Kalau seorang ayah berbuat “sedikit” saja kebaikan bagi keluarganya, maka seluruh dunia akan memujanya. Padahal setiap detik, miliaran ibu di dunia mengorbankan waktu, keringat, doa dan tenaganya bagi keluarganya tanpa pamrih sedikit pun. Tak ada pujian sama sekali.
Kalau seorang lelaki meninggalkan rapat demi anak yang sakit di rumah, seisi ruangan rapat akan terpesona. “Oh, dia sungguh ayah yang sayang anak.”
Giliran seorang ibu bekerja minta izin pulang cepat sebab anaknya demam, maka seisi kantor akan mengomel, “Dasar perempuan karir ngga becus ngatur waktu.”
Kalau seorang suami berselingkuh, maka orang akan berkomentar, “Pasti istrinya ngga becus ngelayanin suami. Wajar aja dia selingkuh. Namanya aja lelaki.”
Ketika seorang istri selingkuh, orang akan mencaci, “Dasar pelacur ngga tau diri, perempuan najis, amit-amit jabang bayi! Jangan sampe laki gue diembat dia! Perek!”
Kalau seorang cowok belum menikah di usia 35, sekitarnya akan berkata, “Pasti dia sibuk mikirin karir. Belum nemu cewek yang pas buat jadi istrinya. Hebat, pandangannya jauh ke depan.”
Tapi jika perempuan masih melajang di usia 30, orang berujar, “Wah, perawan tua kagak laku. Kasian amat. Pasti karena terlalu pemilih, sok sempurna. Apa dia dikutuk ya? Dosa apa dia?”
Oh dunia patriarkis!
Tuesday, August 29, 2006
Wednesday, August 23, 2006
"Who are You?" or "Who Are Your Parents?"
Apakah hanya orang-orang yang berasal dari keluarga terpandang saja yang bisa memiliki kepercayaan diri (PD) tinggi?
Pertanyaan itu menggantung di benakku cukup lama. Sejak tiga-empat tahun lalu barangkali. Suatu pagi di acara bertema lingkungan di Kafe Dedaunan, Kebun Raya Bogor. Salah satu tokohnya adalah putri seorang figur publik di bidang politik, Des Alwi. Saya lupa nama putrinya. Ia tampil begitu PD, berani berhadapan dengan siapa saja, akrab dengan siapa saja. Mungkin semua yang hadir di situ mengenalnya sebagai anak seorang tokoh terkenal yang berpengaruh di zamannya.
Mas Sapto, seorang teman jurnalis senior berujar padaku, “Kadang gue mikir, sebagai bukan anak siapa-siapa, gue suka minder. Sejak jadi jurnalis sering ketemu orang-orang gedean, pejabat, orang pinter. Padahal gue dari keluarga biasa aja.”
Jurnalis yang sudah cukup kawakan itu merasakan bagaimana mengobrol dengan Habibie, Akbar Tanjung, dan beragam tokoh top negeri ini. Ia mengaku hanya sok PD saja. Padahal kalau diingat-ingat bahwa ia dari keluarga biasa, timbul rasa minder.
Hal yang sama juga terjadi padaku. Bertemu orang-orang hebat adalah keuntungan menjadi jurnalis. Namun apakah kita dapat tampil PD saat berahdapan dengan mereka? Mengobrol? Bertukar pikiran? Harus. Harus dipaksakan!
Di kantorku juga sempat ada kerabat “bos” yang bekerja seatap dengan pamannya yang bos. Ya, dia sangat PD sekali dalam pergaulan. Berani seenak hati menghadapi siapa saja di kantor, entah itu kelas reporter sampai kelas manajer. Ceplas-ceplos bahasa Inggris demi pamer ia pernah kuliah di Amrik. Tiap acara kantor selalu jadi MC. Singkatnya, ia merasa kantor itu miliknya. Yah, kerabat bos gitu loh!
Mungkin kondisi yang sama berlaku bagi anak-anak para orang terkenal di negeri ini. Mereka merasa negeri ini “milik” orangtuanya. Jadi merasa PD banget untuk tampil dimana saja dan kapan saja, berhadapan dengan siapa saja. Toh semua orang tahu siapa dia, setidaknya siapa orangtuanya.
Bagaimana dengan kami, para anak dari keluarga biasa saja? Kepercayaan diri itu harus diempos ekstra kuat. Orang tidak akan langsung respek hanya karena mendengar nama dan melihat wajah kita. Sebab kita bukan siapa-siapa dan bukan anak siapa-siapa. Maka kita harus memiliki kelebihan khusus agar dapat diperhitungkan. Kepercayaan diri ekstra kuat yang dipaksakan. Dan itu tidak mudah. Sungguh.
Saya pernah hadir di satu acara dimana pengunjungnya rata-rata orang hebat semua. Pejabat, penulis terkenal, ilmuwan, selebriti. Mungkin hanya saya dan sebagian kecil orang saja yang bukan siapa-siapa. Thanks God, obrolan saya dengan para orang hebat tadi masih bisa nyambung. Walau dengan PD yang dipaksakan. PD yang dikeluarkan dengan ekstra tenaga dan mental baja.
Kalau sudah begini, saya jadi berpikir. Saya harus menjadi “sesuatu” agar kelak anak saya punya PD alami yang tak perlu dipaksakan. Saya harus menjadi seseorang yang minimal diakui keberadaannya. Agar anak saya kelak punya kepercayaan diri tinggi untuk tampil berhadapan dengan orang-orang hebat. Tidak perlu setenar Habibie atau Akbar Tanjung atau Soeharto. Cukup menjadi diri saya sendiri.
Tapi yang lebih penting, kelak anak saya harus bangga pada dirinya sendiri, bukan karena dia anak saya. Kita harus mempertanyakan "siapa kamu dan apa yang kamu bisa", bukan "siapa ortu kamu?".
Pertanyaan itu menggantung di benakku cukup lama. Sejak tiga-empat tahun lalu barangkali. Suatu pagi di acara bertema lingkungan di Kafe Dedaunan, Kebun Raya Bogor. Salah satu tokohnya adalah putri seorang figur publik di bidang politik, Des Alwi. Saya lupa nama putrinya. Ia tampil begitu PD, berani berhadapan dengan siapa saja, akrab dengan siapa saja. Mungkin semua yang hadir di situ mengenalnya sebagai anak seorang tokoh terkenal yang berpengaruh di zamannya.
Mas Sapto, seorang teman jurnalis senior berujar padaku, “Kadang gue mikir, sebagai bukan anak siapa-siapa, gue suka minder. Sejak jadi jurnalis sering ketemu orang-orang gedean, pejabat, orang pinter. Padahal gue dari keluarga biasa aja.”
Jurnalis yang sudah cukup kawakan itu merasakan bagaimana mengobrol dengan Habibie, Akbar Tanjung, dan beragam tokoh top negeri ini. Ia mengaku hanya sok PD saja. Padahal kalau diingat-ingat bahwa ia dari keluarga biasa, timbul rasa minder.
Hal yang sama juga terjadi padaku. Bertemu orang-orang hebat adalah keuntungan menjadi jurnalis. Namun apakah kita dapat tampil PD saat berahdapan dengan mereka? Mengobrol? Bertukar pikiran? Harus. Harus dipaksakan!
Di kantorku juga sempat ada kerabat “bos” yang bekerja seatap dengan pamannya yang bos. Ya, dia sangat PD sekali dalam pergaulan. Berani seenak hati menghadapi siapa saja di kantor, entah itu kelas reporter sampai kelas manajer. Ceplas-ceplos bahasa Inggris demi pamer ia pernah kuliah di Amrik. Tiap acara kantor selalu jadi MC. Singkatnya, ia merasa kantor itu miliknya. Yah, kerabat bos gitu loh!
Mungkin kondisi yang sama berlaku bagi anak-anak para orang terkenal di negeri ini. Mereka merasa negeri ini “milik” orangtuanya. Jadi merasa PD banget untuk tampil dimana saja dan kapan saja, berhadapan dengan siapa saja. Toh semua orang tahu siapa dia, setidaknya siapa orangtuanya.
Bagaimana dengan kami, para anak dari keluarga biasa saja? Kepercayaan diri itu harus diempos ekstra kuat. Orang tidak akan langsung respek hanya karena mendengar nama dan melihat wajah kita. Sebab kita bukan siapa-siapa dan bukan anak siapa-siapa. Maka kita harus memiliki kelebihan khusus agar dapat diperhitungkan. Kepercayaan diri ekstra kuat yang dipaksakan. Dan itu tidak mudah. Sungguh.
Saya pernah hadir di satu acara dimana pengunjungnya rata-rata orang hebat semua. Pejabat, penulis terkenal, ilmuwan, selebriti. Mungkin hanya saya dan sebagian kecil orang saja yang bukan siapa-siapa. Thanks God, obrolan saya dengan para orang hebat tadi masih bisa nyambung. Walau dengan PD yang dipaksakan. PD yang dikeluarkan dengan ekstra tenaga dan mental baja.
Kalau sudah begini, saya jadi berpikir. Saya harus menjadi “sesuatu” agar kelak anak saya punya PD alami yang tak perlu dipaksakan. Saya harus menjadi seseorang yang minimal diakui keberadaannya. Agar anak saya kelak punya kepercayaan diri tinggi untuk tampil berhadapan dengan orang-orang hebat. Tidak perlu setenar Habibie atau Akbar Tanjung atau Soeharto. Cukup menjadi diri saya sendiri.
Tapi yang lebih penting, kelak anak saya harus bangga pada dirinya sendiri, bukan karena dia anak saya. Kita harus mempertanyakan "siapa kamu dan apa yang kamu bisa", bukan "siapa ortu kamu?".
Friday, August 18, 2006
LIMITED EDITION: True Love
True love is a limited edition. Only the lucky few man and woman who found it.
Kalimat itu mencelos dari lubuk hati, sepekan silam. Ketika seorang teman yang jauh lebih tua, dan sudah kuanggap ayah sendiri, berkisah tentang love story-nya. Tahun 1972, ia mengejar seorang gadis cantik, idaman banyak lelaki, terkenal, atlit dan penyanyi. Hari ini, gadis itu menjadi ibu dari tiga anak dan dua cucunya.
What a great love story!
Seorang teman lain, berkisah bahwa suaminya sekarang adalah pacar pertamanya di semester pertama, sekaligus juga first love-nya. Ia sendiri juga pacar pertama dan cinta pertama sang kekasih. Reiny dan Aryo. Hari ini sudah menimang bayi mungil.
Another great love story.
Sayangnya, kisah-kisah mengagumkan seperti itu tidak banyak ditemui di sekitar kita. Jauh lebih banyak kisah cinta berakhir tragis, pahit, pilu, mengenaskan bahkan berakhir dengan kematian dan dendam.
Maka jangan salah kalau saya nyatakan: true love is limited edition!
Sudahkah anda mendapatkannya?
Wednesday, August 16, 2006
The Real Power Puff Girls
Attention! Trio Power Puff Girls, Ajeng, Merry dan Eno sekarang sudah ngga jomblo lagi. Mereka punya pacar baru: Macbook, Acer dan Compaq. Kalau malam minggu sudah ngga lonely lagi..
Itu SMS yang kukirim ke beberapa teman sejak kami bertiga sudah mendapatkan komputer jinjing idaman. (PS:Kami penulis, jadi memilk computer jinjing alias notebook adalah impian utama di atas segalanya. Agar bisa menulis dimana saja, kapan saja).
Balasan dari SMS tadi pun tidak kalah lucu. Salah satunya : Merdi juga udah ngga jomblo lagi. Udah pacaran sama Adidas dan Nike. Itu berasal dari sobat kami Merdi yang jurnalis olah raga.
Ya, kami adalah The Power Puff Girls. Tiga sobat cewek dari tiga media berbeda. Kenal di liputan, lalu keterusan jadi lengket sebab sama-sama jomblo. Sama-sama agak trauma sama yang namanya cowok. Sama-sama hobi makan, nonton dan nulis.
Tadinya mau menamakan diri sebagai Charlie’s Angels. Tapi behubung karakter The Power Puff Girls lebih imut dan sesuai dengan sifat kami yang sering kekanakan, maka kami memilih alternative kedua itu.
Dua tahun lalu, Ajeng, Eno dan saya merintis sebuah milis unik dan keren, Technomedia .Dulu membernya terbatas pada jurnalis Teknologi Informasi (TI)cewek-cewek yang kebetulan agak gaptek. Milis ini sengaja dibuat agar kami bias berkonsultasi gratis dengan seorang pakar TI yang lucu dan baik hati, I Made Wiryana, dosen Gunadarma, pakar Open Source yang sedang mengambil S3 di Bielefeld University, Jerman. Kelamaan membernya bertambah, para jurnalis cowok. Tak lama Kang Onno W Purbo juga gabung. Technomedia jadi ramai, penuh tawa, canda, juga saling berbagi informasi menarik seputar TI.
Kelamaan member membengkak. Ternyata gaung milis ini cukup seru di komunitas dunia maya. Kami terpaksa menolak calon-calon member yang tidak jelas asal muasalnya. Sampai milis kami dituduh ekslusif, menutup diri dan sebagainya. Habis bagaimana, kami ingin Technomedia berbeda dengan milis TI lain. Di sini jurnalis lebih diutamakan sebab memang para foundernya adalah jurnalis.
Dan milis pun kian ramai dari hari ke hari. Ada Mas Roy Suryo yang memancing kontroversi saat baru bergabung. Belum lagi perdebatan seru ketika ada kasus hacker KPU, kasus penyelewengan dana TI KPU, dan banyak lagi. Semua isu heboh dibahas di sini langsung oleh para pihak yang terlibat.
Sampai akhirnya sejak Mei kemarin milis kami mendapat member antik, Menristek Kusmayanto Kadiman. Hahaha! Yang ini ceritanya juga seru. Lewat SMS saya iseng menawarinya untuk gabung di milis. Eh, ternyata Pak Mentri yang akrab dipanggil KK ini langsung mau gabung. Beda dengan mentri lain yang gaptek, KK rajin posting di milis. Postingannya juga kadang lucu-lucu.
Ribetnya, Technomedia jadi tambah popular berkat promosi KK. Sejumlah vendor TI pun ingin bergabung. Kami terpaksa membatasinya sebab sesuai kesepakatan awal, milis ini tertutup bagi vendor dan PR. Sorry!
Oya, kami juga sudah beberapa kali mengadakan gathering kecil-kecilan. Kalau gathering akbar baru sekali, sekitar Mei tahun lalu. Sukses berat, sebab nyaris semua selebriti TI hadir. Mulai dari pakar-pakar TI, komunitas ISP, hacker, blogger, juga pihak yang saling berseteru.
Tahun ini kami sedang berencana untuk bikin gathering akbar. Kalau gathering kecil-kecilan sudah pernah beberapa kali dilakukan dalam bentuk diskusi bersama KK, sampai yang santai, berkaraoke di Sky Light Café-nya. Mungkin buka puasa bersama di rumah KK? Hehehe. Itu baru rencana.
Ya, kami bertiga bangga sekali dengan milis ini. Siapa sangka ide yang muncul dari ketawa-ketiwi perjalanan Jakarta-Bandung para Power Puff Girls ini bisa jadi seramai sekarang? Stt, sampai hari ini kami masih terus menolak calon member lho. Ohya, sekarang kami dibantu Wandi dan Iwan, dua anggota ModSquad yang ikut menyeleksi member baru. Dulu Merdi sempat jadi Mod juga, tapi tidak lagi karena sudah pindah ke desk oleh raga.
Itu saja sekilas kisah sepak terjang The Power Puff Girls versi Indonesia: Ajeng Bubble , Merry Blossom dan Eno Buttercup dengan Technomedia-nya. So, jangan pernah meremehkan kekuatan cewek-cewek. Ketawa-ketiwi iseng para cewek kadang mampu mengubah dunia lho. Hahaha! Bravo!
Monday, August 14, 2006
Bye Bye, Cyber Lover
“Gilingan lu , Mer..serius tuh yang di blog lu?” Seorang teman terkaget-kaget. Dia bukan yang pertama. Teman lain tak kalah mendesak apakah isi blog itu benar. Mencari kekasih di dunia maya.
Hahaha! Mungkin saya sedikit tergoda oleh buku “I Don’t Know How She Does It” karya Allice Pearson. Buku yang berkisah tentang ibu bekerja dengan dua anak dan suami rewel. Mendadak saja menemukan lelaki penuh perhatian di email. Jadilah ia kekasih dunia maya.
Saya sempat berpikir, barangkali satu-satunya solusi bagi perempuan bekerja yang sibuk sekaligus juga ibu tunggal adalah kekasih dunia maya. Sekadar untuk selingan. Untuk hiburan di kala senggang. Untuk memberi dan diberi perhatian. Cukup melalui email, sinyal ponsel dan sebagainya. Tak lebih.
Baru satu hari, kebutuhan itu sudah kadaluarsa. Expired Date. Terimakasih. Saya sudah cukup punya begitu banyak teman yang siap membalas SMS di setiap waktu. Teman-teman yang menjadi ayah, ibu, adik, kakak, pacar, kekasih, musuh, dan apapun yang saya inginkan.
Sorry, iklan di postingan terdulu saya batalkan. Maklum, mood saya mirip rollercoaster yang menukik naik turun. Sekarang mood saya kembali normal, tidak butuh siapapun kecuali Libby, sahabat-sahabat dan teman-teman yang baik hati. Bye bye, cyber lover!
Hahaha! Mungkin saya sedikit tergoda oleh buku “I Don’t Know How She Does It” karya Allice Pearson. Buku yang berkisah tentang ibu bekerja dengan dua anak dan suami rewel. Mendadak saja menemukan lelaki penuh perhatian di email. Jadilah ia kekasih dunia maya.
Saya sempat berpikir, barangkali satu-satunya solusi bagi perempuan bekerja yang sibuk sekaligus juga ibu tunggal adalah kekasih dunia maya. Sekadar untuk selingan. Untuk hiburan di kala senggang. Untuk memberi dan diberi perhatian. Cukup melalui email, sinyal ponsel dan sebagainya. Tak lebih.
Baru satu hari, kebutuhan itu sudah kadaluarsa. Expired Date. Terimakasih. Saya sudah cukup punya begitu banyak teman yang siap membalas SMS di setiap waktu. Teman-teman yang menjadi ayah, ibu, adik, kakak, pacar, kekasih, musuh, dan apapun yang saya inginkan.
Sorry, iklan di postingan terdulu saya batalkan. Maklum, mood saya mirip rollercoaster yang menukik naik turun. Sekarang mood saya kembali normal, tidak butuh siapapun kecuali Libby, sahabat-sahabat dan teman-teman yang baik hati. Bye bye, cyber lover!
Friday, August 11, 2006
My Project
Thursday, August 10, 2006
Bukan Keledai
kemarin sore
kepada seorang kawan
berkisahlah aku
bahwa aku baru saja membunuh
satu rasa lagi
dan rasanya sukses
lalu kawan itu berkata,
"kalau semua orang seperti kamu
maka tidak akan ada roket ke bulan
bahkan tak pernah komputer ditemukan
sebab semua tak akan dilakukan
hanya karena ada ketakutan"
pulangnya aku merenung
betul juga kata kawan itu
tapi bukahkah keledai pun tidak mau terperosok
ke lubang yang sama
hingga dua kali?
seorang kawan lain bertanya
"sampai kapan kaubunuh-bunuhi perasaanmu sendiri
sampai resistan dan tak bisa mati?
bukankah akan tersiksa jadinya?
hidup segan, mati tak mau?"
sejujurnya
aku lelah membunuhinya, kawan
ingin juga membiarkan rasa itu hidup dan bertumbuh
berkembang..bermekaran menjadi bunga
lalu muncul buah-buah baru
yang menjatuhkan biji dan tumbuh lagi di tanah baru
tapi
bukankah keledai pun tak mau terperosok kedua kalinya?
dan aku bukan keledai!
kepada seorang kawan
berkisahlah aku
bahwa aku baru saja membunuh
satu rasa lagi
dan rasanya sukses
lalu kawan itu berkata,
"kalau semua orang seperti kamu
maka tidak akan ada roket ke bulan
bahkan tak pernah komputer ditemukan
sebab semua tak akan dilakukan
hanya karena ada ketakutan"
pulangnya aku merenung
betul juga kata kawan itu
tapi bukahkah keledai pun tidak mau terperosok
ke lubang yang sama
hingga dua kali?
seorang kawan lain bertanya
"sampai kapan kaubunuh-bunuhi perasaanmu sendiri
sampai resistan dan tak bisa mati?
bukankah akan tersiksa jadinya?
hidup segan, mati tak mau?"
sejujurnya
aku lelah membunuhinya, kawan
ingin juga membiarkan rasa itu hidup dan bertumbuh
berkembang..bermekaran menjadi bunga
lalu muncul buah-buah baru
yang menjatuhkan biji dan tumbuh lagi di tanah baru
tapi
bukankah keledai pun tak mau terperosok kedua kalinya?
dan aku bukan keledai!
Monday, August 07, 2006
Lagu yang Tak Pernah Membosankan
Sinead O’ Connor bukan penyanyi tren masa kini. Sudah lama perempuan Irlandia yang terkenal dengan kepala plontosnya itu tidak bernyanyi. Tiba-tiba saja suaranya melengking dari Winamp yang terdapat dalam komputer jinjing saya. Seseorang menyimpannya di situ. Sebuah lagu yang membawaku ke masa silam. Jauh sekali. “Nothing Compares 2 U”. Lagu lawas yang mungkin saja tidak dikenal oleh remaja saat ini. Entah kenapa sejak dulu sekali, setiap saat mendengar Sinead bersenandung lagu ini, ada air mata yang mendesak ingin keluar.
Lagu yang berkesan pada suatu peristiwa? Tentang seseorang yang tak dapat dibandingkan dengan siapapun? Itukah artinya kalau dikait-kaitkan dengan liriknya? Apa benar? Aku merenung. Pernahkah ada seseorang di hidupku yang sulit dibandingkan dengan siapapun karena sedemikian istimewanya? Kalau jawaban yang diinginkan adalah sosok lelaki, maka itu tidak ada. Ya, tak ada sosok lelaki istimewa dalam hidup saya. Ayah? Maaf, saya tidak mengenal dengan baik pribadi ayah saya. Kakak lelaki? Kami tidak besar bersama. Saya kenal dengan baik banyak teman lelaki, namun tak satupun dari mereka adalah kakak kandung saya. Terlebih lagi ayah saya. Dan saya sama sekali tidak merindukan kedua-duanya.
Kembali saya tercenung, apakah gerangan yang membuatku begitu terpesona oleh lengkinan vocal Sinead di lagu itu? Sampai detik ini saya belum dapat menjawabnya secara logis. Kemungkinan besar adalah vokalnya. Ya, vocal perempuan bermata indah itu belum ada duanya. Hal lain bias saja figure Sinead yang controversial. Bukan controversial karena gossip, percintaan atau gaya hidup gila-gilaan seperti kebanyakan artis lain. Bukan sama sekali. Sosok Sinead O’Connor cukup unik. Ketika perempuan lain menganggap rambut sebgai mahkota, ia justru memapas habis. Gayanya menyanyi juga beda dari penyanyi kebanyakandi zamannya. Ia tidak seperti Madonna yang tampil seronok diiringi penari latar meriah. Sinead lebih megandalkan ekspresi dan kekutan vocal yang khas.Lirik lagunya pun banyak yang bebau politis ketimbang menyek-menyek dimabuk cinta. Dan puncak dari kontroversinya adalah sewaktu perempuan cantik itu merobek foto Paus, pimpinan umat Katolik yang sangat disegani.
Orang mungkin mencaci seorang Sinead. Menganggapnya kurang ajar dan sebagainya. Saat isu tentang aksinya itu merebak di media, saya masih seorang gadi belia yang mencari-carijati diri dan figur panutan. Waktu itu, kalau tak salah di majalah Hai saya membaca tentang tingkah “kurang menyenangkan” seorang Sinead. Entah kenapa, justru saya mengaguminya.
So, apa hubungannya dengan lagu “Nothing Compares 2 U?” Itu masih menjadi misteri hingga tulisan ini dibuat. Yang jelas setiap kali saya mendengar lengkingan Sinead di lagu itu, saya seperti mendengar hati saya menjerit. Seperti yang saya tulis di atas, ada air mata yang siap merebak keluar dari celah rongga mata saya.
Thursday, August 03, 2006
Aik, Asisten Saya
Masih ingat, sekitar setahun lalu, mungkin lebih. Di teras sebuah rumah sakit swasta bilangan Cikini. “Itu siapa, Mer? Tanya seorang sahabat.
“Oh, Aik, asisten gue,” jawabku.
“wah lu dapet asisten dari kantor? Keren amat.”
Aku hanya tersenyum geli.
Saat lain, menjemput Libby di tempat kursus bergengsi, EF. Aik dikira akan mendaftar kursus, padahal ia hanya mengantar Libby. Aik cerita dengan geli pada saya.
Kali lain, di sela meeting saya mendadak ingat bahwa Libby siang itu pulang sekolah lebih awal. Saya menelepon Aik dari ponsel. Teman bertanya, “Ada apa Mer?”
“Hubungi asisten gue nih, penting.”
Lain waktu lagi, dalam sebuah acara larut malam di kantor teman, saya bergegas pulang lebih dulu. “Kasihan, Libby cuma sama berdua asisten saya di rumah,” jelas saya pada teman.
Siapakah Aik?
Seorang perempuan 33 tahun dengan penampilan resik, tubuh kurus mungil, rambut keriting panjang. Tutur katanya halus, khas Sunda. Sabar. Saya tak pernah tega memarahinya walau ada kesalahan. Ia pernah menikah ketika sudah tinggal setahun lagi lulus SMA. Suaminya selingkuh, kawin lagi. Padahal Aik sudah keguguran tiga kali demi menganugerahkan anak buat suami tercinta. Akhirnya mereka bercerai.
Dan di Depok saya bertemu perempuan bersahaja itu. Aik membantu saya. Meng-asisten-i kehidupan saya yang super sibuk. Telaten menghadapi kenakalan Libby. Mencuci dan menyetrika baju-baju kami dengan rapi. Menjaga kebersihan rumah kami. Memasak hidangan lezat setiap hari. Rela berpanas-panasan menjemput Libby pulang sekolah.
“Mama Libby, saya minta dua bulan gaji. Biar deh dipotong. Bulan depan ngga usah gajian.” Saya tak pernah tega menolak permohonannya.
Aik, asisten saya yang cantik, penyabar, rajin. Saya tidak pernah tega menyebut kamu "pembantu". Kata "asisten" lebih tepat dan terdengar manusiawi.
Aik, bisa apa saya tanpa kamu?
Wednesday, August 02, 2006
Age Doesn't Matter????
Makin bertambah usia, yang namanya perbedaan umur itu kian tak kentara ya? Pertanyaan itu menggantung di benakku. Zaman kecil dulu, malas banget bergaul sama yang umurnya satu-dua tahun di atas kita. Itu zaman SD kayaknya. Lalu pas sudah SMP, masih OK deh bertemen sama yang dua-tiga tahun di atas kita. Tapi kalau sudah lima tahun ke atas, rasanya risih. Ngga level.
Kelamaan pas sudah kuliah, rasanya ngga masalah berteman dengan yang enam-tujuh tahun di atas kita. Justru bangga. Sebab membuktikan kita sudah menyamai pemikiran mereka.
Belakangan ini, bersama seorang teman, saya baru sadar. Terlalu banyak bergaul dengan orang yang usianya jauh di atas kita. Sepuluh, lima belas….oops!
“Gimana mau dapet cowok ya, gaulnya ama om-om molo! Yang ada dikira kita peliharaan om-om!”
Whoaaaaa.. tidak! Mereka adalah teman-teman yang berasal dari komunitas nara sumber. Kebetulan kami adalah jurnalis. Jadi kami banyak berhubungan dengan nara sumber atau tokoh-tokoh yang jelas saja usianya jauh di atas angkatan kami. Menyenangkan sesungguhnya berteman dengan mereka. Memperluas wawasan, menambah ilmu, memperkaya pengetahuan tentang aneka ragam karakter dan gaya hidup manusia. Dan yang jelas menambah koneksi dimana-mana.
Ya, sangat menarik memang. Tapi kembali ke problem semula, kami jadi merasa “tua” sebelum waktunya. Bukan tua di pemikiran atau gaya, melainkan jadi dianggap tua oleh sekitar. Mungkin cara bicara kami terpengaruh. Atau pola pikir kami? Nevermind sih, kami jadi merasa dewasa dan makin matang...
Kadang saya kangen juga bertemu dengan teman sebaya, seusia. Hanya sayang teman-teman saya saat ini kebanyakan sudah sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya. Ditambah Jakarta adalah kota yang macet, dimana jarak yang dekat saja membutuhkan waktu cukup lama untuk dijangkau. Alhasil, pertemanan kami lebih banyak berlangsung di SMS, chatting di YM atau email dan telepon. Untuk bertatap muka langsung harus disusun jadwal yang tepat dulu, itu pun dengan risiko mendadak batal karena ada urusan lain :(.
So, teman yang selalu siap "bergaul" bersama saya justru kalangan om-om nara sumber tadi. Sebab kami bisa bikin jadwal yang lebih seirama. Mengingat saya adalah jurnalis dan mereka adalah para tokoh. Jadi kesempatan bertemu itu selalu saja ada.
Maka jadilah saya dan sahabat tadi banyak berteman dengan orang-orang yang usianya jauh di atas kami. Hmmmmm....
Jadi terbayang, saat saya sudah nenek-nenek nanti, bergaulnya sama siapa ya? Masak sama mayat??? Whoaaaa!!!!
Kelamaan pas sudah kuliah, rasanya ngga masalah berteman dengan yang enam-tujuh tahun di atas kita. Justru bangga. Sebab membuktikan kita sudah menyamai pemikiran mereka.
Belakangan ini, bersama seorang teman, saya baru sadar. Terlalu banyak bergaul dengan orang yang usianya jauh di atas kita. Sepuluh, lima belas….oops!
“Gimana mau dapet cowok ya, gaulnya ama om-om molo! Yang ada dikira kita peliharaan om-om!”
Whoaaaaa.. tidak! Mereka adalah teman-teman yang berasal dari komunitas nara sumber. Kebetulan kami adalah jurnalis. Jadi kami banyak berhubungan dengan nara sumber atau tokoh-tokoh yang jelas saja usianya jauh di atas angkatan kami. Menyenangkan sesungguhnya berteman dengan mereka. Memperluas wawasan, menambah ilmu, memperkaya pengetahuan tentang aneka ragam karakter dan gaya hidup manusia. Dan yang jelas menambah koneksi dimana-mana.
Ya, sangat menarik memang. Tapi kembali ke problem semula, kami jadi merasa “tua” sebelum waktunya. Bukan tua di pemikiran atau gaya, melainkan jadi dianggap tua oleh sekitar. Mungkin cara bicara kami terpengaruh. Atau pola pikir kami? Nevermind sih, kami jadi merasa dewasa dan makin matang...
Kadang saya kangen juga bertemu dengan teman sebaya, seusia. Hanya sayang teman-teman saya saat ini kebanyakan sudah sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya. Ditambah Jakarta adalah kota yang macet, dimana jarak yang dekat saja membutuhkan waktu cukup lama untuk dijangkau. Alhasil, pertemanan kami lebih banyak berlangsung di SMS, chatting di YM atau email dan telepon. Untuk bertatap muka langsung harus disusun jadwal yang tepat dulu, itu pun dengan risiko mendadak batal karena ada urusan lain :(.
So, teman yang selalu siap "bergaul" bersama saya justru kalangan om-om nara sumber tadi. Sebab kami bisa bikin jadwal yang lebih seirama. Mengingat saya adalah jurnalis dan mereka adalah para tokoh. Jadi kesempatan bertemu itu selalu saja ada.
Maka jadilah saya dan sahabat tadi banyak berteman dengan orang-orang yang usianya jauh di atas kami. Hmmmmm....
Jadi terbayang, saat saya sudah nenek-nenek nanti, bergaulnya sama siapa ya? Masak sama mayat??? Whoaaaa!!!!
PS: Coba ya para Om-om nara sumber yang baik hati. Tolong kami dikenalkan dengan keponakan atau sepupu atau siapalah yang usianya sepantaran kami. Hitung-itung bonus atas pertemanan kita, gitu lhooo. Hihihi!
Subscribe to:
Posts (Atom)