ama anak.
Kadang-kadang Laras lebi milih bapaknya, nyari bapaknya, tapi di kali lain minta digendong ibunya, gak mau turun, meski dibujuk bapaknya. Makanya sering miris liat perceraian yang memperebutkan anak.
Doain ya, semoga apapun yang terjadi, waktu Laras nikah, gw dan bapaknya masih mendampingi dia sebagai suami-istri. He,he.
Cheers,
Nat

Anonymous said...

ibu sejati atau bukan, it's the sense of responsibility and pity of the adult yg menyelamatkan anak kecil.

Anonymous said...

oops, maksudnya pity from adult